Beranda KWI Yang Tercecer di Bumi Cendrawasih

Yang Tercecer di Bumi Cendrawasih

Mop religi Papua untuk Evangelisasi

Selain menghibur, mop Papua bisa menjadi sarana evangelisasi.

Mop atau cerita lucu khas Papua memang sering membuat orang tertawa terpingkal-pingkal, tidak terkecuali mop religi. Menggunakan tulisan atau ayat-ayat Kitab Suci, mop religi yang menghibur itu bisa jadi sarana evangelisasi.

Uskup Manokwari-Sorong, Monsinyur Hilarion Datus Lega, misalnya, punya kebiasaan menggunakan mop Papua di awal kotbahnya untuk menghibur dan menyemarakan suasana perayaan misa di gereja. Seperti yang tampak pada acara Pekan Komunikasi Sosial Nasional Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang terpusat di Sorong pada Mei 2015 lalu. Monsinyur Hilarion tak pernah absen membawakan mop religi khas Papua saat misa pembukaan dan penutup PKSN 2015. Bahkan di sela-sela acara workshop menulis bagi Orang Muda Katolik (OMK) sekeuskupan Manokwari-Sorong, Uskup yang suka menulis ini, hadir dan membawakan mop Papua.

“Setiap kali Bapa Uskup bawa mop Papua, sudah pasti kami selalu tertawa, belum lagi gaya Bapa Uskup waktu bawa mop,” ujar frater Yustinus Roni Andriano mengenang kembali pengalamannya ketika masih di Sorong.

“Apalagi itu Bapa Uskup (Monsinyur Hilarion) kalo sudah baku dapa (bertemu) dengan Uskup Timika, Monsinyur John Philip Saklil, itu dong (mereka) baku saing (saling bersaing) sudah, iyo…,” kata frater Melyanus Bidana menambahkan dengan dialek khas Papua.

Rupanya kebiasaan Bapa Uskup ini ikut menular ke para frater peserta workshop dari Seminari Tinggi Yerusalem Baru. Untuk mengusir kejenuhan selama mengikuti workshop berlangsung, beberapa mop religi khas Papua yang dibawakan peserta workshop membuat suasana pertemuan begitu rileks. Model edutainment ini selain menyemangati peserta, tetapi juga dapat menjadi sarana evangelisasi.

Pace mabuk tidur di Gereja

Salah satu peserta workshop menulis, Frater Alfius Syomwain, punya mop berikut. Ada seorang pria (pace) sebut saja Gerri mabuk karena kelebihan mengkonsumsi arak Papua. Ketika ia berjalan pulang ke rumahnya, ia melihat ada Gereja di pinggir jalan. Karena sudah tidak kuat jalan lagi, pace Gerri akhirnya memutuskan untuk pergi tidur di Gereja yang kebetulan tidak jauh dari tempat ia berada. Pendeta gereja kaget ketika melihat ada orang sedang tidur di teras gereja.

Pendeta: Hei, pace, kenapa malam-malam begini ko tidur di gereja sini?

Pace Gerri: Pa pendeta, ko tra (tidak) tahu ka, kalau di dalam Injil sudah tertulis “tidak tahukah kamu  bahwa Aku harus berada di rumah Bapa-Ku?”

Pendeta: Bagus…bagus, silakan tidur terus di sini. Besok pagi, bangun dan berjalanlah. Imanmu sungguh besar!

Gelak tawa seketika memenuhi seisi ruangan workshop. “Masih ada kah, masih ada kah?,” tanya peserta secara spontan pada Alfius.***