Beranda OPINI Editorial Wujudkan Kesejatian Dalam Hubungan Sosial

Wujudkan Kesejatian Dalam Hubungan Sosial

I. Mewujudkan Kesejatian Hidup Dalam Hubungan Sosial

Tema APP 2007 Mewujudkan Kesejatian Hidup Dalam Hubungan Sosial. Tema ini merupakan bagian dari kesatuan tema besar lima tahun (2007-2011).

Mewujudkan Kesejatian Hidup Dalam Hubungan Sosial ialah suatu upaya nyata dan bersama dalam rangka membantu orang lain maupun komunitas untuk mengembangkan hidup menuju kesejahteraan lahir batin dengan saling mensejahterakan satu sama lain.

Salah satu latar belakang yang menjadi pemikiran itu adalah situasi umat / masyarakat yang jauh dari kesejahteraan, dengan aneka masalah: biaya sekolah, berobat, pengangguran, pupuk sulit, atau bencana alam. Karya sosial Gereja memang ada seperti SSP, PSE, SSV namun jangkauan, dana dan peminatnya terbatas. Karya sosial Gereja ternyata belum menjadi gerakan bersama yang spontan terarah, bahkan cenderung tanpa prioritas, tidak kualitatif, kebanyakan sifatnya karitatif belum pemberdayaan. Situasi ini diperburuk dengan fenomena kecemburuan antar seksi dalam Gereja.

Sementara itu, ada beberapa kendala kurangnya maksimalnya dari umat, pengurus maupun pastor. Pelaku karya sosial ada yang mengalami kejenuhan, menyalahgunakan kewenangan, mengalami kegagalan karena perencanaan yang muluk-muluk, mengubah kebijakan, kurang ada kerjasama, tidak ada program yang jelas sehingga karya sosial itu sia-sia saja. Sementara itu sasaran karya sosial juga cenderung bermental minta-minta, tidak memberi tanggapan positif bahkan menjadi tergantung.

Dengan demikian, tujuan dari sarasehan iman tahun 2007 ialah:
1. Menyikapi kehidupan masyarakat miskin yang makin sulit
2. Mengembangkan kemandirian umat
3. Memberi inspirasi / motivasi kepada umat untuk terlibat dalam karya sosial, secara kualitatif, mandiri, tahu prioritas, berpola pemberdayaan
4. Memberikan kesaksian hidup pada umat tentang karya sosial

Selain itu, dalam bahan sarasehan iman ini, terdapat informasi mengenai koperasi atau credit union. Pembahasan tentang koperasi ditampilkan karena di dalam koperasi terdapat unsur gotong-royong, kemandirian dan pemberdayaan yang mewujudkan kesejatian hidup dalam hubungan sosial.

Setiap orang niscaya mengharapkan adanya kesejahteraan hidup. Namun untuk mencapai harapan tersebut banyak orang jatuh dalam mentalitas materialistik, instant atau korupsi. Padahal untuk mencapai kesejahteraan hidup perlu unsur penting yang benar ialah pendidikan, swadaya dan solidaritas. Pendidikan mengubah pola pikir yang memampukan orang untuk memberdayakan diri. Kemandirian adalah satu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap pelbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan. Solidaritas adalah kesetiakawanan untuk bersama-sama mencari dan merencanakan kesejahteraan bersama. Prinsip solidaritas adalah kekuatan warga untuk mengorganisir diri menjadi kekuatan sosial dan ekonomis.

Perubahan mentalitas dan prinsip ini membutuhkan pertobatan yang mendalam. Masa prapaskah adalah masa untuk membangun dan melakukan pertobatan menuju kesejatian hidup.

II. Dasar Biblis

Dalam Kitab Kejadian 6: 13-21 dikisahkan Nuh diberdayakan Allah untuk menyelamatkan manusia dan alam dari kejahatan manusia. Karena semua yang dipikirkan dan dilakukan manusia hanya kejahatan semata. Oleh karena itu, Allah membersihkan seluruh alam ciptaan dengan air bah. Air bah dengan demikian menjadi bentuk pengadilan Allah kepada manusia yang berkehendak menyelamatkan manusia. Allah menyelamatkan bangsa dari keterpurukannya dengan memanggil orang-orang benar. Nuh dipilih Allah untuk melakukan pembaharuan hidup yang sehati.

Dalam Injil Matius 14: 13-21 dikisahkan bagaimana Yesus mengajak pengikutnya mengatasi kelaparan tidak dengan menyuruh mereka meminta-minta, tetapi sebaliknya menyuruh mereka memberdayakan apa yang ada dan dimiliki untuk mengatasi kesulitan. Yesus bertanya kepada para murid, “Ada berapa roti pada kalian? Coba pergi lihat.” Sesudah mereka pergi melihat, mereka berkata, “Yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan ada dua ikan.” Yesus meminta para murid untuk mandiri, bersolidaritas dan berpartisipasi mengatasi kesulitan yang ada, bahkan dengan apa yang ada pada diri para murid.

III. Pokok-Pokok Pemikiran

Ada tiga kata kunci dalam tema kali ini ialah mewujudkan kesejatiaan hidup dan hubungan sosial:
1. Pemberdayaan artinya suatu upaya nyata dan bersama membantu orang lain, keluarga, kelompok, maupun komunitas untuk mengembangkan hidup dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi lebih berdaya.
2. Kesejatian Hidup maksudnya kesejahteraan lahir batin yang merupakan tujuan hidup manusia.
3. Hubungan Sosial artinya kenyataan yang berdasar dari kodrat manusia sebagai pribadi dan mahkluk sosial. Sebagai pribadi manusia menemukan identitas dirinya dalam kebersamaan dengan sesama. Hidup bersama mengandaikan hubungan timbal balik dan saling mensejahterakan satu sama lain tanpa harus kehilangan identitas dirinya.

Dengan demikian Mewujudkan Kesejatian Hidup Dalam Hubungan Sosial ialah suatu upaya nyata dan bersama dalam rangka membantu orang lain maupun komunitas untuk mengembangkan hidup menuju kesejahteraan lahir batin dengan saling mensejahterakan satu sama lain.

I. Ketidaksejatian Hidup Dalam Hubungan Sosial

1. Kemunafikan Sosial
Kemunafikan sosial, ialah sikap sosial yang munafik. Sikap sosial yang dilakukan sebenarnya hanya pura-pura dan tidak lahir dari sikap batin yang tulus iklas. Sikap sosial yang dilakukan hanya karena terpaksa, sungkan, ewuh-pakewuh. Seseorang melakukan tindakan sosial hanya karena malu dengan struktur di dalam lingkungan, wilayah, stasi, paroki atau dengan pastornya. Memang mereka menyumbang, tetapi sikap ini hanya artifisial dan luaran belaka.

Kemunafikan sosial juga bisa berupa melakukan tindakan sosial tetapi mengharapkan perhatian, pujian atau pamrih. Padahal sikap sosial semestinya lahir dan tumbuh dari rasa solider, prihatin, ikut merasakan penderitaan dan duka sesama dengan tulus iklas. Sikap sosial seharusnya muncul bukan karena dorongan dari orang lain, tetapi lahir dari diri sendiri yang sungguh tergerak untuk membantu dan menolong sesama.

2. Kesenjangan Sosial
Kesenjangan sosial, adalah perbedaan yang dilahirkan baik secara sengaja atau tidak oleh struktur sosial tertentu. Bentuk kesenjangan ini berupa orang kaya di satu pihak dan orang miskin tidak berdaya di lain pihak. Orang yang dilemahkan (dimiskinkan) oleh kesenjangan semacam ini sungguh miskin. Kemiskinan dan kesenjangan telah menjadi warna dominan dalam masyarakat. Orang beriman pun bertanggungjawab mengatasinya.

Jurang antara antara kaya dan miskin sebetulnya maknanya bukan hanya materi. Selain masalah akses terhadap perekonomian, kesenjangan terkait dengan jurang perbedaan jaminan hidup minimal, kesempatan memperoleh pendidikan hingga kesejahteraan batin dalam menjalani kehidupan. Jika jurang perbedaan ini bisa di atasi maka kemungkinan lahirnya sebuah masyarakat yang menghormati dan menghargai orang lain, hidup teratur, berdisiplin, dan produktif akan semakin besar. Jika tidak, akan timbul berbagai konflik, keresahan atau kerusahan.

3. Gereja Membaharui Komitmen
Nota Pastoral KWI 2006: Habitus Baru Demi Kesejahteraan Bersama [1]
Panggilan Gereja adalah untuk mewartakan harapan akan keadilan di tengah dunia yang ditandai dengan pelbagai praktek ketidak-adilan. Harapan tersebut dapat terpenuhi jika ada sikap pertobatan, termasuk di dalam tubuh Gereja itu sendiri. Gereja menghayati pertobatannya dengan cara: Pertama, membarui tekad untuk bersama kaum miskin dan lemah terus menumbuhkan sikap berani memulai dengan kekuatan dan potensi yang ada, betapa pun kecilnya, tanpa menggantungkan diri pada inisiatif pemilik modal besar. Kedua, mendorong mereka yang diberkati dengan kekuatan ekonomi besar agar lebih jujur dan seksama dalam mencari jalan untuk memperbaiki hidup kaum miskin dan lemah.

4. Belajar Dari Pengalaman

– Bantuan Untuk Bantul. Bantul diguncang gempa. Romo Paroki Bantul mengirim berita ke paroki-paroki memohon bantuan. Karena banyak umat Bantul yang membutuhkan bahan makanan, minuman serta tenda karena rumahnya roboh dan gereja mereka roboh. Dalam misa, pastor paroki mengumumkan supaya umat mengumpulkan bantuan segera. Karena umat di Bantul sangat menderita. Tetapi sampai sore hari bantuan belum terkumpul, padahal direncanakan besok pengiriman bantuannya. Lalu pastor paroki menelpon beberapa umat yang pantas untuk dimintai bantuan. Telpon kesana-kemari, akhirnya dalam tempo satu jam saja bantuan menumpuk di halaman Gereja. Setelah dikemas, maka kini terkumpul satu mobil box bantuan yang siap dikirim ke Bantul. Beberapa hari setelah peristiwa itu terdengar perbincangan, “Aku ditelpon romo, akhirnya ya nyumbang”, yang lain mengatakan, “Lha aku nggak ditelpon ya nggak nyumbang”.

– Bantuan Untuk Stasiku. Stasiku stasi yang boleh dikatakan terpencil. Kebanyakan umat bekerja sebagai petani. Di musim kering biasanya kehidupan umat memprihatinkan. Bercocok tanam pun hasilnya kurang menggembirakan. Tak jarang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan keperluan sekolah anak-anak, mereka mencari pinjaman. Suatu kali akan ada kunjungan dari Paroki dari kota besar, mereka hendak menyumbang. Umat stasi pun berkumpul untuk menyambut sumbangan itu. Rapat memutuskan bahwa sumbangan hanya untuk mereka yang benar-benar membutuhkan. Karena yang harus dibantu jumlahnya banyak, sementara sumbangannya terbatas. Saatnya tiba pembagian sumbangan berupa sekantong plastik berisi beras, gula, mie dan minyak goreng. Mereka yang menerima sumbangan telah diatur oleh ketua lingkungan dengan membawa penerima sumbangan. Anehnya, ada orang yang kesejahteraannya sudah cukup ikut membawa kartu dan meminta sumbangan. Tidak hanya satu-dua, bahkan ada beberapa yang sebenarnya tidak pantas mendapatkan sumbangan itu. Rupanya saat ada sumbangan tiba, banyak orang mengaku sebagai miskin. Padahal sumbangan sebenarnya diprioritaskan untuk mereka yang benar-benar membutuhkan. Kejadian itu hanya mengakibatkan percekcokan dalam paguyuban Gereja.

– Parokiku. Di Parokiku umatnya beragam. Mereka terdiri dari berbagai kalangan etnis, strata sosial, usia dan asal. Mereka menjalankan kewajiban yang sama, membayar kartu biru, mengirim daharan romo, melakukan kolekte, iuran lingkungan atau iuran kematian. Mereka mendapat hak yang sama pula, mengikuti ekaristi, mendapat pelayanan sakramen dan pelayanan jemaat lainnya. Akan tetapi jika misa di hari minggu, perbedaan terasa mencolok. Bangku depan seolah-olah hanya untuk diduduki oleh mereka yang “dekat dengan gereja”, “kaya” dan “kalangan elit” saja. Berkali-kali petugas ketertiban mengingatkan supaya bangku depan diisi oleh mereka yang masih berdiri di belakang dan di luar gereja. Tetapi umat yang merasa diri “tidak kaya”, “jauh dari gereja” dan “bukan kalangan elit” merasa tidak percaya diri untuk duduk di bangku depan. Mereka tetap saja lebih suka duduk di bagian belakang atau berdiri. Beberapa umat gelisah dengan keadaan itu. Selain kelihatan adanya “gap” dalam paguyuban jemaat, mereka yang duduk di bangku depan juga merasa tidak nyaman jika dianggap berbeda dengan umat lain. Sementara itu, mereka yang duduk di bagian belakang juga tak mau pindah ke bangku bagian depan, mereka bahkan cenderung untuk omong-omong sendiri dan membuat misa yang diikuti tidak khusuk.

-Pemilihan Dewan. Di Parokiku ada pemilihan anggota Dewan Paroki. Saat pemilihan yang dipilih secara demokratis hanya dewan paroki inti. Mereka dipilih untuk menduduki jabatan ketua dewan paroki, wakil, bendahara dan sekertaris saja. Sementara masing-masing ketua seksi dipilih oleh dewan paroki inti. Hasilnya, yang dipilih menduduki ketua seksi adalah mereka yang berhubungan dekat dengan mereka yang duduk di dewan inti. Umat kebanyakan menilai, mereka yang terpilih dari kelompok mereka sendiri. Akibatnya, ketika mereka mengumumkan program, umat tidak menjalankan program itu. Mereka berpikir ini bukan kelompokku, buat apa aku pusing-pusing memikirkan. Lebih parah lagi ada orang yang berusaha menggagalkan apa yang menjadi program mereka. Umat seakan terpecah belah. Di antara umat kini seolah ada jurang, kalau bukan kelompokku tidak kudukung, tetapi kalau dari kelompokku akan kudukung. Suasana tidak sehat sedang terjadi di paguyuban Gerejaku.

[1] Nota Pastoral KWI adalah catatan pastoral dari Para Waligereja Indonesia yang bersidang Sinodal. Sidang Sinodal KWI 2006 yang berakhir pada 16 November lalu menghasilkan banyak keputusan-keputusan diantaranya Nota Pastoral. Nota Pastoral tahun 2006 berjudul “Habitus Baru Demi Kesahteraan Bersama; Keadilan bagi Semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi”.

II. Penyebab Ketidaksejatian Hidup Dalam Hubungan Sosial

1. Miskin Dan Terpinggirkan
Orang miskin yang dimaksud memang miskin secara materi, tidak memiliki materi yang cukup, pas-pasan saja untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, bahkan kurang. Orang miskin seringkali tidak diperhatikan, dianggap tak berdaya, lebih parah lagi orang miskin seringkali disebut miskin karena malas.

Orang miskin makin yang terpuruk tetap saja miskin karena tidak berdaya untuk mengubah nasib. Peluang tidak ada, kesempatan tidak punya. Sistem yang tidak adil membuat mereka tetap miskin. Mau pinjam modal di bank sangat sulit, karena tidak ada yang bisa dijadikan agunan. Orang miskin seharusnya bisa kaya, tetapi mereka kalah dengan tengkulak yang membeli hasil pertanian mereka dengan murah, sementara di sisi lain mereka dijerat utang oleh para rentenir. Selama sistem keadilan tidak berubah, mereka akan tetap miskin sepanjang masa.

Parahnya pemerintah tampaknya tidak berpihak pada rakyat kecil. Kemiskinan tampaknya terus dipelihara, karena isu kemiskinan dapat dijadikan komoditas politik untuk meraih simpati masa yang akhirnya menjadi modal untuk meraih kekuasaan.

2. Pinjam Tak Kembali
Pinjaman tak kembali ialah situasi di mana peminjam dana sosial bergulir tak bisa atau gagal mengembalikan dana pinjamannya. Pinjaman sebenarnya dimaksudkan untuk memberdayakan peminjam. Peminjam meminjam dana sebenarnya bertanggung jawab untuk mengembangkan modal pinjamannya. Karena pinjaman untuk pemberdayaan adalah sebuah tipe hutang. Seperti hutang-hutang yang lain, pinjaman berarti sebuah distribusi modal dalam jangka waktu tertentu. Peminjam pertama-tama mendapat sejumlah uang dari pemberi pinjaman dan mereka biasanya membayar kembali dalam bentuk angsuran berkala, dengan bunga sangat rendah atau bahkan tanpa bunga.

Sebenarnya peminjam harus mengembangkan pinjaman untuk kegiatan produksi. Kegagalan peminjaman terjadi karena dananya untuk kegiatan konsumsi atau dihabiskan begitu saja. Padahal peminjam harus mengembalikan karena dana tersebut dapat digunakan untuk menolong orang lain yang sangat membutuhkan. Pengembalian pinjaman tersebut juga dimaksudkan untuk mendidik, memberdayakan dan melatih tanggung jawab si peminjam.

3. Wajah Liturgis
Wajah liturgis adalah corak dan kegiatan umat yang menitikberatkan atau menaruh perhatian yang terlalu dominan pada liturgi. Wajah liturgis cirinya orang lebih suka membuat acara dan menghadiri acara liturgis seperti doa, misa, ziarah atau pendalaman iman. Memang semua itu penting, karena liturgi merupakan kebaktian umat kepada Tuhan. Akan tetapi minat dan kecederungan besar hanya pada kegiatan liturgis membuat pincang karya Gereja lainnya, utamanya diakonia dan martiria.

Umat Allah dipanggil ikut serta dalam karya keselamatan. Perwujudan karya keselamatan itu bukan hanya lewat liturgi. Karya keselamatan dapat dilaksanakan secara nyata dalam kegiatan pelayanan dan kemartiran. Berbakti kepada Tuhan tidak hanya lewat kegiatan di seputar altar, tetapi melakukan karya nyata, melakukan gerakan bersama: membicarakan aneka persoalan, memecahkan masalah, menyumbang, bahkan melibatkan diri dan mengorbankan diri untuk memperbaiki keadaan masyarakat.

4. Takut Resiko
Resiko, sebuah kata yang ditakuti oleh kebanyakan orang. Dari keterlibatan iman seseorang bisa tampak aktivitas itu resikonya tinggi atau rendah. Pilihan aktivitas hidup rohani di seputar altar, menjadi peserta saja, pelaku rutinitas kegiatan Gereja, dapat dikatakan resikonya rendah. Pilihan menjadi aktivitis yang harus korban tenaga, waktu dan pikirannya untuk Gereja, menolong dan membiayai orang miskin, rela merugi dan merogoh kocek sendiri untuk kesuksesan karya iman itu, dapat dikatakan resikonya cukup tinggi. Tak jarang mereka justru dicaci dan dicibir.

Dengan kategori ini dapat juga dikatakan, aktivis umat adalah tipe orang yang resikonya besar. Sementara umat yang sekedar pengembira adalah mereka yang resikonya kecil.

5. Habitus Baru Demi Kesejahteraan Bersama Prinsip-Prinsip Perekonomian yang Adil.
Nota Pastoral menyampaikan beberapa prinsip dasar yang kiranya perlu diperhatikan bersama dalam menentukan langkah ke depan menuju perekonomian yang adil. Perekonomian yang berkeadilan terarah pada peningkatan kesejahteraan bersama dan pelestarian seluruh alam ciptaan. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, kesejahteraan bersama. Selain mempunyai hak setiap orang juga mempunyai tanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan bersama, karena ia hanya dapat hidup dalam kebersamaan. Tolok-ukur tak terbantah dari kesejahteraan bersama sebuah masyarakat adalah mutu kehidupan warganya yang paling lemah. Kedua, solidaritas. Solidaritas adalah kesetiakawanan untuk bersama-sama melihat persoalan, mencari dan merencanakan jalan keluarnya, melaksanakan dan mengevaluasinya menurut tolok-ukur kesejahteraan bersama. Prinsip solidaritas adalah kekuatan warga untuk mengorganisir diri menjadi kekuatan sosial, ekonomis dan politis.

6. Belajar Dari Pengalaman

– Miskin Dan Terpingirkan. Teman selingkunganku ada yang hidupnya miskin, untuk hidup pas-pasan saja bahkan kurang. Ia seorang diri bekerja mencukupi kebutuhan keluarga padahal pekerjaannya tidak tentu. Sementara itu ia harus menanggung ketiga anaknya yang butuh biaya hidup dan biaya sekolah yang tidak sedikit. Kebetulan di dalam keluarga besarnya, ia satu-satunya yang beragama Katolik. Jika ada kebutuhan mendesak, jika ada keperluan keuangan yang besar dan mendadak ia hanya mengandalkan kawan-kawan selingkungan yang seiman. Pernah suatu kali ia meminta kepada keluarganya yang sebagian besar berbeda agama dan hanya jawaban ketus, “Kamu kan Katolik, minta bantuan saja kepada Gereja, kawan-kawanmu seimanmu saja”. Apa jadinya, ia hanya bisa gali lubang tutup lubang mencukupi berbagai kebutuhan keuangannya yang tidak sedikit. Terbersit rasa malu pula dalam hatinya berkali-kali mengaharapkan bantuan dari Gereja. Tetapi apa daya, ia sungguh membutuhkan bantuan. Keadaan ini membuatnya minder dalam pergaulan dengan teman-teman seiman. Belum lagi sikap sinis beberapa kawan seimannya yang menganggapnya “tukang nyadong”, tidak pandai mengatur keuangan atau hanya bisa mengandalkan belas kasih saja. Tatapan mata yang merendahkan atau sikap yang tidak mengorangkan kerap kali ia terima. Dalam kegiatan Gereja ia selalu kelihatan menyendiri, merasa bukan apa-apa dan jauh dari tegur sapa orang lain.

– Pinjam Tak Kembali. Kehidupanku sangat susah, tetapi aku tidak menyerah. Aku memberanikan diri untuk meminjam dana dari seksi sosial paroki. Aku akan mencoba usaha beternak bebek. Aku memilih bebek karena di desaku banyak kawan yang sudah berhasil dengan usahanya. Dagingnya bisa dijual, telornya bias dibuat telor asin. Dari seksi sosial aku dapat pinjaman Rp. 1.000.000,-. Aku sepakat bahwa pinjaman tersebut harus kukembalikan dengan cara mencicil sebulan sekali sebesar Rp. 50.000,-. Pinjaman yang mudah, tanpa bunga, dan ringan. Hampir 4 bulan berjalan aku sudah bisa membayar cicilan dan menjual bebek peliharaanku. Laba sudah kuperoleh. Tetapi ada inspirasi dari temanku untuk bertanam melon. Daripada uang laba itu kudiamkan, diam-diam uang yang ada aku coba untuk bertanam. Jadi selain beternak bebek aku akan bertanam melon. Lagi-lagi karena ada kawanku yang berhasil dan aku tertarik mencoba. Tetapi sayang panen melonku gagal total. Kerugian kualami. Uang yang ada pun harus kupakai untuk melunasi hutang pupuk dan obat tanaman. Termasuk uang yang seharusnya untuk mencicil pinjaman seksi sosial. Awalnya aku masih bisa berdalih. Tetapi lama kelamaan apa dayaku, 6 bulan ini pinjaman seksi sosial tak bisa kubayar. Aku memilih tak aktif berkumpul dengan kawan-kawan Gereja, malu kalau ditagih. Tapi kupikir, “Ah uang Gereja saja, toh Gereja tak akan rugi kalau pinjaman tak kukembalikan. Gereja toh bisa mendapat dana lagi…”

– Wajah Liturgis. Aku termasuk orang yang aktif dalam kegiatan Gereja. Hampir semua kegiatan rohani ada di parokiku dan sebagian besar aku ikuti. Di parokiku hampir semua kegiatan bercorak kegiatan rohani. Hari Minggu ada misa di Gereja. Hari Selasa ada kegiatan doa di setiap lingkungan. Hari Rabu ada persekutuan doa karismatik. Hari Kamis ada latihan misdinar dan lektor di Gereja. Biasanya hari Jumat ada pula Legio Maria dan perkumpulan warakawuri. Hari Sabtu ada pertemuan anak-anak sekolah minggu serta mudika. Belum lagi jika bulan Mei dan Oktober, setiap pagi sebelum misa ada rosario bersama belum lagi di masing-masing stasi atau lingkungan, sebelum misa atau doa lingkungan selalu diawali dulu dengan doa rosario. Jika ada acara ziarah peminatnya banyak sekali. Bahkan aksi nyata usai APP diakhiri dengan kegiatan ziarah, daripada bingung merancang aksi lain. Hampir semua acara dan pertemuan yang terjadwal di parokiku selalu bercorak doa, rosario, novena, membaca dan mendengarkan serta mengulas kitab suci. Anehnya umat tetap ada yang dating. Suatu kali ada gagasan kawan-kawan dari satu lingkungan untuk mengadakan pertemuan namun bukan untuk mengadakan kegiatan doa, novena atau mendengarkan dan mengulas Kitab suci saja. Kali ini acara yang dilangsungkan bercorak kegiatan sosial. Kami berkumpul bukan pertama-tama untuk berdoa dan membuka kitab suci saja, tetapi berkumpul untuk membahas masalah pengangguran, masalah pertanian, masalah sekolah Katolik, masalah anak yang tak mampu sekolah, masalah kemiskinan atau masalah simpan pinjam bagi umat yang membutuhkan.

– Takut Resiko. Sebagai orang Katolik aku sadar dididik untuk memiliki dan mengamalkan kasih kepada sesama, terutama mereka yang sangat membutuhkan. Ajaran tentang mengasihi kerap kali kudengar sejak duduk di sekolah dasar hingga perguruan tinggi, bahkan dalam kotbah, renungan maupun pendalaman iman. Ajaran memang kasih memang bagus dan indah. Namun seringkali aku gagal mempraktekkannya. Suatu kali ada seorang datang kepadaku. Ia memohon bantuan dana untuk mengecat becaknya. Karena dana yang diminta tak banyak, maka aku memberi. Tahu kalau permintaannya kuberi, suatu kali ia mengisahkan anaknya yang sekolah di STM kesulitan biaya pendidikan. Ia pun memintaku supaya bisa membantu biaya pendidikan sekolah anaknya sebisaku setiap bulan sekali. Beberapa bulan kemudian istrinya mendatangiku, kali ini ia memohon bantuan dana untuk saudaranya yang akan menjalani operasi. Akupun dengan segala keterbatasan mengusahakan bantuan. Lama kelamaan tidak hanya itu, tiap kali ada anak dan istrinya membutuhkan uang aku dimintainya dan lagi-lagi aku harus merogoh saku mengulurkan tangan. Tidak sedikit yang sudah kuberikan untuk keluarga itu. Sementara aku merasa cemas, setiap kali ada kebutuhan dan kesulitan ia selalu datang lagi dan lagi meminta bantuan kepadaku. Pada akhirnya aku merasa tak mau diganggu lagi dengan kehadiran mereka. Tiap kali orang itu datang ke rumah aku menyuruh anak dan istriku berbohong, kalau aku pergi. Rasanya lelah juga membantu mereka terus menerus. Ternyata menaruh kasih dan kepedulian kepada sesama tidak mudah.

III. Kesejatian Hidup Dalam Hubungan Sosial

1. Solider Pada Orang Miskin
Solidaritas sangat penting dalam hidup bersama. Seseorang yang memiliki rasa solidaritas menajdi pribadi yang peduli sesama dan mampu menularkan rasa solidaritas kepada orang lain. Konsep diri mereka positif, karena merasa dibutuhkan. Orang yang memiliki sikap solider ialah orang yang memiliki rasa empati. Sikap solider tampak dari kerelaan orang berbagi, memberikan sumbangan bagi orang yang membutuhkan, menengok teman yang sakit atau membantu teman yang mengalami kesulitan. Pendek kata ia mau peduli dengan sesamanya, terutama yang miskin atau yang membutuhkan bantuan.

2. Gotong Royong
Gotong royong merupakan semangat tradisional khas Indonesia, ialah semangat saling menguntungkan antar anggota masyarakat dalam suatu komunitas. Pemikiran yang melatarbelakanginya yaitu, seseorang tak bisa hidup sendirian, ia membutuhkan orang lain, paling tidak anggota keluarga, kerabat dan tetangganya. Praktek gotong royong berasal dari tradisi masyakat desa agraris, dimana kelompok itu berorientasinya membawa kesejahteraan komunitasnya. Semangat gotong-royong adalah sebuah kecederungan masyarakat yang saling menguntungkan berupa solidaritas dan tanggungjawab sosial. Perwujudannya dalam aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat seperti adanya iuran perbaikan jalan, perbaikan rumah, pembagian air atau perayaan-perayaan dalam masyarakat. Semangat gotong-royong dimaksudkan untuk meningkatkan kesatuan masyarakat, untuk kerjasama dan menghindari konflik antar anggota masyarakat. Gotong royong juga mendukung terciptanya kesejahteraan anggota, ialah kesejahteraan lahir batin.

3. Berani Rugi (Tambel)
Berani merugi tumbuh dari adanya kesediaan untuk berkorban. Berani merugi dalam masyarakat kita, tampak dari sikap peduli, tolong-menolong, dan gotong royong. Berani merugi ialah sikap rela meninggalkan egonya atau keluar dari dirinya sendiri. Wujudnya berupa tindakan, sikap, perilaku, atau berpola pikir bahwa orang lain, kepentingan bersama dan yang lebih mendesak harus didahulukan daripada dirinya sendiri. Ia tak lagi memikirkan apa yang didapat dan berapa yang didapat. Yang penting menolong, membantu, murah hati dan memberi. Bukan itu saja! Meraka berani “tambel” dari kocek pribadi. Bagi mereka, berani merugi bahkan menjadi bagian dari pelayanan dan memberi yang terbaik Sikap itu lahir dari keyakinan bahwa Tuhan telah memberiku banyak sehingga tidak ragu atau takut untuk berkorban dan memberi diri bagi pelayanan.

4. Pengembangan Modal
Pengembangan modal adalah sebuah upaya yang dilakukan peminjam untuk mengembangkan modal yang didapat dari pinjaman. Pinjaman atau lazimnya disebut kredit adalah sebuah tipe hutang. Seperti hutang-hutang yang lain, pinjaman berarti sebuah distribusi modal dalam jangka waktu tertentu, antara pemberi pinjaman dan peminjam. Peminjam pertama-tama mendapat sejumlah uang dari pemberi pinjaman dan mereka biasanya membayar kembali dalam bentuk angsuran berkala. Peminjam hendaknya mendapatkan pinjaman yang berbunga rendah. Peminjam harus mengembangkan modal untuk kegiatan produksi, bukan untuk kegiatan konsumsi atau dihabiskan begitu saja. Sehingga bisa mengembalikan pinjaman bahkan untuk ditabung. Dengan demikian pengembangan modal benar-benar menguntungkan dan memberdayakan si peminjam yang sangat membutuhkan.

5. Swadaya (Mandiri)
Kemandirian adalah suatu konsep yang sering dihubungkan dengan karya sosial. Dalam konsep ini individu maupun masyarakat menjadi subyek bukan sasaran bantuan. Padahal mestinya satu-satunya tujuan hidup bagi golongan miskin hanyalah menyelamatkan diri dari tekanan hidup dengan jalan berusaha sendiri. Kemandirian menjadi faktor sangat penting untuk mencapai kesejahteraan. Konsep ini tidak hanya mencakup pengertian kecukupan diri di bidang ekonomi, tetapi juga meliputi faktor manusia secara pribadi, yang di dalamnya mengandung unsur penemuan diri berdasarkan kepercayaan diri. Kemandirian adalah satu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap pelbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan. Kemandirian juga mampu mengatur diri. Proses kemandirian adalah proses yang berjalan tanpa ujung. Sikap mandiri harus dijadikan tolok ukur keberhasilan karya, yakni apakah umat yang dibantu menjadi lebih mandiri atau malah semakin bergantung.

6. Habitus Baru Demi Kesejahteraan Bersama Prioritas dan Beberapa Langkah Strategis.
Prioritas gerakan kita adalah pemberdayaan potensi dan energi ekonomi rakyat. Segala usaha dalam rupa kebijakan publik dan kerjasama dengan pemilik modal berskala besar harus diarahkan pada proses pemberdayaan itu. Prioritas ini mendesak dan untuk itu beberapa langkah berikut perlu. Pertama, gerakan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga masyarakat yang miskin, bukan dengan program dan proses yang melahirkan ketergantungan, melainkan melalui upaya-upaya yang membuat potensi dan energi ekonomi mereka muncul dan berjalan. Kedua, gerakan untuk memberdayakan kelompok-kelompok khusus dalam kaum miskin yang secara ekonomi aktif dan yang mempunyai potensi serta energi untuk berkembang. Terutama sangat penting gerakan pemberdayaan melalui pendidikan kewirausahaan dan pembentukan modal tanpa menggantungkan diri pada modal dari sumber modal berskala besar ataupun pemerintah. Ketiga, gerakan untuk mendidik dan membentuk modal secara mandiri. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari proses pembentukan sikap saling percaya, kejujuran dalam usaha, kreativitas, inovasi, kualitas, ketepatan waktu, pola hidup hemat dan sebagainya.

7. Belajar Dari Pengalaman

– Solider Pada Orang Miskin. Lingkunganku pernah membantu seorang anak dari keluarga yang miskin. Anggota lingkungan secara rutin mengumpulkan uang untuk membiayai anak keluarga itu. Setiap sebulan sekali wakil dari lingkungan menyerahkan dana untuk uang sekolah kepada anak itu melalui kepala sekolahnya. Bertahun-tahun kegiatan itu berlangsung yang didapat warga lingkungan hanya rasa kecewa. Karena anak yang dibantu itu ternyata tidak menjadi lebih baik, masih menganggur, masih menjadi tanggungan orang tuanya, atau cara hidupnya seenaknya. Kabar yang mengecewakan lagi, ada pula anak yang ternyata malah pindah agama. Orang lingkungan yang merasa membantu sering menggerutu “sudah dibantu tak tahu diri”. Kebanyakan warga lingkungan trauma kalau harus menolong anak dari keluarga miskin lagi. Jangan-jangan hasilnya mengecewakan. Dari pelajaran itu seorang warga dalam suatu kesempatan mengatakan, “Kita tidak bisa menuntut terlalu banyak kepada anak yang kita bantu, kalau kita hanya memberi uang saja. Anak yang kita bantu tidak cukup diberi uang tetapi butuh pendampingan dan lebih penting diorangkan. Mestinya selain memberi uang tetapi juga mendampingi dan membimbing dia”. Kini lingkunganku sepakat akan membantu satu anak saja yang akan dibiayai, didampingi dan dibimbing untuk menempuh masa depannya. Semua warga berharap agar usaha ini tidak sia-sia. Lebih baik membantu satu anak, tetapi diperhatikan, didamping dan dibimbing sungguh-sungguh daripada membantu banyak anak hasilnya hanya kekecewaan.

– Gotong Royong. Tidak semua orang bisa datang setiap kali ada acara kerja bakti untuk Gereja. Paling hanya orang-orang tertentu saja. Memang ada yang tidak datang namun memberikan dana untuk sekedar uang konsumsi. Itupun biasanya masih dibicarakan karena menganggap mereka yang tidak datang, tidak mau bersosialisasi. Lebih parah lagi ada yang tidak datang, dan tidak memberikan apa-apa. Diam-diam ada kebiasaan terhadap mereka yang tidak mau datang, entah dalam kerja bakti, entah dalam acara lingkungan. Umat tidak mau mendatangi rumah mereka, kalau mereka punya acara atau ketempatan acara lingkungan. Situasi ini sungguh tidak sehat. Akupun sebenarnya juga malas datang ke rumah orang yang tak pernah hadir dalam kegiatan lingkungan.

– Berani Rugi (Tambel). Lima tahun ini aku aktif dalam karya pelayanan sosial di Gereja. Kami bersama-sama menjual nasi murah sebulan dua kali di halaman Gereja. Hanya dengan 2 ribu saja, pembeli nasi murah bisa makan nasih dengan lauk dan segelas teh hangat. Banyak suka duka yang kami alami. Sukanya, kami bisa berbagi kegembiraan kepada mereka yang miskin. Meskipun uang yang masuk tak sepadan dengan yang kami berikan. Memang kami mendapat subsidi dari dewan paroki dan beberapa dari donatur. Namun tak jarang tim kami seringkali tambel. Untuk biaya rapat, untuk biaya telpon, untuk biaya perjalanan, juga untuk menutupi kekurangan ketika memasak, di antara anggota seringkali mengeluarkan uang dari kantong sendiri. Meskipun kadang terasa lelah, meskipun terkadang merasa rugi waktu, biaya dan tenaga, namun semua demi sebuah karya nyata kepada sesama. Kami bergembira bisa melakukan semua ini. Sebenarnya sudah saatnya kami diganti, namun belum ada yang mau menggantikan. Antara lain karena alasan “tak mau tambel”.

– Pengembangan Modal. Situasiku sungguh sulit. Aku baru saja pulang dari kota karena di PHK dari tempatku bekerja. Kini aku binggung mau berusaha apa di desa. Ijasah aku tak punya, yang kubisa hanya beternak atau bercocok tanam saja. Lernah terbersit akan meminjam dana dari Gereja atau seksi PSE. Tapi trauma pinjaman di stasiku yang tak pernah kembali menghantuiku. Jangan-jangan nanti aku cma bisa pinjam tapi tak bisa kukembalikan karena habis untuk berbagai keperluan. Tapi karena terjepit keadaan aku memberanikan diri mendatangi seksi PSE paroki. Aku meminjam modal untuk membeli dua ekor kambing. Rencanaku, sambil bercocok tanam aku bisa mencari makanan kambing dan mengembangbiakkan ternakku. Kambingku sudah mulai besar dan kini telah beranak. Induknya kujual. Dan uangnya aku kembalikan untuk melunasi pinjaman. Sementara aku kini mulai lagi membesarkan kambing-kambing kecil milikku sendiri. Ternyata pinjaman itu kalau untuk kegiatan produktif sangat bermanfaat. Selama ini kawan-kawanku tidak konsisten. Meminjam tapi untuk dihabiskan mencukupi berbagai keperluan. Akibatnya dana pinjaman hilang begitu saja. Kini setelah kambingku berkembang biak, aku akan mencari peluang lagi apa yang bisa kukembangkan. Entah membuat pupuk memelihara tanaman hias yang laku kujual atau peluang lain yang menguntungkan. Tentu modalnya dari modal pinjaman.

– Mandiri. Pagar Gereja stasiku runtuh terkena tanah longsor. Kami ingin memperbaikinya. Umat stasi berkumpul untuk membahas perbaikan. Setelah selesai kami membuat proposal untuk kami ajukan ke paroki. Romo dan dewan paroki menyarankan supaya kami bisa bergotong-royong memperbaiki pagar yang rusak. Kami disarankan mencari batu dengan bergotong-royong per lingkungan. Karena batu mudah ditemukan di sekitar tempat tinggal kami, maka kami tak perlu membeli dan tak usah membayar ongkos angkut. Untuk pengerjaan, kami juga akan bergotong-royong. Selain menekan biaya juga membuat kami merasa memiliki Gereja. Ternyata tak semua harus dengan biaya. Kami punya kemampuan, kami punya modal yang bisa kami gunakan. Lagipula apa yang ada pada kami bisa kami persembahkan untuk sesama dan Gereja. Tak semua harus minta-minta.

IV. Pemberdayaan Ekonomi Mewujudkan Kesejatian Hidup

1. Pemberdayaan Ekonomi Mikro
Pemberdayaan ekonomi mikro ialah usaha orang-orang yang basis modalnya rendah yang berhimpun untuk mengembangkan kerjasama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Perhimpunan dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, budaya dan aspirasi bersama melalui suatu badan usaha yang dimiliki bersama dan dikontrol secara demokratis. Nilai-nilai yang menjadi dasarnya adalah kemandirian, bertanggung jawab, demokrasi, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas. Nilai-nilai etika yang diyakini anggota adalah: kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan perhatian terhadap sesama. Pemberdayaan ekonomi mikro bentuknya bisa berupa koperasi atau credit union (CU). Keduanya adalah organisasi sukarela, terbuka kepada semua orang yang dapat melayani dan mau menerima tanggung jawab keanggotaan. Keduanya adalah organisasi demokratis yang dikontrol oleh anggota, yang aktif berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan dan membuat keputusan. Anggota berkontribusi secara adil dan pengawasan secara demokrasi atas modal koperasi. Koperasi adalah organisasi mandiri yang dikendalikan oleh anggota-anggotanya. Pemberdayaan ekonomi mikro lewat koperasi dan credit union ada untuk meretas kemiskinan yang ditimbulkan oleh kita sendiri. Keduanya ada untuk membebaskan anggota dari segala kemiskinan melalui gerakan yang berorientasi pada anggota. Keduanya mengajak anggotanya hidup hemat, menabung dan bekerja sama untuk melawan pemerataan kemiskinan yang sedang berlangsung saat ini.

2. Pemberdayaan Dan Pendampingan
Pemberdayaan dan pendampingan adalah peningkatan kemampuan individu sehingga menghasilkan kesejahteraan pribadi secara swadaya. Peningkatan kemampuan individu akan membawa pribadi untuk menyelesaikan apa yang mereka ingin selesaikan, kemampuan teknis dan kemampuan mengatur. Hasilnya ialah pengendalian pribadi dalam masyarakat terhadap semua sumber daya potensial dan sumber daya aktual yang bermanfaat bagi dirinya. Semakin berdaya seseorang dan semakin besar kemampuan yang dimilikinya untuk menghasilkan. Bentuk-bentuk karya sosial pemberdayaan antara lain: pelatihan, pendidikan, penyuluhan, pemodalan, pendampingan terus-menerus, koperasi, pinjaman bergulir, gerakan menabung, penyaluran tenaga kerja, bantuan alat kerja. Sedangkan karya sosial karitatif yang bukan pemberdayaan misalnya: bantuan bencana alam, donor darah, nasi murah, pengobatan gratis. Pendampingan merupakan unsur penting dalam karya sosial. Setiap individu tentu memiliki kemampuan untuk berdaya, namun pendampingan akan menyempurnakannya. Pendampingan yang dimaksud ialah peranan penting untuk mengarahkan, memberi masukan, memberi dorongan dan peneguhan, mengontrol, memfasilitasi obyek dampingan. Pendampingan sebaiknya dilaksanakan terus menerus.

3. Habitus Baru Demi Kesejahteraan Bersama Memajukan Yang Sudah Ada
Nota Pastoral memandang tidak harus memulai dari kekosongan. Sudah ada banyak pemikiran dan kebiasaan yang baik di dalam masyarakat kita, yang dapat kita kembangkan untuk memperkuat saling percaya di antara kita. Di dalam Gereja Katolik Indonesia pun sudah ada sejumlah inisiatif yang patut dijadikan dasar untuk membangun lebih lanjut perekonomian rakyat, misalnya Komunitas Basis Gerejawi, Aksi Puasa Pembangunan (APP) dan Koperasi-koperasi Umat seperti Koperasi Kredit dan Credit union (CU).

Hal ini sesuai dengan hasil Kesepakatan Bersama Seksi Sosial Paroki Se-Keuskupan Surabaya yang pada pertemuan tanggal 10-12 November 2006 di Wisma Hening Santa Catharina Pohsarang membangun komitmen untuk melaksanakan program-program bersama periode 2007-20012, sebagai berikut:
1. Membentuk dan mengembangkan koperasi / credit union
sesuai dengan system yang berlaku
2. Mengembangkan dan mendukung gerakan Tani Lestari
3. Membangun solidaritas dalam penanganan bencana
melalui sistem yang terkoordinasi

4. Belajar Dari Pengalaman

– CU, Cukup Membantu. Anakku hendak masuk kuliah. Untuk keperluannya aku membutuhkan uang cash Rp. 8.000.000,-. Aku memutar otak darimana uang sebesar itu akan kudapat. Sementara pendapatan kami berdua hanya seperempat dari kebutuhan anakku itu. Seorang kawan menyarankanku meminjam di bank. Tetapi ada yang mengatakan syaratnya berbelit. Harus menyerahkan SK pegawai, harus menyertakan jaminan, rekening listrik, belum lagi beban bunga yang tinggi. Bukan pinjaman yang kudapat justru aku makin susah jadinya. Syukurlah aku telah lama ikut Usaha Bersama atau Credit Union (CU) pegawai. Kutelpon temanku pengurus CU, kalau besok aku pinjam Rp. 8.000.000,-. Dia mengiyakan dan akan segera mengirimnya. Kemudahanku ini tak lepas dari usaha bersama kami sejak tahun 1978 mengadakan CU. Sejak dulu, tiap anggota membayar sumbangan wajib Rp. 10.000,- tiap bulan. Setelah sekian lama berjalan aset CU kami sebesar Rp. 60.000.000,-. Uang sebesar itu sungguh memudahkan kami untuk memenuhi berbagai kebutuhan mendesak. Bahkan aku pernah memanfaatkan pinjaman pula memperbaiki rumah juga untuk membantu pengobatan ayahku yang sakit keras. CU terbukti menyelesaikan masalah tanpa masalah. Tidak berbelit, tidak perlu jaminan dan bunganya pun tidak mencekik. Dan yang pasti setiap Natal anggotanya justru mendapat sisa hasil usaha.

– Berdaya Karena Asrama. Dulu aku bukan penganut Katolik. Keluargaku miskin, rumahku hanya gubug sederhana dengan lincak di ruang tamunya. Saat SMP aku belajar di sekolah Katolik dan tinggal di asrama yang dikelola oleh paroki. Situasi inilah yang membuatku memutuskan menjadi Katolik, selain karena perhatian umat yang sungguh mengagumkan. Di asrama, oleh pendampingku aku dididik keras. Aku bisa menanak nasi bahkan meracik sayur. Setelah lulus SMP aku masih kesulitan biaya untuk melanjutkan pendidikan. Tetapi karena prestasiku bagus aku diarahkan untuk melanjutkan ke SMA. Karena orangtuaku tidak mampu membiayai, aku dibantu oleh keluarga-keluarga Katolik yang mampu di parokiku. Aku belajar dengan baik sehingga bisa masuk ke ITS Surabaya. Syukurlah, karena kerja kerasku aku bisa mendapatkan beasiswa kuliah, meskipun untuk biaya hidup aku tetap didukung mereka. Setelah lulus aku bekerja di sebuah perusahaan Jepang. Di perusahaan tersebut semula aku tak puas dan ingin keluar saja. Tetapi berkat ketekunan dan kesabaran, gajiku dinaikkan, aku memegang posisi penting dan diberi tanggung jawab perusahaan menyeleksi calon pegawai yang akan masuk. Aku tidak lupa dengan masa laluku, ketika ada adik-adik kelas dari parokiku ada yang mencari pekerjaan, aku menyalurkan mereka ke perusahaan. Semua yang kuperoleh kini tak membuatku takabur. Aku tetap aktif dalam kegiatan menggereja di tempat tinggalku. Bahkan aku dipercaya untuk menangani toko Gereja.

– Kegagalan Bukan Halangan. Sebenarnya aku bukan orang Katolik. Tetapi setelah mengalami kebaikan dan kemurahan Tuhan aku mau dibaptis menjadi seorang Katolik. Sejak ditinggal suami aku tidak tahu mau berusaha apa untuk mencukupi kebutuhan keluargaku. Sementara aku masih kontrak rumah serta harus memikirkan pendidikan anak-anakku. Segala macam usaha aku coba, sejak dari kota A, gagal lalu aku kembali ke tempat asalku di kota B. Gagal lagi aku pindah ke kota C, lalu pindah lagi ke kota D semua tidak menggembirakan. Aku kembali ke kota A lagi. Di kota A aku mulai merintis usaha baru. Dengan modal nol, aku meminjam dana dari seksi sosial paroki. Dana itu kupakai untuk usaha berjualan kacang. Mulai dari 1 – 2 kg kutitipkan ke warung-warung. Usahaku berjalan hingga aku dapat membayar sekolah kedua anakku. Karena tuntunan dari seorang yang membimbingku aku bisa mendapatkan kacang dengan harga murah. Karena kenalan di Gereja, aku bisa menjual kacang lewat mereka yang berminat. Sampai kini aku bisa menjual kacang 15 – 20 kg. Dari hasil keringat dan usahaku, aku bahkan bisa membiayai kuliah anak-anakku. Kini aku bisa bersyukur. Usaha kerasku menjual kacang membuatku yang dulu kontrak rumah selama bertahun-tahun bisa membeli rumah untuk berteduh.

– Asa Dari Desa. Stasiku stasi desa yang gersang. Kebanyakan umatnya miskin. Para orang tua hanya bisa bertani. Tapi hasilnya tak bagus. Modal tidak punya, untuk menyekolahkan anak tidak bisa. Madesu, masa depan kami seakan suram. Ada seorang katekis yang sangat prihatin dengan keadaan stasi desaku. Ia memiliki ide supaya umat stasiku tidak terpuruk dalam kemiskinan. Pak katekis itu mulai mengusahakan mencari orangtua asuh bagi anak-anak. Anak-anak yang mulai menginjak SMP dititipkan ke berbagai kota. Ada yang dititipkan romo paroki untuk menjadi koster sambil disekolahkan, ada yang dititipkan ke keluarga-keluarga sambil membantu dan disekolahkan, ada yang dititipkan ke panti asuhan dan asrama bruderan di Madiun sambil disekolahkan. Kami sungguh terbantu, karena selain mendapatkan uang honor karena bekerja, kami mendapat ilmu. Sebagian dari honor itu kami kirim ke rumah orang tua. Ada di antara kami ada yang sedang belajar di perguruan tinggi. Sebagian biaya belajar diusahakan dari para romo atau seksi sosial. Ada juga yang sudah menikah, memiliki rumah dan bekerja. Kami tidak bisa seperti ini kalau tidak ada yang mengangkat kami. (A. Luluk Widyawan, Pr, tim katekese APP 2007)

[1]=Nota Pastoral 2006

Blog Rm. Luluk Widyawan