Beranda BERITA Webinar Nasional Membangun Spiritualitas dan Pengharapan Dalam Penderitaan Akibat Ketidakadilan Gender

Webinar Nasional Membangun Spiritualitas dan Pengharapan Dalam Penderitaan Akibat Ketidakadilan Gender

Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik,Katekese, Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Lawan Covid-19, SGPP KWI. Webinar Nasional SGPP. Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat
Dokpri

MIRIFICA.NET – Webinar ini diselenggarakan oleh Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan Konferensi Waligereja Indonesia (SGPP KWI) dengan moderator ibu Ch. Dwi Yuli Nugrahani (pengurus SGPP KWI). Peserta webinar via online mencapai 294 orang adalah para pemerhati dan pejuang keadilan dan kesetaraan gender. Webinar diawali dengan renungan tentang doa mazmur gender dan mars gender yang intinya mengajak semua peserta webinar membangun spiritualitas pengharapan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

Mgr. Kornelius Sipayung OFM.Cap sebagai moderator SGPP KWI dalam sambutan pembuka webinar mengajak refleksi bersama untuk mencari solusi dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Kesetaraan bukan berarti kesamaan tetapi kesetaraan yang adil sesuai dengan kebutuhan dan konteks masing-masing individu sehingga tidak ada individu yang dirugikan. Beliau juga menegaskan bahwa keluarga merupakan institusi pertama yang memiliki fungsi strategis dalam menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender.

Gender sebagai kontruksi sosial tidak perlu dipermasalahkan apabila gender tidak menimbulkan ketidakadilan. Namun kenyataannya gender masih menunjukkan ketidakadilan terhadap laki-laki dan perempuan, dan perempuanlah yang paling menderita. Dalam situasi pandemi perempuan semakin mengalami kesulitan dan penderitaan. Bahkan banyak yg kehilangan pengharapan karena spirtualitasnya lemah. Ketika mereka yang bekerja di ruang publik juga dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan domestik, mereka cenderung bersikap diam dan menyikapi semua itu sebagai “kewajiban suci”. Sementara banyak suami yang beranggapan tidal layak melakukan pekerjaan domestik karena pekerjaan ini pekerjaan perempuan. Di sinilah terjadi diskriminasi dan ketidakadilan gender.

Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik,Katekese, Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Lawan Covid-19, SGPP KWI. Webinar Nasional SGPP. Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat
Dokpri

Ibu Elisabeth A.S. Dewi, PhD yang menjadi salah satu narasumber webinar menegaskan bahwa keluarga idealnya memiliki kontruksi pola hubungan yang didasarkan pada keadilan dan kesetaraan gender atau disebut keluarga dengan kemitraan gender. Keluarga dengan kemitraan gender sekurang-kurangnya memiliki bentuk seperti:

  • Anggota keluarga bebas menentukan pembagian peran dan tugas dalam rumah tangga melalui diskusi dan kesepakatan bersama
  • Adanya transparansi dalam penggunaan sumber daya ketika membagi peran dan dalam menjalankan aktivitas keluarga
  • Melaksanakan fungsi keluarga dan tugas rumah tangga dengan kompunen perilaku, seperti kerjasama, kontribusi ide, perhatian, bantuan moril dan materiil, dan bantuan tenaga dan

Membangun pengharapan untuk mewujudkan keadilan kesetaraan gender tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan harus dilakukan secara bersama-sama. Maka perlu membentuk komunitas – komunitas yang terdiri dari generasi tua, muda atau remaja. Keluarga seharusnya menjadi garis terdepan perubahan menuju keadilan dan kesetaraan gender.

Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik,Katekese, Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Lawan Covid-19, SGPP KWI. Webinar Nasional SGPP. Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat
Dokpri

 

Romo P. Mutiara Andalas SJ yang juga menjadi salah satu narasumber webinar menjelaskan tentang spiritualitas pengharapan dalam gerakan feminisme katolik. Kesadaran pentingnya memiliki daya tahan panjang dalam perjuangan mendorong gerakan feminis Katolik Indonesia mengeksplorasi spiritualitas. Materi yang disampaikan oleh Romo Mutiara mengeksplorasi spiritualitas pengharapan dalam figur spiritual Bunda Maria untuk mendampingi gerakan feminis Katolik Indonesia dalam melahirkan keadilan gender baik dalam keterlibatan sosial maupun eklesial. Maria memiliki sebuah misi yang sulit dan penuh penderitaan. Tetapi Maria berani mengambil resiko, dan untuk inilah dia kuat, untuk ini ia adalah seorang influencer, influencer Allah! Sinodalitas eklesial sebagai kritik terhadap klerikalisme dalam gereja membuka ruang eksplorasi bagi gerakan feminis Katolik Indonesia dalam mengabjadkan spiritualitas pengharapan.

Pengharapan berarti percaya kepada janji-janji Allah dan berusaha mendekati dan menemukan Allah dalam setiap perkara hidupnya. Maka spiritualitas dan pengharapan merupakan satu kesatuan. Pengharapan yang berdasarkan pada kekuatan manusia akan menghasilkan kekecewaan. Tetapi pengharapan yang berpangkal pada spiritualitas akan menghasilkan sukacita. Maria menjadi contoh orang yang memiliki spiritualitas dan pengharapan, maka ia disebut sebagai “yang berbahagia”. Jadi iman yang dihayati dengan penuh pengharapan akan berkata dari dalam lubuk hati: “Aku percaya kepada Allah”, dan inilah yang membuat orang bertahan dalam penderitaan dan berusaha menemukan kehendak Allah dalam penderitaan itu. Karena itu Allah tidak membiarkan manusia menderita melampaui kekuatan manusia.

Tanda iman dan pengharapan adalah kasih. Kasih menjadi motivasi dasar dalam perbuatan orang beriman. Apabila manusia mengarahkan diri kepada Allah dalam iman dan pengharapan, itu merupakan awal dari kasih manusia kepada Allah. Allahlah yang menjadi tujuan hidup manusia. Kasih yang ditujukan kepada sesama merupakan perwujudan kasih

manusia kepada Allah. Oleh karena itu Paulus berkata: “Tinggal tiga ini, iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1 Kor 13:13)

Iman, pengharapan dan kasih merupakan keutamaan – keutamaan dasar kristiani. Iman menjadi sumber kebenaran dan hidup. Pengharapan menjadi penggerak dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Sedangkan kasih sebagai hukum utama kristiani dan menjadi tanda pengenal orang kristiani: “Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13: 35). Dengan ketiga keutamaan itu terbentuklah sikap dasar kristiani: iman dan cinta sebagai baju, pengharapan sebagai topi: “Tetapi kita yang adalah orang-orang siang, baiklah kita sadar, berbaju-zirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan. Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita” (1 Tesalonika 5: 8-9). Jadi pengharapan yang dilandasi iman bersifat aktif: cerdik dan tegas: “Hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Matius 10:16). Inilah yang membuat manusia yakin bahwa apa yang tidak mungkin bagi manusia mungkin bagi Allah. Bahkan dalam penderitaan manusia masih tetap menaruh pengharapan kepada Allah karena Allah yang diimani adalah Allah yang setia dan selalu memberi kekuatan. (Ch. Suryanti, pengurus SGPP KWI dan dosen di Universitas Atma Jaya)