Pendahuluan
Dalam konteks Gereja Partikular atau keuskupan, Vikaris Jenderal merupakan salah satu figur penting yang memiliki kedudukan dan peran yang sentral. Sama seperti Vikaris Episkopal, ia adalah kolaborator langsung dari Uskup Diosesan dalam memimpin seluruh keuskupan terutama dalam mengarahkan reksa pastoral dan administrasi keuskupan. Ia juga dipandang adalah “alter ego” Uskup Diosesan. Sedemikian pentingnya kedudukan dan peran Vikaris Jenderal menjadi alasan mengapa Legislator mewajibkan keberadaanya di setiap keuskupan.
Jika ditilik dari segi sejarah, sosok Vikaris Jenderal ternyata sudah ada sejak abad ke-13 dan tampaknya pada akhir abad ketiga belas, jabatan ini sudah ditetapkan secara jelas. Pada waktu itu keberadaannya sangat dibutuhkan untuk membantu Uskup Diosesan, khususnya ketika Uskup Diosesan tidak berada di tempat karena satu dan lain alasan. Ketidakhadiran Uskup Diosesan tidak memengaruhi aktivitas pastoral bagi umat dengan adanya Vikaris Jenderal (bdk. T. D. Dougherty, The Vicar General of the Episcopal Ordinary, Canon Law Studies, No. 447, Washington, DC, The Catholic overview of the America Press, 1966, hlm. 11-27).
Pertanyaan seputar Vikaris Jenderal, khususnya menyangkut pengangkatan, syarat pengangkatan, inkompatibilitas, kuasa, relasi kerja dengan Uskup Diosesan dan berarkhirnya jabatan seringkali muncul di tengah umat beriman. Tulisan kecil ini coba memberikan jawaban ala kadarnya dengan merujuk pada ketentuan normatif dan dokumen Gereja yang relevan.
Pengangkatan
Dalam Kodeks Lama 1917, pengangakatan Vikaris Jenderal bukanlah sesuatu hal yang wajib dilakukan dan karena itu bersifat opsional. Pengangkatannya dimungkinkan ”quoties rectum diocesis regimen id exigat”, setiap kali kepemimpinan yang benar atas keuskupan membutuhkannya (bdk. KHK 1917, kan. 366, §1). Kodeks 1983, sebaliknya, menetapkan pengangkatan Vikaris Jenderal sebagai sesuatu hal yang wajib dilakukan. Kanon 475, §1 secara eksplisit menyatakan bahwa di setiap keuskupan haruslah diangkat oleh Uskup Diosesan seorang Vikaris Jenderal, yang diberi kuasa berdasar jabatan untuk membantu Uskup dalam memimpin seluruh keuskupan. Ketentuan normatif ini merujuk pada Dekret Christus Dominus no. 27 tentang pengorganisasian kuria keuskupan.
Sebagai ketentuan umum hendaknya diangkat satu Vikaris Jenderal, kecuali dianjurkan lain atas dasar pertimbangan luasnya wilayah keuskupan atau besarnya jumlah umat atau alasan pastoral lainnya (bdk. kan. 475, §2). Frase “ sebagai ketentuan umum” menyiratkan bahwa Uskup Diosesan dapat mengangkat lebih dari satu Vikaris Jenderal di keuskupannya. Hemat kami, gagasan tentang kesatuan pemerintahan serta kemungkinan memiliki Vikaris Episkopal mengurangi kemungkinan untuk mengangkat lebih dari satu Vikaris Jenderal.
Dalam hubungan dengan pengangkatan, Uskup Diosesan bebas menentukan pilihan dan tidak diwajibkan untuk meminta pendapat orang lain (bdk. Kan. 477, §1). Pengangkatan Vikaris Jenderal merupakan hak prerogratif Uskup Diosesan dan karena itu tidak diwajiban oleh hukum untuk meminta persetujuan atau nasihat dari orang lain atau organ konsultatif seperti Kolegium konsultor dan dewan presbiteral. Dalam proses revisi Kitab Hukum Kanonik, pernah diusulkan agar nasehat dan usul saran dari dewan presbiteral perlu didengar (audito consilio presbyterali) oleh Uskup Diosesan sebelum mengangkat Vikaris Jenderal, namun usulan tersebut ditolak dengan alasan bahwa hal ini menyangkut vikaris uskup dan bukan vikaris presbiterium (bdk. Communicationes 19, 1987, hlm. 125-126, can. 3).
Syarat Pengangkatan
Sebagai persyaratan umum untuk suatu jabatan gerejawi, seseorang harus haruslah berada dalam persekutuan Gereja dan juga cakap, artinya ia mempunyai kualitas yang dituntut untuk jabatan itu oleh hukum universal atau partikular (bdk. Kan. 149). Seseorang dikatakan berada dalam persekutuan Gereja jika dalam tataran yang kelihatan ia dihubungkan dengan Kristus dengan ikatan-ikatan pengakuan iman, sakramen-sakramen dan kepemimpinan gerejawi (bdk. Kan. 205).
Jabatan Vikaris Jenderal adalah jabatan gerejawi. Dalam hubungan dengan pengangkatannya, kanon 478, §1 menetapkan beberapa syarat, yakni:
Pertama, haruslah seorang imam. Syarat ini merupakan sesuatu yang sangat fundamental demi keabsahan. Mengapa harus imam? Alasannya karena Vikaris Jenderal bertanggungjawab dalam menjalankan kuasa eksekutif pemerintahan di keuskupan, termasuk perbuatan-perbuatan tertentu yang hanya dilakukan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci (bdk. Kan. 129, §1; 150). Argumentasi ini didasarkan pada prinsip sederhana bahwa secara teologis figur yuridis Vikaris Jenderal berhubungan dengan kedudukannya sebagai ’alter ego’ Uskup Diosesan dalam menjalankan fungsi pastoral dan administratif. Jabatan Vikaris Jenderal berhubungan erat dengan perhatian penuh terhadap pemeliharaan jiwa-jiwa dan karena itu tidak dapat “secara sah” diberikan kepada seseorang yang belum menerima tahbisan imamat. Penting juga untuk diingat bahwa berbeda dengan ketentuan Kodeks Lama 1917 yang menetapkan bahwa Vikaris Jenderal haruslah dari kalangan klerus diosesan (bdk. KHK 1917, kan. 367, §1), Kodeks 1983 memberikan keleluasaan kepada Uskup Diosesan untuk mengangkat imam, baik imam diosesan maupun imam tarekat religius tertentu (bdk. Communicationes, 13, 1981,c. 291).
Kedua, berusia tak kurang dari tiga puluh tahun. Ketentuan menyangkut batasan usia ini sempat menjadi bahan perdebatan para ahli terkait penafsiran ’non minus triginta’ . Ada yang berpendapat bahwa hal itu berarti yang bersangkutan harus sudah mencapai usia 30 tahun. Sementara itu, yang lain pendapat bahwa sudah cukup jika usianya sudah mendekati usia ini. Dalam praktiknya, sebagian besar Vikaris Jenderal berusia lebih dari empat puluh tahun dan tidak seorang pun menyangkal perlunya usia kematangan manusiawi sebelum seseorang memangku jabatan yang menuntut tanggung jawab yuridis dan moral yang besar.
Ketiga, bergelar doktor atau lisensiat dalam hukum kanonik atau teologi. Dalam Kodeks Lama 1917, kan. 367, §1, Vikaris Jenderal harus memiliki gelar doktor atau lisensiat di bidang teologi dan hukum kanonik atau sekurang-kurangnya sangat ahli dalam bidang-bidang ini (vel saltem earum disciplinarum vere peritus). Kodeks 1983 tidak menetapkan syarat akademik ini sebagai sesuatu yang bersifat wajib. Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk memastikan bahwa imam yang memangku jabatan tersebut sungguh-sungguh kompeten dari segi formasi, baik pastoral maupun akademik. Pengetahuan yang mendalam tentang hukum kanon dan teologi diperlukan agar vikaris uskup dapat menjalankan fungsinya secara efektif. Di lain pihak, syarat ini bukanlah syarat ad validitatem, demi keabsahan pengangkatan. Uskup Diosesan tetap bebas mengangkat seorang imam yang sekalipun tidak memiliki kualifikasi akademik formal, namun sekurang-kurangnya sungguh ahli dalam ilmu-ilmu itu.
Keempat, layak karena ajaran yang sehat (sana doctrina), peri kehidupan yang baik, kearifan dan pengalaman kerja. Kualitas manusiawi dan kristiani seperti ini juga diharapkan ada dalam diri imam yang hendak diangkat menjadi Vikaris Jenderal. Efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab seorang Vikaris Jenderal dalam membantu karya pastoral Uskup Diosesan juga bergantung dari kualitas yang dimilikinya dalam hubungan dengan hal-hal ini. Dengan ini hendak dikatakan bahwa pengetahuan dan ketrampilan akademik saja tidaklah cukup jika tidak dijiwai oleh ajaran yang sehat, kejujuran hidup, kehati-hatian dan pengalaman, serta penghargaan dan kepercayaan dari umat beriman di keuskupan, khususnya para klerus dan religius.
Inkompatibilitas
Dalam Kodeks 1983 , disinggung tentang larangan untuk memberikan jabatan rangkap kepada seseorang yang tidak dapat dipadukan. Artinya dua jabatan yang tidak dapat dilaksanakan serentak oleh orang yang satu dan sama (bdk. Kan. 152). Larangan ini didasarkan pada pertimbangan efektivitas, efisiensi dan ketuntasan dalam pelaksanaan tugas yang dipercayakan oleh otoritas gerejawi yang berwenang dan demi menghindari ketidak-nyaman yang ditimbulkan dari jabatan rangkap tersebut yang bagaimanapun dapat berpengaruh terhadap kinerja kerja.
Kodeks 1983, kan. 478 §2 menggariskan ketentuan menyangkut dua jabatan yang tidak dapat dipadukan dengan jabatan Vikaris Jenderal. Jabatan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, penitensiarius kanonik. Berdasarkan jabatannya, penitensiarius kanonik memiliki kewenangan untuk mengampuni dalam tata sakramental dari hukuman censura otomatis yang tidak dinyatakan di keuskupan yang tidak direservasi bagi Takhta Apostolik (kan. 508 – § 1). Hal ini berarti bahwa kuasa yang dimilikinya hanya terbatas dalam forum internal sakramental. Berdasarkan kanon 152, jabatan penitensiarius kanonik dan jabatan Vikaris Jenderal tidak dapat disandingkan karena yang pertama berhubungan secara eksklusif dengan forum internal dan yang kedua dengan forum eksternal. Undang-undang tampaknya mengantisipasi adanya konflik yang tidak dapat diselesaikan jika satu orang ditunjuk untuk mengemban kedua jabatan tersebut sekaligus. Pernyataan yuridis tentang ketidaksesuaian antara jabatan-jabatan ini dimaksudkan untuk menjaga pemisahan yang tegas antara hal-hal yang berkaitan dengan forum internal dan yang hanya ditangani dalam forum eksternal.
Kedua, orang yang berhubungan darah dengan Uskup sampai tingkat keempat (usque ad quartum gradum). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga kebebasan Uskup sendiri dalam mengambil keputusan serta menjaga objektivitas dan integritas dalam menilai dan memutuskan hal-hal yang menyangkut kepentingan keuskupannya. Legislator tampaknya hendak menghindari sejauh mungkin konflik kepentingan yang dapat terjadi dalam diri Uskup Diosesan jika hal seperti ini tidak digariskan secara tegas dalam hukum.
Kuasa Vikaris Jenderal
Kuasa dimengerti sebagai fakultas untuk melakukan sesuatu. Doktrin kanonik mendefinisikan kuasa sebagai hak untuk memerintah atau mewajibkan yang digunakan demi mencapai kebaikan publik (ius imperandi seu obligandi alios in ordinem ad finem publicum).
Dalam hubungan dengan kuasa yang dimiliki oleh Vikaris Jenderal, kanon 479 menetapkan ketentuan menyangkut isi dan jangkauan kuasa tersebut. Menurut kanon ini, berdasarkan jabatan Vikaris Jenderal memiliki kuasa eksekutif atas seluruh keuskupan yang menurut undang-undang dimiliki oleh Uskup Diosesan, yaitu kuasa untuk melakukan semua tindakan administratif kecuali tindakan yang direservasi oleh uskup untuk dirinya sendiri atau yang menurut hukum memerlukan mandat khusus dari uskup. Ketentuan ini memuat beberapa prinsip berikut, yakni:
Pertama, berdasarkan kanon 475, §1 dan 476, Vikaris Jenderal memiliki kuasa ordinaria (potestas ordinaria) pemerintahan oleh karena melekat pada jabatannya dan karena itu, diberikan kepadanya oleh undang-undang pada saat pengangkatan. Secara yuridis, kuasa ordinaria ini dilaksanakan atas nama orang lain (potestas ordinaria vicaria) yakni Uskup Diosesan. Dengan kata lain, kuasa yang dijalankannya bukan atas nama pribadi, melainkan atas nama Uskup Diosesan (bdk. Kanon 131, §2). Kuasa yang dimiliki oleh Vikaris Jenderal merupakan kuasa pemerintahan yang sesungguhnya (bdk. Kan. 129, §1), namun demikian terbatas pada fungsi administratif atau eksekutif.
Kedua, berdasarkan jabatannya Vikaris Jenderal mempunyai kuasa eksekutif yang sama “atas seluruh keuskupan” yang menurut hukum dimiliki oleh Uskup Diosesan, yaitu untuk melakukan semua tindakan administratif kecuali hal-hal yang memerlukan mandat khusus menurut norma hukum (bdk. Kanon 134, §3).
Ketiga, dalam Gereja Partikular, Vikaris Jenderal adalah termasuk Ordinaris (bdk. Kan. 134) dan oleh karena itu ia dapat secara sah menjalankan kuasa eksekutifnya atas seluruh umat beriman di wilayah keuskupan meskipun mereka berada di luar wilayah, kecuali jika dipastikan sebaliknya berdasarkan sifat kasusnya atau berdasarkan ketentuan undang-undang. Vikaris Jenderal juga dapat menggunakan kuasanya atas pengembara atau pelancong yang berada di wilayahnya asalkan hal tersebut berkaitan dengan pemberian kemurahan atau penegakan hukum universal atau hukum partikular di wilayah di mana mereka berada (bdk. Kanon 136).
Keempat, Vikaris Jenderal memiliki kuasa eksekutif ordinaria dan oleh karena itu dapat mendelegasikannya baik untuk satu tindakan saja maupun untuk semua kasus, kecuali undang-undang secara tegas menentukan lain (bdk. Kanon 137, §1).
Kelima, untuk menjaga prinsip kesatuan pemerintahan keuskupan dan ketergantungan seluruh umat beriman pada wewenang Uskup Diosesan, Kodeks 1983 menetapkan bahwa suatu permohonan yang ditolak oleh Vikaris Jenderal tidak dapat diberikan secara sah oleh Vikaris Episkopal dari keuskupan yang sama. Demikian juga, permohonan yang ditolak oleh Uskup Diosesan tidak dapat diperoleh secara sah dari Vikaris Jenderal tanpa persetujuan Uskup Diosesan sekalipun penolakan itu telah disebutkan (bdk. Kan. 65, §3).
Keenam, menurut norma kanon 391, §2, Vikaris Jenderal tidak memiliki kewenangan dalam bidang yudisial oleh karena hal ini dijalankan oleh Uskup Diosesan secara pribadi atau melalui Vikaris Yudisial dan para hakim. Kanon 1420, §1 menetapkan bahwa setiap Uskup Diosesan harus mengangkat seorang Vikaris Yudisial yang mempunyai kuasa biasa untuk mengadili. Pertanyaannya adalah apakah Uskup Diosesan dapat mengangkat imam yang sama untuk jabatan Vikaris Jendral dan Vikaris Yudisial? Hukum Kanonik tidak melarangnya dan menyerahkan sepenuhnya kepada Uskup Diosesan untuk menentukan yang terbaik. Di keuskupan yang wilayahnya tidak terlalu luas dan jumlah kasus yang relatif kecil Uskup Diosesan dapat mempercayakan kedua jabatan tersebut kepada imam yang sama.
Kesatuan Dalam Tindakan
Vikaris Jenderal diangkat untuk membantu Uskup Diosesan dalam melaksanakan pemerintahan keuskupan secara efektif. Oleh karena itu, penting agar figur yuridis ini bertindak bersama-sama dengan Uskup Diosesan. Kanon 480 mengungkapkan perlunya kesatuan dalam tindakan pastoral. Vikaris Jenderal berkewajiban untuk melapor kepada Uskup Diosesan perkara-perkara utama baik yang akan maupun yang telah dilakukannya dan jangan sekali-kali bertindak “contra voluntatem et mentem” Uskup Diosesan.
Substansi dari norma ini diambil langsung dari artikel 14 Ecclesiae sanctae yang pada intinya menyatakan bahwa sebagai kooperator dalam jabatan episkopal, vikaris hendaknya menyerahkan segala sesuatu yang telah atau akan dilakukannya kepada Uskup Diosesan dan tidak boleh bertindak bertentangan dengan pikiran dan kehendak Uskup. Selain itu, hendaknya ia juga sering bertukar pikiran dengan para Vikaris Episkopal. Pernyataan ini menggarisbawahi beberapa prinsip penting yang berlaku bagi semua yang bekerja dengan Uskup Diosesan demi kebaikan Gereja partikular.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, kuasa eksekutif Vikaris Jenderal adalah ordinaria dan bukan kuasa yang dimiliki sendiri dan dijalankan sendiri (potestas propria). Ia tetap berada di bawah kuasa Uskup Diosesan. Ia mempunyai kewajiban teologis yang serius terhadap uskup berdasarkan “persekutuan gerejawi” dan kewajiban yuridis berdasarkan ketentuan hukum, untuk bertindak sesuai persetujuan uskup, yang secara prinsipiil bertanggung jawab atas pemerintahan keuskupan, dan tidak boleh bertindak bertentangan dengan kemauan dan kehendaknya. Demi kebaikan pastoral umat beriman Vikaris Jenderal diingatkan untuk selalu menginformasikan berbagai kegiatan, baik yang telah, sedang atau yang akan dilaksanakan kepada Uskup Diosesan. Dengan cara ini Uskup Diosesan mendapat informasi yang diperlukannya terkait berbagai aktivitas pastoral yang dijalankan demi kebaikan spiritual umat Allah yang dipercayakan pada penggembalaannya.
Semua prinsip ini menekankan kesatuan tindakan di dalam keuskupan. Merupakan kewajiban Vikaris Jendral untuk selalu berhubungan dengan Uskup Diosesan mengenai kegiatan-kegiatan pastoral yang berada dalam lingkup kewenangannya dan selalu menjaga agar kegiatan yang dijalankannya selaras dengan kehendak dan intensi serta pikiran Uskup Diosesan.
Berakhirnya Jabatan
Berakhirnya jabatan Vikaris Jenderal mengikuti prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam Kodeks 1983 menyangkut berakhirnya jabatan gerejawi. Sesuai dengan norma kanon 184, §1 tentang hilangnya jabatan gerejawi, kanon 481, §1 menetapkan beberapa hal sebagai berikut, yakni:
Pertama, berakhirnya masa jabatan. Jabatan Vikaris Jenderal berakhir sesuai jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Keputusan pengangkatan. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa, menurut norma kanon 186, berhentinya jabatan tersebut tidak terjadi secara otomatis, karena kanon ini menyatakan bahwa jabatan tersebut berhenti hanya pada saat otoritas yang berwenang menyampaikannya secara tertulis.
Kedua, pengunduran diri. Jabatan Vikaris Jenderal dapat berakhir dengan pengunduran diri yang bersangkutan. Pengunduran diri harus merupakan tindakan yang disengaja dan atas dasar kebebasan (kan. 187). Pengunduran diri dari jabatan karena ketakutan besar yang dikenakan secara tidak adil tidak sah demi hukum itu sendiri (kan. 188). Untuk sahnya, pengunduran diri dari jabatan harus dilakukan secara tertulis atau secara lisan di hadapan dua saksi (bdk. Kan. 189 – § 1). Pengabulan dari pihak otoritas gerejawi atas pengunduran diri tersebut sangat bergantung pada apakah hal tersebut didasarkan atas alasan yang wajar dan memadai ataukah tidak (bdk. Kan 189 – § 2). Tindakan administratif yang dilakukan oleh Vikaris Jenderal tetap dianggap sah sampai adanya pemberitahuan penerimaan pengunduran dirinya oleh Uskup Diosesan. Pengunduran diri tidak memerlukan persetujuan dari Uskup Diosesan, namun di lain pihak, penerimaan diperlukan agar pengunduran diri tersebut efektif.
Ketiga, pemberhentian dari jabatan. Pemberhentian Vikaris Jenderal harus didasarkan atas alasan yang berat dan telah dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku (bdk. Kanon 193, §§1-2). Pemberhentian juga dapat terjadi karena alasan yang wajar atas pertimbangan arif otoritas yang berwenang (bdk. Kanon 193 , §3). Pemberhentian Vikaris Jenderal merupakan hal yang serius dan karena itu harus dilakukan secara hati-hati dan bijaksana serta mengikuti prosedur hukum yang berlaku.
Keempat, Tahta Lowong. Kekosongan Takhta Episkopal dapat disebabkan kematian Uskup Diosesan, pengunduran diri yang diterima oleh Takhta Suci, pemindahan, atau pemecatan dari jabatan yang diberitahukan kepada Uskup (kanon 416). Dalam hal ini, jika Vikaris Jenderal adalah imam, kuasanya berakhir ketika ia menerima pemberitahuan tentang tahta lowong (lih. Kanon 417 dan 418). Segala perbuatan hukum yang dilakukan Vikaris Jenderal tetap sah sampai pemberitahuan tentang tahta lowong diterima olehnya (bdk. Kanon 417). Jika Vikaris Jendral adalah seorang uskup maka ia tetap mempunyai kuasa “sede plena” sampai uskup baru mengambil alih secara kanonik atas keuskupan tersebut, kecuali jika hal itu ditentukan lain oleh otoritas yang berwenang.
Kelima, selain berbagai alasan di atas, berakhirnya jabatan Vikaris Jenderal juga terjadi dalam kasus di mana jabatan Uskup Diosesan ditangguhkan, kecuali Vikaris Jenderal yang bermartabat Uskup (bdk. Kan. 481, §2). Alasan utama yang mendasari norma ini adalah hubungan intrinsik antara Uskup Diosesan dan Vikaris Jendral. Kuasa yang dimiliki oleh Vikaris Jenderal adalah kuasa yang dilaksanakan atas nama orang lain (potestas vicaria), yakni Uskup Diosesan. Oleh karena itu, kecuali ia sendiri adalah bermartabat uskup, kuasanya akan ditangguhkan ketika uskup ditanggungkan dari jabatannya. Jabatan Uskup Diosesan dapat ditangguhkan jika yang bersangkutan mendapat hukuman kanonik, seperti ekskomunikasi, suspensi, dan interdik (bdk. Kanon 1333-1335), atau melalui ketentuan Takhta Suci.
Penutup
Keberadaan Vikaris Jenderal dimaksudkan untuk membantu Uskup Diosesan dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan di keuskupan. Ia adalah ’alter ego’ Uskup Diosesan dan memiliki kuasa ordinaria. Dalam menjalankan tugasnya, ia harus selalu bertindak dalam kesatuan dengan Uskup Diosesan dan tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan maksud dan kehendak Uskup Diosesan.
Ketentuan normatif menyangkut pengangkatan, syarat-syarat yang diperlukan, kuasa dan hubungan dengan Uskup Diosesan dan pemberhentian dari jabatannya, sudah diatur sedemikian jelas dalam Kodeks 1983. Berbagai ketentuan ini perlu dibaca dan diperhatikan dengan sebaik-baiknya demi memperoleh pemahaman yang dibutuhkan, khususnya ketika harus diaplikasikan dalam konteks tertentu.
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.