Beranda KATEKESE Vikaris Jenderal: Catatan Yuridis-Pastoral

Vikaris Jenderal: Catatan Yuridis-Pastoral

OMK, Orang Muda Katolik, Rapat Pleno Orang Muda, Komkep KWI, Katekese, Rengkuh dan Tumbuh, Komsos KWI, 2024,

Pendahuluan

Dalam  konteks  Gereja Partikular  atau keuskupan, Vikaris Jenderal merupakan salah satu figur penting  yang  memiliki kedudukan dan peran yang  sentral. Sama seperti Vikaris Episkopal, ia  adalah kolaborator langsung dari Uskup Diosesan dalam memimpin seluruh keuskupan terutama dalam mengarahkan reksa pastoral dan administrasi keuskupan.  Ia juga dipandang  adalah “alter ego” Uskup Diosesan. Sedemikian pentingnya kedudukan dan peran Vikaris Jenderal menjadi alasan mengapa Legislator mewajibkan keberadaanya  di setiap keuskupan.

Jika ditilik dari segi sejarah, sosok Vikaris Jenderal  ternyata  sudah ada sejak abad ke-13 dan tampaknya pada akhir abad ketiga belas,  jabatan ini  sudah ditetapkan secara jelas. Pada waktu itu keberadaannya sangat dibutuhkan untuk membantu Uskup Diosesan, khususnya ketika  Uskup Diosesan tidak berada di tempat karena satu dan lain alasan. Ketidakhadiran Uskup Diosesan  tidak memengaruhi  aktivitas pastoral bagi umat dengan adanya Vikaris Jenderal (bdk. T. D. Dougherty, The Vicar General of the Episcopal Ordinary, Canon Law Studies, No. 447, Washington, DC, The Catholic overview of the America Press, 1966, hlm. 11-27).

Pertanyaan seputar   Vikaris Jenderal, khususnya menyangkut  pengangkatan, syarat pengangkatan, inkompatibilitas, kuasa, relasi kerja dengan Uskup Diosesan  dan  berarkhirnya jabatan seringkali  muncul di tengah umat beriman. Tulisan kecil ini  coba memberikan jawaban ala  kadarnya  dengan  merujuk pada ketentuan normatif dan dokumen Gereja yang relevan.   

Pengangkatan

Dalam Kodeks Lama 1917, pengangakatan Vikaris Jenderal bukanlah sesuatu  hal yang wajib dilakukan dan karena itu  bersifat opsional. Pengangkatannya dimungkinkan ”quoties rectum diocesis regimen id exigat”, setiap kali kepemimpinan yang benar atas keuskupan membutuhkannya  (bdk. KHK 1917, kan. 366, §1). Kodeks 1983, sebaliknya, menetapkan pengangkatan Vikaris Jenderal sebagai sesuatu hal yang wajib dilakukan. Kanon 475, §1 secara eksplisit menyatakan bahwa di setiap keuskupan haruslah diangkat oleh Uskup Diosesan seorang Vikaris Jenderal, yang diberi kuasa berdasar jabatan untuk membantu Uskup dalam memimpin seluruh keuskupan. Ketentuan normatif ini merujuk pada Dekret Christus Dominus no. 27 tentang pengorganisasian kuria keuskupan.

Sebagai ketentuan umum hendaknya diangkat satu Vikaris Jenderal, kecuali dianjurkan lain atas dasar pertimbangan luasnya wilayah  keuskupan  atau besarnya jumlah umat atau alasan pastoral lainnya (bdk. kan. 475, §2). Frase “ sebagai ketentuan umum”  menyiratkan bahwa Uskup Diosesan dapat mengangkat lebih dari satu Vikaris Jenderal  di keuskupannya.  Hemat kami, gagasan tentang kesatuan pemerintahan serta kemungkinan memiliki  Vikaris Episkopal  mengurangi  kemungkinan untuk   mengangkat  lebih dari satu Vikaris  Jenderal.

Dalam hubungan dengan pengangkatan, Uskup Diosesan  bebas menentukan pilihan dan  tidak diwajibkan untuk meminta pendapat  orang lain (bdk. Kan. 477, §1). Pengangkatan Vikaris Jenderal  merupakan hak prerogratif  Uskup Diosesan dan karena itu tidak diwajiban oleh hukum  untuk meminta persetujuan atau nasihat dari orang lain  atau organ konsultatif seperti Kolegium  konsultor dan dewan presbiteral. Dalam proses revisi Kitab Hukum Kanonik, pernah diusulkan agar nasehat dan usul saran dari  dewan presbiteral perlu didengar (audito consilio presbyterali) oleh Uskup Diosesan sebelum mengangkat Vikaris Jenderal,  namun usulan tersebut  ditolak   dengan alasan bahwa hal  ini menyangkut vikaris uskup  dan bukan vikaris presbiterium (bdk. Communicationes 19, 1987, hlm. 125-126, can. 3).

Syarat Pengangkatan

Sebagai persyaratan umum untuk suatu jabatan gerejawi, seseorang harus  haruslah berada dalam persekutuan Gereja dan juga cakap, artinya ia mempunyai kualitas yang dituntut untuk jabatan itu oleh hukum universal atau partikular (bdk. Kan. 149). Seseorang dikatakan berada dalam persekutuan Gereja  jika  dalam tataran yang  kelihatan ia dihubungkan dengan Kristus dengan  ikatan-ikatan pengakuan iman, sakramen-sakramen dan kepemimpinan gerejawi (bdk. Kan. 205). 

Jabatan Vikaris Jenderal adalah jabatan gerejawi. Dalam hubungan dengan pengangkatannya, kanon 478, §1 menetapkan  beberapa syarat, yakni:

Pertama,  haruslah seorang imam. Syarat ini merupakan sesuatu yang sangat fundamental demi keabsahan. Mengapa harus imam? Alasannya karena Vikaris Jenderal bertanggungjawab dalam menjalankan kuasa eksekutif pemerintahan di keuskupan, termasuk perbuatan-perbuatan  tertentu yang hanya dilakukan oleh mereka yang telah menerima  tahbisan suci (bdk. Kan. 129, §1; 150).  Argumentasi  ini didasarkan pada prinsip sederhana bahwa secara teologis  figur yuridis Vikaris Jenderal berhubungan dengan kedudukannya sebagai ’alter ego’  Uskup Diosesan dalam menjalankan fungsi pastoral dan administratif.  Jabatan Vikaris  Jenderal  berhubungan erat dengan  perhatian penuh terhadap pemeliharaan jiwa-jiwa dan  karena itu  tidak dapat “secara sah” diberikan kepada seseorang yang belum menerima tahbisan imamat.  Penting juga untuk diingat bahwa berbeda dengan  ketentuan Kodeks Lama 1917 yang  menetapkan bahwa  Vikaris Jenderal  haruslah dari kalangan klerus diosesan (bdk. KHK 1917, kan. 367, §1), Kodeks 1983  memberikan keleluasaan kepada Uskup Diosesan untuk mengangkat imam, baik imam diosesan maupun  imam  tarekat religius tertentu (bdk.  Communicationes, 13, 1981,c. 291).

Kedua,  berusia tak kurang dari tiga puluh tahun. Ketentuan  menyangkut batasan  usia ini sempat menjadi bahan perdebatan para ahli terkait penafsiran  ’non minus triginta’ . Ada yang berpendapat bahwa  hal  itu  berarti yang bersangkutan harus sudah mencapai usia 30 tahun. Sementara  itu, yang lain  pendapat  bahwa sudah cukup jika  usianya  sudah mendekati usia ini. Dalam praktiknya, sebagian besar Vikaris Jenderal  berusia lebih dari empat puluh  tahun dan tidak seorang pun menyangkal perlunya usia kematangan manusiawi sebelum seseorang memangku jabatan yang  menuntut  tanggung jawab yuridis dan moral yang besar.

Ketiga, bergelar doktor atau lisensiat dalam hukum kanonik atau teologi. Dalam Kodeks Lama 1917,  kan. 367, §1,  Vikaris  Jenderal harus memiliki  gelar doktor atau lisensiat di bidang teologi dan hukum kanonik atau sekurang-kurangnya  sangat ahli dalam bidang-bidang ini  (vel saltem earum disciplinarum vere peritus). Kodeks 1983 tidak menetapkan syarat akademik  ini sebagai sesuatu yang bersifat wajib. Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk memastikan bahwa imam  yang memangku jabatan tersebut sungguh-sungguh kompeten  dari  segi formasi,  baik pastoral maupun akademik. Pengetahuan yang  mendalam  tentang hukum kanon dan teologi diperlukan agar vikaris uskup dapat menjalankan fungsinya secara efektif. Di lain pihak, syarat ini bukanlah syarat ad validitatem, demi keabsahan pengangkatan. Uskup Diosesan tetap  bebas mengangkat seorang imam yang  sekalipun tidak memiliki kualifikasi akademik formal, namun sekurang-kurangnya sungguh ahli dalam ilmu-ilmu itu.

Keempat, layak karena ajaran yang sehat (sana doctrina), peri kehidupan yang baik, kearifan dan pengalaman kerja. Kualitas manusiawi  dan kristiani  seperti ini juga  diharapkan ada dalam diri imam yang hendak diangkat menjadi Vikaris Jenderal. Efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab seorang Vikaris Jenderal dalam membantu  karya pastoral Uskup Diosesan  juga  bergantung dari kualitas yang dimilikinya dalam hubungan dengan hal-hal ini. Dengan ini hendak dikatakan bahwa  pengetahuan dan  ketrampilan akademik saja tidaklah cukup jika tidak dijiwai oleh ajaran  yang sehat, kejujuran hidup, kehati-hatian dan pengalaman, serta penghargaan dan kepercayaan dari umat beriman  di keuskupan, khususnya para klerus dan religius.

Inkompatibilitas

Dalam  Kodeks 1983 , disinggung tentang larangan untuk memberikan  jabatan  rangkap kepada seseorang yang tidak dapat dipadukan. Artinya dua jabatan  yang tidak dapat dilaksanakan serentak oleh orang yang satu dan sama (bdk. Kan. 152). Larangan ini didasarkan pada pertimbangan efektivitas, efisiensi dan  ketuntasan  dalam  pelaksanaan tugas yang dipercayakan oleh otoritas gerejawi yang berwenang  dan demi  menghindari ketidak-nyaman yang ditimbulkan dari jabatan rangkap tersebut yang bagaimanapun  dapat berpengaruh terhadap kinerja kerja.  

Kodeks 1983, kan. 478 §2 menggariskan ketentuan menyangkut dua  jabatan yang tidak dapat dipadukan dengan jabatan Vikaris Jenderal.  Jabatan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, penitensiarius kanonik.  Berdasarkan jabatannya, penitensiarius kanonik  memiliki kewenangan  untuk mengampuni dalam tata sakramental dari hukuman censura otomatis  yang tidak dinyatakan di keuskupan  yang  tidak  direservasi  bagi  Takhta  Apostolik (kan. 508 – § 1).  Hal ini berarti bahwa kuasa yang dimilikinya  hanya terbatas  dalam forum  internal sakramental. Berdasarkan kanon 152, jabatan penitensiarius kanonik dan jabatan Vikaris Jenderal tidak dapat disandingkan   karena  yang  pertama  berhubungan secara eksklusif dengan forum internal dan yang kedua dengan forum eksternal. Undang-undang tampaknya mengantisipasi  adanya konflik yang tidak dapat diselesaikan jika satu orang ditunjuk untuk mengemban kedua jabatan tersebut sekaligus. Pernyataan yuridis tentang ketidaksesuaian antara jabatan-jabatan ini dimaksudkan untuk menjaga pemisahan yang tegas  antara hal-hal yang berkaitan dengan forum internal dan  yang  hanya ditangani dalam forum eksternal.

Kedua, orang yang berhubungan darah dengan Uskup sampai tingkat keempat  (usque ad quartum gradum). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga kebebasan Uskup sendiri dalam mengambil keputusan serta menjaga objektivitas dan integritas dalam menilai dan memutuskan hal-hal yang menyangkut kepentingan keuskupannya. Legislator tampaknya  hendak menghindari sejauh mungkin  konflik kepentingan yang dapat terjadi dalam diri Uskup Diosesan  jika hal seperti ini tidak digariskan secara tegas dalam hukum.

Kuasa  Vikaris Jenderal

Kuasa dimengerti  sebagai fakultas untuk melakukan sesuatu.  Doktrin kanonik  mendefinisikan kuasa  sebagai  hak untuk memerintah atau mewajibkan yang  digunakan  demi mencapai kebaikan  publik (ius imperandi seu obligandi alios in ordinem ad finem publicum).

Dalam hubungan dengan kuasa yang dimiliki oleh Vikaris Jenderal,  kanon 479 menetapkan  ketentuan menyangkut   isi dan jangkauan kuasa tersebut.  Menurut kanon ini, berdasarkan jabatan Vikaris Jenderal memiliki  kuasa eksekutif atas seluruh keuskupan yang menurut undang-undang dimiliki oleh Uskup Diosesan, yaitu kuasa untuk melakukan semua tindakan administratif kecuali tindakan yang direservasi oleh uskup untuk dirinya sendiri atau yang menurut hukum memerlukan mandat khusus dari uskup.  Ketentuan ini memuat beberapa  prinsip berikut, yakni:

Pertama, berdasarkan kanon 475, §1 dan 476, Vikaris Jenderal memiliki kuasa ordinaria (potestas ordinaria) pemerintahan oleh karena  melekat pada jabatannya  dan karena itu, diberikan kepadanya  oleh undang-undang pada saat pengangkatan. Secara yuridis, kuasa  ordinaria ini  dilaksanakan atas nama orang lain (potestas ordinaria vicaria) yakni Uskup Diosesan.  Dengan kata lain, kuasa yang dijalankannya  bukan atas nama pribadi, melainkan atas nama Uskup Diosesan (bdk. Kanon 131, §2). Kuasa yang dimiliki oleh Vikaris Jenderal  merupakan kuasa pemerintahan yang sesungguhnya (bdk. Kan. 129, §1), namun  demikian  terbatas pada fungsi administratif atau eksekutif.

Kedua, berdasarkan jabatannya Vikaris Jenderal mempunyai kuasa  eksekutif yang sama “atas seluruh keuskupan” yang menurut hukum dimiliki oleh Uskup Diosesan, yaitu untuk melakukan semua tindakan administratif kecuali  hal-hal yang memerlukan mandat khusus menurut norma hukum (bdk. Kanon 134, §3).

Ketiga, dalam Gereja Partikular, Vikaris Jenderal adalah termasuk  Ordinaris (bdk. Kan. 134) dan oleh karena itu ia  dapat secara sah menjalankan kuasa eksekutifnya atas seluruh umat beriman di wilayah keuskupan  meskipun mereka berada di luar wilayah, kecuali jika dipastikan sebaliknya berdasarkan sifat kasusnya atau berdasarkan ketentuan undang-undang. Vikaris Jenderal juga dapat menggunakan kuasanya  atas pengembara atau pelancong yang berada di wilayahnya asalkan hal tersebut berkaitan dengan  pemberian kemurahan atau penegakan hukum universal atau hukum partikular  di wilayah di mana mereka berada (bdk. Kanon 136).

Keempat, Vikaris Jenderal  memiliki  kuasa eksekutif ordinaria  dan oleh karena itu  dapat mendelegasikannya baik untuk satu tindakan saja  maupun untuk semua kasus, kecuali undang-undang secara tegas menentukan lain (bdk. Kanon 137, §1).

Kelima, untuk menjaga prinsip kesatuan pemerintahan keuskupan dan ketergantungan seluruh umat beriman  pada wewenang Uskup Diosesan, Kodeks 1983  menetapkan bahwa suatu permohonan yang ditolak oleh  Vikaris  Jenderal tidak dapat diberikan secara sah oleh Vikaris  Episkopal  dari keuskupan yang sama. Demikian juga, permohonan yang ditolak oleh Uskup Diosesan tidak dapat diperoleh secara sah dari Vikaris Jenderal tanpa persetujuan Uskup Diosesan sekalipun penolakan itu telah disebutkan (bdk. Kan. 65, §3).

Keenam, menurut norma kanon 391, §2, Vikaris Jenderal tidak memiliki  kewenangan dalam bidang  yudisial   oleh karena hal ini  dijalankan oleh Uskup Diosesan secara pribadi atau  melalui  Vikaris Yudisial  dan  para hakim.  Kanon 1420, §1  menetapkan  bahwa setiap Uskup Diosesan harus mengangkat seorang Vikaris Yudisial  yang mempunyai  kuasa biasa untuk mengadili. Pertanyaannya adalah apakah Uskup Diosesan dapat mengangkat imam yang sama  untuk jabatan Vikaris Jendral dan Vikaris Yudisial? Hukum Kanonik tidak melarangnya dan menyerahkan sepenuhnya kepada Uskup Diosesan untuk menentukan  yang terbaik.  Di keuskupan yang wilayahnya tidak terlalu luas dan jumlah kasus yang relatif kecil  Uskup Diosesan  dapat  mempercayakan kedua jabatan  tersebut kepada  imam yang sama.

Kesatuan Dalam Tindakan

Vikaris Jenderal  diangkat  untuk membantu Uskup Diosesan dalam  melaksanakan  pemerintahan  keuskupan  secara  efektif. Oleh karena itu, penting agar  figur yuridis ini  bertindak bersama-sama dengan Uskup Diosesan. Kanon 480 mengungkapkan perlunya kesatuan dalam tindakan pastoral. Vikaris Jenderal berkewajiban untuk  melapor kepada Uskup Diosesan  perkara-perkara utama baik yang akan maupun yang telah dilakukannya dan  jangan sekali-kali bertindak “contra voluntatem et mentem” Uskup Diosesan.

Substansi  dari norma ini diambil langsung dari artikel  14  Ecclesiae sanctae yang pada intinya menyatakan bahwa sebagai kooperator dalam jabatan  episkopal, vikaris hendaknya menyerahkan segala sesuatu yang telah atau akan dilakukannya kepada Uskup Diosesan  dan tidak boleh bertindak bertentangan dengan pikiran dan kehendak Uskup. Selain itu, hendaknya ia juga sering bertukar pikiran dengan para Vikaris Episkopal. Pernyataan ini menggarisbawahi  beberapa prinsip  penting  yang  berlaku  bagi semua yang bekerja dengan Uskup  Diosesan  demi  kebaikan Gereja partikular.

Sebagaimana disinggung sebelumnya, kuasa  eksekutif  Vikaris Jenderal  adalah  ordinaria  dan  bukan kuasa yang dimiliki sendiri dan dijalankan sendiri (potestas propria). Ia tetap berada di bawah kuasa Uskup Diosesan. Ia  mempunyai kewajiban teologis yang serius terhadap uskup berdasarkan “persekutuan gerejawi” dan kewajiban yuridis berdasarkan ketentuan hukum, untuk bertindak sesuai persetujuan uskup, yang secara prinsipiil bertanggung jawab atas pemerintahan keuskupan, dan tidak boleh bertindak bertentangan dengan kemauan dan kehendaknya.  Demi kebaikan pastoral umat beriman Vikaris Jenderal  diingatkan untuk  selalu menginformasikan  berbagai kegiatan, baik yang telah, sedang  atau yang  akan  dilaksanakan kepada Uskup Diosesan. Dengan cara ini Uskup Diosesan  mendapat informasi yang diperlukannya  terkait  berbagai  aktivitas  pastoral yang dijalankan demi  kebaikan  spiritual  umat Allah yang dipercayakan pada penggembalaannya.

Semua prinsip ini menekankan kesatuan tindakan di dalam keuskupan. Merupakan kewajiban Vikaris Jendral  untuk selalu berhubungan dengan Uskup Diosesan mengenai kegiatan-kegiatan pastoral  yang berada dalam lingkup kewenangannya  dan selalu menjaga agar  kegiatan yang dijalankannya  selaras dengan kehendak dan intensi serta pikiran Uskup Diosesan.

Berakhirnya  Jabatan

Berakhirnya  jabatan Vikaris Jenderal mengikuti prinsip-prinsip dasar yang diatur  dalam Kodeks 1983 menyangkut  berakhirnya jabatan gerejawi. Sesuai dengan norma kanon 184, §1 tentang hilangnya jabatan gerejawi, kanon 481, §1 menetapkan  beberapa hal sebagai berikut, yakni:

Pertama, berakhirnya masa jabatan. Jabatan Vikaris Jenderal  berakhir sesuai jangka waktu yang ditentukan dalam  Surat Keputusan  pengangkatan.  Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa, menurut norma kanon 186, berhentinya jabatan  tersebut  tidak terjadi secara otomatis, karena kanon ini menyatakan bahwa  jabatan  tersebut berhenti hanya pada  saat  otoritas  yang berwenang menyampaikannya  secara tertulis.

Kedua, pengunduran diri. Jabatan Vikaris Jenderal  dapat berakhir dengan pengunduran diri  yang bersangkutan. Pengunduran diri harus merupakan tindakan yang disengaja dan atas dasar kebebasan (kan. 187). Pengunduran diri dari jabatan karena ketakutan besar yang dikenakan secara tidak adil tidak sah demi hukum itu sendiri (kan. 188). Untuk sahnya, pengunduran diri dari jabatan  harus dilakukan secara tertulis atau secara lisan di hadapan dua saksi (bdk. Kan. 189 – § 1). Pengabulan  dari pihak otoritas gerejawi  atas pengunduran diri tersebut sangat bergantung pada apakah  hal  tersebut  didasarkan  atas  alasan yang wajar dan memadai ataukah tidak (bdk. Kan 189 – § 2). Tindakan administratif  yang dilakukan oleh Vikaris Jenderal  tetap dianggap sah  sampai adanya pemberitahuan penerimaan pengunduran dirinya oleh Uskup Diosesan. Pengunduran diri tidak memerlukan persetujuan dari Uskup Diosesan, namun di lain pihak, penerimaan diperlukan agar pengunduran diri tersebut efektif.

Ketiga, pemberhentian dari jabatan. Pemberhentian  Vikaris Jenderal  harus didasarkan atas alasan yang berat dan telah dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku  (bdk.  Kanon 193, §§1-2). Pemberhentian juga dapat terjadi karena alasan yang wajar atas pertimbangan arif otoritas yang berwenang (bdk. Kanon 193 , §3). Pemberhentian Vikaris Jenderal merupakan hal yang serius  dan karena itu  harus  dilakukan secara  hati-hati dan bijaksana serta  mengikuti  prosedur  hukum  yang  berlaku.

Keempat, Tahta Lowong. Kekosongan Takhta Episkopal dapat disebabkan  kematian Uskup Diosesan, pengunduran diri yang diterima oleh Takhta Suci,  pemindahan, atau pemecatan dari jabatan yang diberitahukan kepada Uskup (kanon 416). Dalam hal ini, jika Vikaris Jenderal  adalah imam, kuasanya  berakhir ketika ia menerima pemberitahuan  tentang tahta  lowong (lih. Kanon 417 dan 418). Segala perbuatan  hukum yang  dilakukan Vikaris Jenderal tetap sah sampai pemberitahuan  tentang tahta lowong diterima olehnya  (bdk. Kanon 417). Jika  Vikaris Jendral  adalah  seorang uskup maka ia tetap mempunyai kuasa  “sede plena” sampai uskup baru mengambil alih  secara kanonik atas keuskupan tersebut, kecuali jika hal itu ditentukan lain oleh otoritas yang berwenang.

Kelima, selain berbagai alasan di atas,  berakhirnya jabatan Vikaris Jenderal juga terjadi dalam kasus di mana jabatan Uskup Diosesan ditangguhkan, kecuali Vikaris Jenderal yang  bermartabat Uskup (bdk. Kan. 481, §2). Alasan utama yang mendasari norma ini adalah hubungan intrinsik antara Uskup Diosesan dan Vikaris Jendral. Kuasa yang dimiliki oleh Vikaris Jenderal  adalah kuasa yang dilaksanakan atas nama orang lain (potestas vicaria), yakni Uskup Diosesan. Oleh karena itu, kecuali ia sendiri adalah bermartabat uskup, kuasanya akan ditangguhkan ketika uskup ditanggungkan dari jabatannya. Jabatan Uskup Diosesan dapat ditangguhkan jika yang bersangkutan mendapat  hukuman kanonik, seperti ekskomunikasi, suspensi, dan interdik  (bdk. Kanon 1333-1335), atau melalui ketentuan Takhta Suci.

Penutup

Keberadaan Vikaris Jenderal  dimaksudkan untuk membantu Uskup Diosesan dalam  menyelenggarakan tugas pemerintahan di keuskupan.  Ia adalah ’alter ego’ Uskup Diosesan dan memiliki kuasa ordinaria.  Dalam menjalankan tugasnya, ia  harus selalu  bertindak  dalam kesatuan dengan Uskup Diosesan  dan tidak  melakukan  tindakan yang   bertentangan dengan maksud dan kehendak Uskup Diosesan.

Ketentuan normatif menyangkut pengangkatan, syarat-syarat yang diperlukan, kuasa dan  hubungan dengan Uskup Diosesan  dan pemberhentian dari jabatannya, sudah diatur sedemikian jelas dalam Kodeks 1983.  Berbagai ketentuan ini  perlu dibaca dan diperhatikan dengan sebaik-baiknya  demi memperoleh pemahaman yang dibutuhkan, khususnya ketika harus  diaplikasikan  dalam  konteks  tertentu.