JAKARTA, MIRIFICA NEWS – Minggu kemarin Vatikan menyelenggarakan diskusi tingkat tinggi seputar dunia sains, mengumpulkan para ahli untuk membahas kemajuan, manfaat dan batas-batas kemajuan artifisial intelegensia atau kecerdasan buatan.
Sebuah konferensi yang baru di Vatikan, itu menghadirkan para ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk berkumpul selama dua hari dan berdialog tentang “Power and Limits of Artificial Intelligence,” (Kuasa dan Batas-Batas Intelegensia Buatan) yang diselenggarakan oleh Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan.
Di antara pembicara yang dijadwalkan hadir adalah beberapa ilmuwan terkenal, termasuk Stephen Hawkins, seorang profesor Inggris dari Universitas Cambridge dan yang memproklamirkan dirinya sebagai seorang atheis, serta sejumlah kepala teknologi utama seperti Demis Hassabis, CEO Google DeepMind, dan Yann LeCun dari Facebook.
Acara yang berlangsung dari 30 November sampai 1 Desember, itu diselenggarakan di Vatikan tepatnya di Casina Pio IV, kantor Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan, yang diketuai oleh Uskup Marcelo Sanchez Sorondo.
Werner Arber, seorang Protestan dan presiden akademi yang bekerja di bidang biologi evolusioner, mengatakan bahwa intelegensia buatan (artifisial intellegensia) tidak masuk dalam kajian spesifiknya. Ia mengatakan penting bagi entitas Vatikan untuk bersuara dalam diskusi ini, karena tugas mereka adalah mengikuti semua perkembangan aktual di bidang sains agar dapat merangsang penelitian lebih lanjut.
Lebih jauh Arber mengatakan hal itu penting guna memahami perkembangan saat ini, termasuk bagaimana meningkatkan dialog soal penelitian yang dilakukan dalam bidang ilmu alam dan nantinya dapat diterapkan pada bidang mesin dan robotika.
Sebagian dari perdebatan, kata Arber, menyangkut apakah ada atau tidak ada intelegensia artifisial akhirnya bisa mengambil beberapa bidang kerja manusia yang dilakukan secara tradisional. Namun, ia mengingatkan bahwa akan ada beberapa “implikasi sosial-ilmiah,” di mana manusia kehilangan pekerjaannya.
“Ini adalah aspek etis, apakah kita menginginkan hal itu atau tidak sama sekali?” Kata Arber, mencatat bahwa manusia memiliki pemikiran dan pemecahan masalah dengan kemampuan uniknya, tidak baik apabila hal itu dikesampingkan.
“Dan ini adalah perkara yang sangat penting dari kehidupan manusia, sehingga kita harus berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaan kita,” katanya lagi.
Hadir juga pada pertemuan itu Demis Hassabis, CEO of British Artificial Intelligence Company DeepMind, didirikan pada tahun 2010 lalu diakuisisi oleh Google pada 2014. Dia berbicara pada hari pertama konferensi tentang kemungkinan perkembangan “Menuju Intelegensia Artifisial umum.”
Sebagian pekerjaan Hassabis adalah melibatkan sains untuk “membuat mesin lebih cerdas,” dan mencoba membangun sistem pembelajaran yang memungkinkan sistem komputer bisa belajar langsung dari data dan akhirnya mampu mencari tahu tugas dan pekerjaannya sendiri.
Dalam sebuah komentar kepada Catholic National Agency (CNA), ia menegaskan bahwa perusahaannya telah membentuk dewan etik untuk memastikan tidak terjadinya peyimpangan pada saat penelitian berlangsung.
Intelegensia artifisial merupakan “teknologi yang sangat kuat,” katanya, menjelaskan bahwa sementara ini ia meyakini bahwa teknologi dalam dan dari dirinya sendiri bersifat netral. Itu tergantung pada bagaimana anda akhirnya menggunakan teknologi itu.
“Jadi saya pikir sebagai masyarakat kita harus berhati-hati tentang penggunaan etis teknologi, dan sebagai salah satu pengembang teknologi semacam intelegensia artifisial kami ingin berada di garis depan, berpikir bagaimana menggunakannya secara bertanggung jawab untuk kebaikan semua orang di dunia,” katanya.
Salah satu cara kerja perusahaannya saat ini sedang mempengaruhi Google adalah mendeteksi hal-hal kecil seperti mengatur foto dan mengenali apa yang di dalamnya, serta cara telepon seseorang ketika berbicara dan optimalisasi energi yang menggunakan pusat data Google.
Hassabis mengatakan dia berpikir itu “benar-benar menarik” dan melihat bagaimana komunitas Katolik berpartisipasi lebih luas dalam diskusi, dan menyebut keterlibatan Gereja sebagai hal yang baik “untuk mulai berbicara dan berdiskusi tentang “Intelegensia Artifisial” akan mempengaruhi masyarakat dan bagaimana kita bisa menggunakannya untuk kebaikan umat manusia.”
Stanislas Dehaene, seorang profesor ilmu saraf kognitif dari College de France dan anggota Academy Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan, juga hadir pada pertemuan itu. Ia berbicara kepada peserta pertemuan pada hari kedua tentang “Apa arti sebuah kesadaran, dan apakah mesin (teknologi) bisa memilikinya?”
Dilansir dari CNA / EWTN News Dehaene mengatakan bahwa “kemajuan besar” yang telah dicapai dalam hal memahami otak, dan sebagian berkat dari kemajuan ini, langkah-langkah besar juga telah diambil dalam pemodelan jaringan neuro yang akhirnya menyebabkan “sistem kecerdasan buatan begitu luar biasa.
Dengan banyaknya penelitian mengenai aspek kesadaran yang sedang dilakukan saat ini, Dehaene mengatakan pengetahuan tentang “kesadaran kognitif” semakin berkembang ke titik bahwa apa yang terjadi pada otak ketika menjadi sadar sepotong informasi yang sekarang dikenal “ke titik rupa sehingga dapat dimodelkan.”
“Jadi pertanyaannya adalah hal itu bisa itu diletakkan di komputer?” katanya, seraya menjelaskan bahwa itu sedang dipelajari. Dia mengatakan, secara pribadi dia belum tahu apakah ada batas untuk kemungkinan intelegensia artifisial, atau apa yang mungkin akan terjadi.
Namun, ia menekankan bahwa adalah penting untuk mempertimbangkan bagaimana kemajuan lebih lanjut dalam intelegensia artifisial seberapa jauh akan merubah masyarakat, dan apa konsekuensi bagi kita semua, terutama soal pekerjaan manusia.
Bagian dari diskusi yang perlu dilakukan, kata Dehaene, adalah bagaimana menempatkan kontrol etika dalam mesin sehingga mesin dapat mematuhi hukum, termasuk hukum moral yang memandu keputusan manusia.
“Itu adalah tujuan yang sangat penting yang belum tercapai,” katanya,dan menambahkan bahwa sementara ia secara pribadi tidak memiliki masalah dengan mesin yang dapat membuat penilaian etis mirip dengan manusia, tapi pertanyaan, bagaimana hal itu bisa ada “dan bagaimana kita bisa memastikannya sehingga kita tidak membuat teknologi yang penuh dengan sistem tak terlihat seperti manusia, yang tidak berbagi intuisi kita tentang apa bagaimana dunia dapat dibangun menjadi lebih baik.
Direktur utama lainnya yang juga hadir pada konferensi tersebut adalah Profesor Yann LeCun, Direktur Artificial Intelligence Penelitian di Facebook.
Apa yang mereka coba lakukan di Facebook adalah “mendorong bagian tertentu untuk membuat mesin lebih cerdas,” kata LeCun CNA. Alasan untuk ini, katanya, adalah bahwa orang semakin berinteraksi melalui mesin.
“Intelegensia artifisial akan menjadi teknologi kunci dan penting untuk menjembatani komunikasi antara orang-orang,” katanya, karena fokus utama perusahaannya adalah menghubungkan orang-orang di mana intelegensia artifisial memiliki peran besar di sana.”
Memberikan contoh, LeCun mencatat pengguna facebook yang setiap hari meng-upload foto adalah sekitar 1 miliar foto dan bahwa ia mengakui sistem intelegensia artifisial bertugas memantau isi foto serta menunjukkan kepada pengguna lebih banyak gambar yang memungkinkan mereka akan tertarik, atau filterisasi apabila mereka keberatan.
“Hal ini juga memungkinkan para tunanetra mendapatkan deskripsi tekstual dari gambar yang tidak dapat mereka lihat, sehingga sangat berguna,” katanya.
Dalam hal bagaimana teknologi ini mungki bisa mengubah cara kita hidup, LeCun mengatakan bahwa pada beberapa tahun ke depan atau bahkan puluhan tahun, akan ada aplikasi transformatif intelegensia artifisial dan dapat diakses oleh semua orang.
Mobil tanpa sopir, kemampuan untuk memanggil mobil dari smartphone anda bukan menjadi satu-satunya, tidak ada tempat parkir dan transportasi yang lebih aman merupakan hal-hal yangoleh LeCun dikatakan bisa dilihat di udara cakrawala, dan kemajuan medis yang dengan cepat berkembang di daerah-daerah.
“Sudah ada sistem prototipe yang telah ditunjukkan agar kerja menjadi lebih baik daripada ahli radiologi manusia yang memilih mengeluarkan tumor kanker,” katanya, sambil menjelaskan bahwa hal-hal ini berdampingan dengan sejumlah aplikasi lain dan akan membuat perbedaan besar.
Ketika tiba pada diskusi soal etika, LeCun mencatat bahwa ada baiknya kekhawatiran kita dalam jangka pendek dan jangka panjang adalah soal robot yang akan mengambil alih peran manusia di dunia.
“Terus terang ini adalah pertanyaan yang kita tidak khawatirkan sekarang, sebab kita tidak hanya memiliki teknologi yang sanggup mendekati jenis kekuatan yang diperlukan. Jadi ini adalah diskusi filosofis, tetapi masalahnya bersifat tidak langsung, “katanya.
Namun, dalam jangka pendek poin perdebatannya termasuk bagaimana membuat sistem intelegensia artifisial itu lebih aman dan dapat diandalkan.
LeCun mencatat bahwa ia telah membantu mendirikan sebuah forum diskusi yang disebut “Kemitraan untuk AI” yang didirikan oleh CEO Facebook, Google, Microsoft, Amazon dan IBM untuk memfasilitasi diskusi tentang cara terbaik menyebarkan intelegensia artifisial.
Kedua pertanyaan etis dan teknis diperdebatkan, katanya, seraya menerangkan karena itu forum publik, siapa saja dari berbagai bidang seperti akademisi, pemerintah, ilmuwan sosial dan ahli etika dapat berpartisipasi dan memberikan kontribusi mereka.
============
Sumber: Catholic News Agency
Kredit Foto: John Williams RUS
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.