SETELAH menempuh perjalanan hampir dua jam, Orang-orang Muda Asia, peserta exposure akhirnya tiba di Sendangsono. Namun sebelum ke Gua Maria Sendangsono, mereka terlebih dahulu menyambangi gereja Santa Maria Promasan. Di gereja yang menjadi cikal bakal perkembangan Katolik di Jawa ini, mereka pun dibekali informasi seputar Sendangsono.
Sebelumnya, peserta exposure dijamu dengan santap siang bersama dengan menu bercita rasa tradisional di Aula Paroki Santa Maria Pramosan. Selama menikmati makan siang, alunan musik gamelan terus terdengar, kian menambah nikmat santap siang peserta.
Setelah mendapat pembekalan singkat dari Ketua Dewan Stasi, Saguh Istianto, peserta yang didampingi Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo dan beberapa pastor mengarak Patung Bunda Maria menuju Gua Maria Sendangsono. Selama perarakan, peserta mendaraskan doa-doa khusus yang telah disiapkan dalam bahasa Jawa.
Suasana sakral sungguhdirasakan saat prosesi mulai menapaki jalanan tanjak menuju gua Maria Sendangsono. Melewati keheningan di antara pepohonan rindang. Rumah-rumah warga yang tertutup rapat pintunya. Potret Via dolorasa yang tergambar dari setiap perhentian di sepanjang jalan
Suasana sakral semakin terasa begitu patung Bunda Maria dan peserta tiba di depan Gua Maria. Di bawah pohon “sono” nan rimbun, orang muda Katolik berkumpul bersama, mereka larut dalam keheningan. Namun tak lama setelah itu, satu kelompok paduan suara dari tempat yang disebut ‘Slaka” mengumandangkan lagu-lagu dalam bahasa Jawa.
Sementara lagu-lagu diperdengarkan, panitia secara teratur membagi peserta ke dalam tiga kelompok. Tiga kelompok ini secara bergantian diajak untuk mengunjungin makan Barnabas Sarikrama, katekis pertama di Kalibawang. Saat berkunjung ke makam Sarikrama, peserta diajak untuk mendalami semangat misioner Sarikrama hingga ikut melahirkan dan mengembangkan iman Katolik di wilayah Kalibawang.
Selama berada di gua Sendangsono peserta diajak untuk berziarah,berdoa baik entah secara pribadi maupun bersama di gua maria sedangsono maupun di Kapel Maria
Mereka juga diajak untuk merenungkan karya Barnabas. Dipandu oleh beberapa frater, peserta merefleksikan teladan Sarikrama. Beberapa pertanyaan refleksi seperti apa kesan peserta mengenai Sendangsono dan rahmat apa yang dapat dirasakan serta nantinya bisa dibagikan kepada sesama lain di negara masing-masing.
Semarak dan khidmatnya suasana di Sendangsono tak hanya dialami saat peserta exposure tiba. Selama peserta melakukan refleksi di Kapela Maria, Kapela Para Rasul, kelompok ‘Slaka’ terus menyanyikan lagu-lagu tradisional dalam bahasa Jawa. Sesekali kelompok yang terdiri dari bapa-bapa dan ibu-ibu ini bertepuk tangan ria sambil bernyanyi, seakan mereka sedang mengekspresikan perasaan gembira dan sukacita.
Exposure peserta AYD ke Sendangsono ditutup oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo. Saat menyampaikan sambutan akhir di Sendansono, Uskup Suharyo dibantu Frater Fransiskus Santoso untuk alih-bahasa dari Indonesia ke Inggris.
Atas sambutan hangat umat Katolik di Sendangsono dan saudara-saudara Muslim di sekitaran Sendangsono, tak lupa Uskup Suharyo mengucapkan terima kasih berlimpah kepada umat paroki Promasan.
“Rasanya rombongan kami sudah diterima dengan segala yang terbaik. Sejak datang kami sudah disediakan mikrolet. Kemudian ketika tiba di pastoran Promasan, kami disambut dengan musik tradisional gamelan, diberi makan siang, diberi lagi penjelasan mengenai Sendangsono dan akhirnya dihantar menuju ke Gua Sendangsono melalui sebuah prosesi keagamaan, yakni perarakan Patung Bunda Maria.
Ucapan terima kasih secara khusus juga disampaikan Uskup Suharyo kepada ibu dan bapa “Slaka” , sebuah kelompok paduan suara Sendangsono yang sejak awal kedatangan hingga kepulangan peserta exposure terus beryanyi dengan diringi musik gamelan.
“Yang mereka nyanyikan tadi adalah ayat-ayat Kitab Suci,” ungkap Uskup Suharyo.
Menyinggung kehadirannya di Sendangsono, Uskup Suharyo mengatakan seharusnya ia tidak bisa ikut mendampingi orang muda dalam kegiatan exposure karena ada kegiatan di tempat lain yang tidak bisa ditinggalkannya. Namun, Bapa Uskup justru lebih memilih ke Sendangsono.
Dengan sedikit bercanda, Uskup mengatakan ia memutuskan ke Sendangsono karena ingin bertemu dengan sahabat lamanya sewaktu di bangku sekolah, yakni Romo Rohadi. Selain itu, dan ini yang terpenting, dikarenakan Sendangsono mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan Gereja Katolik di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah.
Kepada peserta exposure dan umat Katolik yang hadir di Sendangsono, Uskup Suharyo juga menyampaikan beberapa hal terkait dengan pengalaman perjumpaan rohani di Sendangsono. Pertama adalah berkenaan dengan pertanyaan dari media seputar harapan apa yang dapat diperoleh peserta selama perayaan Asian Youth Day ke-7. Bapa Uskup mengatakan tentu pada akhirnya yang diharapkan adalah agar orang-orang muda menjadi orang kudus.
Apa artinya menjadi kudus? Bapa Uskup menerangkan bahwa di dalam ajaran gereja Katolik disebutkan setiap orang dari tataran apapun dengan cara hidup apapun dipanggil untuk hidup sesuai dengan ajaran Kristiani dan berusaha mencapai kesempurnaan.
Menurut Bapa Uskup, menjadi suci tidak berarti sejak dari bangun sampai tidur kembali, orang berdoa terus. Menjadi suci itu artinya perlu mencecap sabda Tuhan. Sesudah Sabda Tuhan itu dicecap, lalu orang harus mencari kehendak Tuhan atau try to find the will of God. Dan pada akhirnya, setelah dengan susah payah mencari kehendak Tuhan maka orang juga harus melaksanakan kehendak Tuhan.
Uskup Suharyo menambahkan, setelah proses pertama dan kedua itu dilewati, disadari atau tidak itu merupakan sebuah dinamika yang terus-menerus berputar. Apabila dinamika seperti itu dihidupi setiap orang secara sungguh-sungguh, maka semakin lama hidup seseorang akan semakin bermakna.
“Moga-moga dengan pengalaman exposure seperti ini orang muda setelah mengikuti exposure dapat mengalami hidup iman yang lebih berkualitas. Kepada umat Promasan saya berharap kiranya melalui perjumpaan di Sendangsono itu, iman umat semakin berbuah lebat,” demikian harapan Uskup Suharyo.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.