ISU kerusakan lingkungan hidup sejak lama menjadi fokus perhatian Gereja Katolik. Ensiklik Laudato Si oleh Bapa Paus Fransiskus menjadi salah satu wujud nyata kepedulian Gereja Katolik terhadap lingkungan. Laudato Si diartikan sebagai ucapan syukur kepada Sang Pencipta langit dan bumi.
Isu lingkungan ini kemudian diangkat dalam Ngobrol Pintar (NGOPI) OMK, masih dalam rangkaian kegiatan IYD 2016.
Bertempat di ruang Tinutuan, ratusan OMK dari Keuskupan Jayapura, Samarinda, Sibolga, Jakarta, Medan berkumpul untuk sharing membahas masalah rusaknya alam Nusantara dengan pembicara Uskup Keuskupan Pontianak, Mgr. Agustinus Agus, Rabu (5/10/2016).
“Berbicara kerusakan lingkungan Kalimantan dan Papua adalah dua pulau yang saat ini kondisi kerusakan lingkungannya cukup parah,”ungkap Mgr.Agus. Kerusakan lingkungan ini tidak lain karena pertambangan dan perambahan hutan serta ahli fungsi hutan menjadi perkebunan, khususnya sawit, lanjutnya.
Sebagai orang Dayak, Mgr.Agus bercerita bagaimana dulu sungai di Kalimantan itu sangat bersih, mandi di sungai tidak pernah sakit. Tapi sekarang, orang memang pegang uang banyak dari hasil menjual tanah, tapi kemudian uang itu habis hanya untuk beli obat. Sakit akibat mandi di sungai yang sudah kotor.
Di hadapan ratusan OMK, Uskup Pontianak ini menegaskan bahwa dirinya tidak antisawit. Hanya perlu diatur. Pemerintahlah yang memiliki wewenang untuk membuat regulasi yang jelas. Tidak asal mengeluarkan izin pengelolaan hutan, ijin pertambahan, ijin perkebunan. Tapi harus dibuat aturan yang jelas. Uskup membandingkan pengelolaan sawit di Indonesia dengan Malaysia.
“Di Malaysia, banyak pohon sawit, tak ada masalah, masyarakat lokal sejahtera. Tapi mengapa di Indonesia tidak bisa seperti itu,”ujarnya.
Peran Orang Muda
Di hadapan ratusan Orang Muda Katolik, monsinyur mengajak agar mencintai dan menjaga lingkungan. “Orang muda adalah pewaris bumi ini. Minimal tanam satu pohon di rumah kalian. Jika tidak punya lahan, seperti yang tinggal di kota, bisa tanam tanaman di pot,”kata uskup berdarah dayak ini.
Meski ia menyadari bahwa budaya di beberapa wilayah di Indonesia masih sering kali mengesampingkan orang muda. “Suara orang muda masih belum didengar. Dalam keluarga saja, orang tua lebih banyak tidak melibatkan orang muda dalam mengambil keputusan. Orang tua dengan mudahnya menjual tanah, karena mereka merasa ingin menikmati hasil tanah waris tanpa memikirkan masa depan anak-anaknya. Ketika uang hasil jual tanah habis, tanah tidak ada. Lalu apa yang biaa dilakukan oleh generasi penerus,?”tanya monsinyur menggugat.
Gereja sudah mulai melakukan banyak hal mulai dari pendampingan keluarga, sosialisasi dan kateke. “Memang butuh waktu lama, dan ini tidak mudah,” pungkas Mgr. Agus.
Praktisi di bidang Public Relation, Tim Komsos KWI