MIRIFICA.NET – Ketika seorang imam katolik terlibat dalam politik praktis mendukung kandidat tertentu, entah secara terang-terangan maupun diam-diam, beragam tanggapan umat beriman muncul ke permukaan. Secara umum, tanggapan yang diberikan bernada negatif, dalam arti menentang keterlibatan imam yang demikian karena dipandang tidak sesuai dengan jati diri dan panggilan seorang imam di tengah dunia. Di lain pihak, mendesak Uskup Diosesan untuk tidak segan-segan ‘menjewer’ imam yang demikian. Dengan kata lain, melakukan intervensi pastoral-yuridis yang cepat, tepat dan tegas. Desakan seperti ini barangkali dapat dimaklumi ketika keterlibatan politik partisan seorang imam tidak saja dapat mencemari keindahan hidup seorang selibater tetapi juga menebarkan benih perpecahan dan konflik horisontal yang destruktif. Tulisan ini hendak menyoroti secara singkat intervensi seorang Episcopus Diocesanus: apa yang menjadi pendasarannya dan apa persis bentuk intervensi atau tindakan yang dapat diambil dalam terang ketentuan normatif Gereja.
Uskup Diosesan: kedudukan dan kewajibannya
Dalam konteks Gereja Lokal, Uskup Diosesan membimbing umat Allah yang dipercayakan kepadanya sebagai wakil dan utusan Kristus dengan petunjuk-petunjuk, nasehat-nasehat, teladan hidup dan juga dengan kewibawan (bdk. Lumen gentium 27). Berdasarkan penetapan ilahi, ia adalah pengganti rasul lewat Roh Kudus yang dianugerahkan kepadanya, ditetapkan menjadi gembala dalam Gereja (bdk. 375 §1). Sebagai gembala, ia memiliki segala kuasa yang dibutuhkan berdasarkan jabatan, sendiri dan langsung untuk melaksanakan tugas pastoralnya di keuskupan yang dipercayakan kepadanya (bdk. kan. 381 §1).
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai gembala, Uskup Diosesan berkewajiban untuk memperhatikan semua orang beriman yang dipercayakan kepada reksanya (bdk. KHK, kan. 383, §1). Ia harus melindungi kesatuan seluruh Gereja dan untuk itu ia wajib mendesakkan pelaksanaan semua undang-undang gerejawi (bdk. kan. 392, § 1). Di samping itu, ia berkewajiban untuk mendengarkan suara umat oleh karena mereka memiliki hak untuk menyampaikan kepadanya keperluan-keperluan dan juga harapan-harapan mereka (bdk. kan. 212, § 2).
Dalam hubungan dengan para imam, Uskup Diosesan berkewajiban untuk memberikan perhatian khusus, melindungi hak-hak mereka dan mengusahakan agar mereka memenuhi kewajiban-kewajiban yang khas bagi status mereka dengan baik (bdk. kan. 384). Di antara kewajiban-kewajiban khas yang harus dijalankan oleh para imam dalam hubungan dengan kehidupan sosial politik kemasyarakatan adalah memupuk damai dan kerukunan sekuat tenaga berdasarkan keadilan yang harus dipelihara di antara sesama manusia.(bdk. kan. 287, §1) dan tidak mengambil bagian aktif dalam partai-partai politik kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum (bdk. kan. 287, § 2).
Secara yuridis, pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut harus diperhatikan secara serius oleh Uskup Diosesan karena beberapa pertimbangan. Pertama, identitas imam dan misinya di tengah dunia. Seorang imam bukanlah politisi. Ia adalah alter Christus, Kristus yang lain, yang ditahbiskan untuk menjalankan misi perutusan Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Identitas ke-diri-annya sebagai ‘Kristus yang lain’ inilah yang harus mewarnai seluruh gerak keseharian hidupnya, juga ketika ia hadir sebagai kritik: membebaskan masyarakat dari keterpedayaan sosio-politis di balik eufemisme politis penguasa yang menjajah kesadaran, cara berpikir, cara melihat dan cara menilai; melakukan perlawanan terhadap permainan politik yang tidak fair dan penggunaan kekuasaan yang otoriter serta memberikan muatan etis pada lakon politik yang sedang dipentaskan, walau untuk itu ia harus berhadapan dengan risiko dicemoohkan, dikucilkan dan tidak dimengerti. Kedua, imam adalah simbol pemersatu. Identitasnya sebagai “Kristus yang lain”, menuntut seorang imam untuk tampil sebagai figur pemersatu umat beriman. Ia harus menjadi rujukan bagi semua karena ia adalah milik semua umat beriman. Sikap dan tindakannya harus mencerminkan dirinya sebagai simbol pemersatu tersebut.
Intervensi Uskup Diosesan, mengapa perlu?
Sebagai warga negara yang sah, seorang imam memiliki hak politik yang harus dihormati dan tidak pernah boleh dikebiri. Di lain pihak, dalam merealisasikan hak politiknya seorang imam harus memperhatikan ketentuan dan pedoman yang digariskan oleh otoritas Gereja. Ketentuan seperti ini tidak dimaksudkan untuk membendung kebebasan politis seorang imam melainkan untuk mengarahkannya sehingga tetap berjalan sesuai dengan identitas dan jati dirinya sebagai seorang imam.
Ketika seorang imam, – baik secara terang-terangan maupun diam-diam, atas dasar motivasi kepentingan balas jasa atau pragmatis ekonomis tertentu atau relasi pertemanan atau ikatan kekeluargaan atau motivasi lainnya – terlibat atau melibatkan diri secara aktif dalam partai politik, menjadi ‘tim sukses’ dan ikut mengkampanyekan kandidat tertentu, mengatakan kandidat mana yang harus dipilih, entah disadari atau tidak, pada saat itu ia sedang melakukan tindakan akrobatik politik yang berbahaya, bukan hanya bagi dirinya sendiri tapi juga bagi rekan-rekan imam, institusi Gereja dan umat beriman. Bagi imam itu sendiri, tindakan tersebut dapat mengaburkan identitas kediriannya sebagai seorang imam. Bagi institusi Gereja, tindakan tersebut dapat mencederai kredibilitas institusi Gereja sebagai penjaga gerbang moral politik. Bagi rekan-rekan imam, tindakan tersebut dapat memberikan efek psikologis di tengah hujatan dan komentar sinikal umat beriman, yang sekalipun dapat dimaklumi, namun membuat telinga memerah. Bagi umat beriman, tindakan imam yang bersangkutan membawa kebingungan tertentu, menjadi sumber ketegangan dan polariasi di tengah umat beriman. Persis di sinilah intervensi seorang Uskup Diosesan dibutuhkan.
Bentuk-Bentuk Intervensi Dan Tahapannya
Intervensi Uskup Diosesan terkait imam yang terlibat dalam politik praktis tentu saja tidak sekedar seruan keprihatinan dan ajakan untuk bertobat sekalipun hal ini luhur dan mulia, melainkan harus dituangkan secara konkrit dengan merujuk pada ketentuan normatif yang berlaku. Ada beberapa bentuk intervensi yang dapat dilakukan secara gradual oleh Uskup Diosesan, jika seorang imam terbukti terlibat dalam politik praktis, yakni:
Pertama, teguran lisan. Setelah memperoleh bukti-bukti awal keterlibatan imam yang bersangkutan, Uskup Diosesan, dalam semangat persaudaraan, hendaknya tanpa menunda-nunda memanggil yang bersangkutan secara pribadi, menyampaikan tuduhan dan bukti-bukti, memberinya kesempatan untuk membela diri, dan menyampaikan teguran secara lisan dan mengingatkannya untuk tidak mengulangi perbuatannya. Keseluruhan proses, mulai dari pemanggilan, pembelaan diri hingga teguran lisan perlu di catat dalam buku khusus sebagai dokumen yang dapat dipakai sewaktu-waktu jika diperlukan.
Kedua, teguran tertulis. Jika imam yang bersangkutan tidak mengindahkan teguran lisan, dan mengulangi perbuatan yang sama, maka Uskup Diosesan perlu memberikan teguran secara tertulis, dengan merujuk pada teguran lisan yang telah dibuat sebelumnya, di hadapan dua orang saksi dengan ancaman bahwa sanksi tegas akan dijatuhkan jika tidak memperbaiki diri. Jika teguran tertulis pertama ini sia-sia, hendaknya diperingatkan untuk kedua kalinya.
Ketiga, hukuman atau sanksi kanonik. Jika Uskup Diosesan menilai bahwa baik peringatan persaudaraan maupun teguran pertama dan kedua tidak mencukupi lagi untuk memperbaiki sandungan, memulihkan keadilan dan memperbaiki pelaku pelanggaran dan imam yang bersangkutan tetap melakukan pembangkangan, maka, setelah mendengar masukan dari organ konsultatif keuskupan, ia harus mengambil tindakan tegas dengan memberikan hukuman atau sanksi kanonik tertentu. Ada beberapa kemungkinan bentuk hukuman atau sanksi yang dapat diberikan, seperti, atas alasan-alasan wajar, melalui dekret memberikan hukuman medisinal suspensi untuk jangka waktu tertentu (bdk. kan. 1333, §1; 1342); melarang atau memerintahkan imam yang bersangkutan untuk tinggal di tempat atau wilayah tertentu dan mencabut jabatan dan tugas tertentu (bdk. kan. 1336, §1, 1°, 2°). Selain itu, Uskup Diosesan pun dapat menjatuhkan hukuman yang adil lainnya, apabila keistimewaan beratnya pelanggaran menuntut penghukuman, dan sungguh diperlukan untuk mencegah atau memperbaiki sandungan (bdk. kan. 1399).
Penutup
Intervensi yuridis-pastoral Uskup Diosesan sesesungguhnya merupakan bagian dari kewajiban dan tanggungjawabnya terhadap kehidupan para imam dan terhadap umat beriman seluruhnya yang dipercayakan kepada tugas penggembalaanya. Atas dasar itu maka intervensi seperti ini seyogyannya tidak dipandang sebagai sebuah tindakan represif yang hendak memasung hak politik seorang imam, sebaliknya dilihat sebagai sebuah upaya untuk menjaga identitas imam dan kredibilitas institusi Gereja serta memelihara kerukunan dan damai ditengah umat beriman. Melalui intervensi seperti ini para imam disadarkan bahwa mereka bukanlah politikus karena memang mereka tidak di trained untuk itu. Dalam hubungan dengan kehidupan sosial-politik, tugas mereka, di samping hal-hal lainnya, adalah mendorong kaum awam untuk terlibat dalam kehidupan politik, memperjuangan nilai-nilai etis moral, sekaligus menyadarkan umat beriman untuk menentukan pilihan secara bebas sesuai dengan hati nuraninya dan tidak terjebak dalam permainan politik yang kotor sekaligus mengingatkan mereka bahwa keutuhan hidup bersama dan persaudaraan yang dibangun selama ini tidak pernah boleh menjadi rusak hanya karena perbedaan pilihan politik.
Dalam prakteknya, intervensi seorang Uskup Diosesan seringkali tidak mudah untuk dilakukan karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Tapi sebagai prinsip dasar, hal ini bagaimanapun merupakan sebuah imperatif sine qua non yang mengatasi perasaan sentimental manusiawi yang seringkali tidak menyelamatkan. Butuh keberanian. Dan hal itu harus dibuktikan. Barangkali sebagai langkah antisipatif perlu menetapkan regulasi menyangkut keterlibatan profetis imam dalam politik dan meningkatkan mekanisme kontrol terhadap imam dan penerapan sanksi yang tegas terhadap yang ‘kepala batu’.
.
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.