Beranda OPINI Urgensitas Aspek Sinodalitas Dalam Misi Gereja Katolik Indonesia di Era Artificial Intelligence

Urgensitas Aspek Sinodalitas Dalam Misi Gereja Katolik Indonesia di Era Artificial Intelligence

Katekese, Katolik, Sinode, Communion, Participation, Mission, Persekutuan, Partisipasi dan Misi, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, penyejuk iman, Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, Yesus Kristus, Dialog Dalam Gereja dan Masyarakat, Firman Tuhan, Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik, Injil Katolik, Katekese, Katolik, Kitab Suci,

Pendahuluan

Gereja Katolik universal dan lokal (seperti Gereja Katolik Indonesia) sedang berada dalam era artificial intelligence (AI). Era AI atau kecerdasan buatan ini ditandai oleh terbentuknya mesin-mesin, seperti  komputer yang mampu meniru fungsi kognitif manusia. Melalui penggunaan logika, komputer dapat mensimulasikan penalaran yang digunakan manusia untuk mempelajari informasi baru dan membuat keputusan. Saat ini, teknologi tersebut digunakan dalam robot, mesin pencari, iklan bertarget, pengenalan wajah, filter spam email, asisten pintar (misalnya Siri dan Alexa) dan mobil yang dapat mengemudi sendiri. Inovasi ini memiliki potensi untuk menjadi salah satu teknologi yang menentukan abad ini. Ia membuka jalan bagi penemuan ilmiah baru dan kemajuan dalam aneka bidang, seperti bidang medis (Aaron, 2022).

Keberadaan kecerdasan buatan (AI) memunculkan sejumlah masalah filosofis, etika, dan teologis yang tidak dipikirkan oleh manusia sebelumnya. Dalam bidang filosofis dan etika muncul banyak pertanyaan seperti: mampukah AI berpikir atau membuat keputusan? Apakah AI memiliki emosi? Apakah AI memiliki hak asasi seperti manusia? Bisakah kejahatan AI mendapatkan hukuman pidana? Di bidang apa dan di level mana AI akan menggantikan pekerjaan manusia? Apakah AI dapat mengancam umat manusia dan akhirnya menggantikannya?

Dalam bidang teologi, ada banyak persoalan yang perlu dijawab dalam hubungannya dengan eksistensi AI. Persoalan-persoalan itu adalah bagaimana mendefinisikan hubungan antara AI dan iman. Apakah AI memiliki jiwa? Bisakah AI menjadi objek keselamatan? Bisakah AI berkhotbah? Bisakah Gereja menggunakan AI dalam pendidikan pastoral dan Gereja? Masih banyak lagi pertanyaan lain yang dapat diajukan berkaitan dengan era AI ini.

Gereja universal menanggapi kehadiran AI secara positif. Gereja melalui pemimpinnya, seperti Paus Fransiskus mengapresiasi kemajuan yang ada. Hal ini ditegaskan oleh Paus asal Argentina ini dalam pertemuan dengan partisipan dalam seminar yang berjudul The Common Good in the Digital Age, yang berlangsung pada tanggal 27 September 2019. Paus menegaskan bahwa kemajuan teknologi (dalam hal ini AI) memiliki manfaat yang tak terbantahkan. Di samping memberikan apresiasi atas inovasi baru itu, Paus mewanti-wanti umat Katolik untuk waspada terhadap dampak buruk yang dibawa oleh teknologi baru itu. Paus mengingatkan semua umat untuk memanfaatkannya dengan bertanggung jawab dan tetap memperhatikan Batasan etika yang ada (Francis, 2019, p. 1). Selain memberikan arahan, pemimpin Gereja universal melalui berbagai komisi mencari cara meminimalisasi bahaya dari AI. Ada banyak kerja sama yang dibangun dengan para ilmuwan sains, para ahli teknologi, dan berbagai bidang ilmu lainnya. Misalnya The Pontifical Council for Culture bekerja sama dengan Kedutaan Besar Jerman untuk Tahta Suci mengadakan symposium dengan tema “The Challenge of Artificial Intelligence for Human Society and the Idea of the Human Person“. Dalam symposium ini dihadirkan beberapa ahli dalam bidang AI dan beberapa bidang lAInnya. Symposium ini bertujuan, agar Gereja mendapatkan pencerahan guna mengambil sikap dan kebijakan misi yang dapat menjawabi kebutuhan era AI. Selain itu Gereja universal juga menawarkan etika yang mesti ditaati, agar Ai tidak disalahgunakan. Hal lain adalah refleksi secara baru doktrin Gereja berkaitan dengan manusia, iman, keselamatan, yang bisa menjawabi tantangan yang dibawa oleh AI. (Vatican News Staff Writer, 2021).

Dalam konteks Gereja Katolik Indonesia ada banyak upaya juga yang dilakukan guna menjawabi tantangan yang dihadirkan oleh kemajuan teknologi ini. Upaya-upaya tersebut dilakukan di masing-masing keuskupan. Dari berbagai upaya di atas, penulis melihat bahwa gerakan tersebut masih bersifat sporadis. Kolaborasi yang mengikutsertakan berbagai keuskupan, organisasi-organisasi dalam Gereja belum terlalu tampak. Oleh karena itu, penguatan aspek sinodalitas, sebagaimana yang diserukan oleh Paus Fransiskus adalah hal yang perlu bagi Gereja Indonesia guna menyatukan tekad Bersama guna meminimalisasi dampak buruk dari kemajuan dalam bidang AI.

Mengenal Konsep Sinodalitas

 Pengertian

 Secara etimologis, sinodalitas berasal dari kata Yunani sin (bersama) dan hodos (berjalan). Sinodalitas adalah perjalanan yang dilakukan secara bersama (Geraldo, 2018, p. 25). Menurut The International Theological Commission (ITC), kata sinode merupakan kata yang sudah lama ada dalam tradisi gereja. Term ini mengacu pada tema-tema terdalam dalam wahyu. Kata sinode merujuk pada perjalanan yang dilakukan secara bersama-sama oleh umat Allah. Jalan itu adalah Kristus sendiri. Yesus pernah bersabda “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup (Yoh 14:6). Semua orang yang mengimani Dia mesti secara bersama-sama mengikuti jalan ini (Secretary General of the Synod of Bishop, 2021, pp. 6-7). Di sini kata sinode sebenarnya adalah gaya atau cara khusus dalam hidup dan perutusan Gereja. Dalam tulisan ini, sinodalitas dipahami sebagai aktus berjalan bersama semua umat Gereja Katolik dalam upaya menjawabi tantangan dalam misi Gereja. Hal yang perlu dijawan segera adalah  tantangan dari AI.

Gereja Sinodal

Sinodalitas merupakan hakikat dari Gereja. Hal itu merupakan kodrat dari Gereja. Dalam realitas, sinodalitas dipahami secara sempit, yaitu sebatas pertemuan yang dilakukan pada tingkat kepausan, keuskupan, dan paroki guna membahas isu-isu penting berkaitan dengan kehidupan Gereja. Karena itu Gereja sinodal sering merujuk pada dewan ekumenis, sinode para Uskup, Sinode diosesan, dewan keuskupan, dan paroki (Secretary General of the Synod of Bishop, 2021, p. 7).

Tema sinode yang dimulai tahun 2021 dan berpuncak pada tahun 2023 adalah “Menuju Gereja Sinodal: Persekutuan, Partisipasi, dan Misi”. Tujuan yang mau dicapai adalah membentuk Gereja Sinodal. Gereja sinodal yang disasar adalah sebuah Gereja yang melakukan kegiatan sinode, sepert yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang telah disebutkan di atas. Gereja sinodal yang diperjuangkan adalah gereja yang anggotanya berjalan bersama guna mewujudkan misi bersama. Misi Gereja menuntut seluruh Umat Allah untuk melakukan perjalanan bersama, dengan setiap anggota memainkan peran pentingnya, bersatu satu sama lain. Gereja sinode berjalan maju dalam persekutuan untuk mengejar misi bersama melalui partisipasi setiap anggotanya. Sinode ini bukanlah untuk memberikan pengalaman sinodalitas sementara atau satu kali, melainkan memberikan kesempatan bagi seluruh Umat Allah untuk bersama-sama memahami bagaimana melangkah maju di jalan menuju Gereja yang lebih sinodal dalam jangka panjang (Secretary General of the Synod of Bishop, 2021, pp. 7-8). Hal inilah yang menjadi motivasi dasar dari sinode yang digaungkan oleh Paus Fransiskus.

Artificial Intelligence

 Ada banyak definisi mengenai AI. Menurut Britannica Encyclopedia kecerdasan buatan (AI) merupakan kemampuan komputer atau robot yang dikendalikan oleh komputer untuk melakukan tugas-tugas yang biasanya dilakukan oleh manusia karena membutuhkan kecerdasan dan kecerdikan manusia. Meskipun tidak ada AI yang dapat melakukan berbagAI macam tugas yang dapat dilakukan manusia biasa, beberapa AI dapat menandingi manusia dalam tugas tertentu (Copeland, 2021). Blinken mendefinisikan kecerdasan buatan sebagAI sistem berbasis mesin yang dapat, untuk serangkAIan tujuan yang ditentukan manusia, membuat prediksi, rekomendasi, atau keputusan yang memengaruhi lingkungan nyata atau virtual (Blinken, 2021).

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pengertian yang dipaparkan oleh Nilsson. Pemikir ini mengartikan artificial intelligence is concerned with intelligent behaviour in artifacts. Intelligent behaviour, in turn, involves reasoning, learning, communicating, and acting in complex environments (Kecerdasan buatan berkAItan dengan perilaku cerdas dalam artefak. perilaku cerdas, pada gilirannya, melibatkan penalaran, pembelajaran, komunikasi, dan bertindak dalam lingkungan yang kompleks) di sini AI merupakan perangkat dan sistem yang memiliki semacam kemampuan untuk merencanakan, menalar dan belajar, merasakan dan membangun semacam persepsi pengetahuan dan berkomunikasi dalam bahasa alami. Untuk ini studi, AI dapat berupa perangkat atau alat bantu pengambilan keputusan yang mengandalkan otomatis, berbasis data, atau prosedur pembelajaran algoritmik.  (Nilsson, Artificial Intelligence, a New Synthesis, 1998, pp. 1-2). Dari pengertian ini, kecerdasan buatan memungkinkan mesin-mesin seperti computer bisa berpikir, berkomunikasi, bertindak seperti manusia.

Menurut sejarah, penelitian dalam bidang AI dimulai pada tahun 1940-an. Hal ini diinspirasi oleh novel yang berjudul Runaround, karya dari Isaac Asimov. Novel ini mengisahkan tentang robot yang dikembangkan oleh insinyur Gregory Powell dan Mike Donavan. Robot ini dibuat dengan mematuhi  Tiga Hukum Robotika. Pertama, robot itu tidak boleh melukai dan dapat mencegah manusia untuk tidak menyakitinya. Kedua, robot harus mematuhi perintah yang diberikan oleh manusia kecuali jika perintah tersebut bertentangan dengan Hukum Pertama. Ketiga, robot harus melindungi keberadaannya sendiri selama perlindungan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Pertama atau Kedua. Karya Asimov ini menginspirasi generasi ilmuwan di bidang robotika, AI, dan ilmu komputer—antara lain ilmuwan kognitif Amerika Marvin Minsky (yang kemudian ikut mendirikan laboratorium MIT AI) (Haenlein & Kaplan, 2019, p. 2). Istilah AI sendiri diperkenalkan pertama kali dalam sebuah sekolah musim panas yang diadakan oleh departemen matematikn di Universitas Dartmouth pada tahun 1956. Term itu diberikan pertama kali oleh John McCarthy. Ia dipahaminya sebagai ilmu dan Teknik membuat mesin yang cerdas (Lennox, 2020, p. 14).

Penelitian dalam bidang AI memiliki dua tujuan. Pertama, untuk memahami pikiran dan prsoses pikiran manusia dengan membuat modelnya menggunakan teknologi computer. Kedua, menyelidiki mengenai perilaku manusia dan membuat mesin yang bisa menirunya (Lennox, 2020, p. 14).

Yang membagi AI ke dalam dua kelompok, yaitu AI yang kuat dan AI yang lemah. AI yang kuat (atau kecerdasan umum buatan) adalah mesin yang mmiliki kesadaran, perasaan, dan pikiran. Mesin ini memiliki kecerdasan dalam aneka bidang. Sedangkan AI yang lemah (atau kecerdasan sempit buatan) berfokus pada spesifik tugas-tugas sempit (misalnya, mobil self-driving). Misalnya mesin pembelajaran yang hanya memiliki kecerdasan dalam bidang pembelajaran. Atau mesin yang hanya mempunyai kemampuan dalam bidang algoritma. Contoh lain adalah robot yang hanya bisa mengerjakan satu tugas saja (Yang, 2017).

AI membawa dalam dirinya dua dampak, yaitu dampak positif dan negatif. AI membawa dampak positif berupa lahirnya era mikro dan komputasi nano dengan daya yang lebih besar. Aliran data beresolusi tinggi yang terhubung mesin dan diproses oleh sistem algoritma tumbuh secara menakjubkan. Meskipun data tersebut diproduksi setiap hari oleh manusia. Hal ini melampaui kemampuan otak manusia. Otak manusia hanya mampu menyimpan 2,5 Petabyte (1 Petabyte=1 juta Gigabyte), sedangkan platform aplikasi, seperti Spotify memiliki kemampuan menyimpan 10 PB, eBay memiliki 90 PB; Facebook 300 PB; dan Google 15.000 PB (Accenture, 2017). Di sini AI mampu mentransformasi kehidupan manusia ke dalam dunia digital baru dan memungkinkan manusia untuk berinteraksi langsung dengan mesin. Selain itu, AI meningkatkan pertumbuhan ekonomi di 12 negara maju, lebih kurang 85%. Menurut penelitian, produktivitas tenaga kerja meningkat hingga 40 persen pada 2035 (Accenture, 2017). International Data Corporation (IDC) memprediksi analitik konten dan pasar perangkat lunak sistem kognitif teknologi AI akan tumbuh menjadi US $ 9,2 miliar pada 2019 (IDC, 2015) (Syamsuddin, 2019, p. 4). Dampak positif yang lain adalah AI mampu mengatasi banyak masalah yang dihadapi umat manusia, seperti dalam mengevaluasi kapasitas belajar siswa, membantu orang dengan gangguan penglihatan atau pendengaran dengan mengembangkan alat komunikasi yang lebih baik (seperti mengubah teks menjadi ucapan atau ucapan menjadi teks). AI juga dapat mempercepat pengumpulan, pemrosesan, dan penyebaran data kesehatan untuk meningkatkan diagnosis dan perawatan pasien, terutama yang tinggal di daerah terpencil.

Selain memiliki dampak positif, AI juga membawa dalam dirinya dampak buruk. The Alan Turing Institute mengidentifikasi beberapa dampak buruk dari AI  (Leslie, 2018, pp. 13-15).. Pertama, berkaitan dengan keadilan. Institut ini menegaskan bahwa tidak ada jaminan soal keadilan dalam pemanfaatan inovasi ini. Hal ini terjadi, karena orang-orang yang memrogramkan mesin cerdas tersebut tidak bebas nilai. Mereka pasti memiliki kepentingan dan telah menetapkan kelompok sasar dari inovasi tersebut. Mereka yang tidak masuk dalam kelompok sasar tentu saja akan terisolasi.

Hal lain adalah penyingkiran manusia dari keberadaannya sebagai homo faber. Manusia telah diberi kemampuan dan tugas oleh Penciptanya untuk merawat bumi. tugas ini bisa diambilalih oleh mesin cerdas, yang dapat mengerjakan pekerjaan jauh lebih baik dari manusia itu sendiri. Hal ini berdampak pada munculnya kluster pengangguran baru. Dampak buruk yang lain adalah degradasi manusia sebagai pribadi. Berbagai upaya manipulasi dan percobaan atas tubuh manusia melalui AI bisa berdampak pada pandangan bahwa manusia hanya sebatas makhluk biologis yang bisa dimanipulasi dan diuji coba. Masih ada banyak dampak buruk yang dibawa oleh AI, yang membutuhkan tanggapan yang bijaksana dari manusia.

Pentingnya Aspek Sinodalitas Dalam Misi Gereja Di Era Artificial Intelligence

Penguatan Aspek Sinodalitas

Misioner merupakan hakikat dari Gereja. Hal ini diulas dalam dokumen Konsili Vatikan II Ad Gentes no. 2. Hal ini juga ditegaskan oleh Paus Paulus VI. Ia menegaskan bahwa Gereja dipanggil untuk bermisi. Misi menjadi identitas Gereja. Di sini misi bukanlah sekadar sebuah tugas, tetapi roh, semangat dasar dan jati diri Gereja.

Dalam konteks Gereja Katolik Indonesia, tidak semua umat memahami dirinya sebagai misionaris. Tugas misi dipandang sebagai kerja dari para agen pastoral, seperti uskup, imam, serta Dewan Pastoral Paroki. Hal inilah yang membuat semangat semangat sinodalitas dalam misi masih kurang tampak. Atas dasar ini, Gereja perlu melakukan terobosan guna menjadikan sinodalitas sebagai semangat yang ada dalam diri setiap umat katolik Indonesia. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, konsientisasi. Gereja melalui paara agen pastoral hendaknya memberikan penyadaran dengan berbagai cara seperti katekese. Katekese bisa dibuat dengan memanfaatkan AI. Ada banyak keunggulan yang bisa dimanfaatkan oleh Gereja dari AI dalam upaya menyadarkan umatnya. Realitas menunjukkan bahwa banyak umat yang memanfaatkan AI. Oleh karena itu, Gereja juga mesti piawai menggunakan mesin cerdas guna mengevangelisasi umatnya. KWI mesti membuat gebrakan dalam hal ini.

Kedua, pemberian peran. Keengganan umat untuk berjalan bersama dengan para agen pastoral, salah satunya disebabkan oleh tidak adanya ruang bagi umat untuk terlibat. Tidak jarang, peran agen pastoral terlalu dominan dalam kehidupan menggereja. Ada juga anggapan dari sebagain kecil agen pastoral bahwa umat itu tidak tahu apa-apa. Karena itu umat hanya dijadikan pelaksana berbagai kebijakan pastoral dan kurang dilibatkan dalam perencanaannya. Hal ini perlu diubah oleh Gereja Katolik Indonesia. Paus Fransiskus melalui banyak kesempatan menegaskan pentingnya kolaborasi dan partisipasi dalam karya misi gereja. Hal ini mungkin, jika Gereja melalui Uskup, imam dan Dewan pastoral membuka ruang keterlibatan umat dan memberi mereka peran sesuai dengan keahlian mereka masing-masing. Dalam hubungan dengan pelibatan umat dlam perencanaan pastoral, pemanfaatan AI juga akan mempermudah Gereja untuk mengetahui keinginan umat. Gereja Katolik Indonesia bisa memanfaatkan google form dan berbagai kecanggihan lain dari AI untuk mendengarkan dan mengetahui apa yang dikehendaki umat di suatu wilayah.

Dua hal di atas adalah prasyarat yang perlu dilakukan, agar semangat sinodalitas dalam diri umat bertumbuh dan berkembang.

Pentingnya Gereja Sinodal Dalam Era AI 

AI membawa dalam dirinya peluang dan tantangan terhadap Gereja katolik Indonesia. Peluang ini mewujud dalam berbagai kemudahan yang dialami oleh Gereja dalam melaksanaakan karya misinya berkat adanya AI. Akan tetapi keberadaan AI juga menggugat doktrin-doktrin yang diyakini oleh Gereja. Dalam menjawabi berbagai tantangan dari AI dibutuhkan sebuah Gereja sinodal. Gereja sinodal itu tampak dalam dua hal berikut.

Sinodalitas Ad Intra

Dalam poin mengenai konsep sinodalitas, penulis telah menjelaskan bahwa gereja sinodal adalah gereja yang berjalan bersama, Gereja yang menekankan kolaborasi dalam pelaksanaan misinya. Dalam konteks Gereja katolik Indonesia, Gereja secara ke dalam hendaknya membangun kerja sama yang kokoh guna meminimalisasi dampak buruk dari AI. Hal ini penting, karena semua umat Katolik menggunakan berbagai teknologi AI. Selain itu, tidak sedikit umat Kristen yang menjadi penemu dan pemrogram mesin cerdas. Ada cukup banyak umat yang menjadi penyandang dana bagi penemuan-penemuan baru dalam AI. Gereja Katolik Indonesia (dalam hal ini para uskup, imam, dan agen pastoral lainnya) hendaknya mendengarkan, mencermati, dan menganalisa hal-hal yang terjadi dalam diri umat yang memanfaatkan AI. Selanjurnya, bersama mereka para agen pastoral menemukan cara terbaik dalam pemanfaatan mesin cerdan dan menanggulangi dampak buruknya. Semangat sinodalitas juga mesti dibangun antara agen pastoral dengan para penemu, pemrogram, dan pemodal AI. Dalam perjalanan bersama itu, Gereja dapat mendengarkan informasi mengenai keunggulan-keunggulan dari inovasi mereka, yang bisa dimanfaatkan oleh gereja dalam karya misinya. Selain itu, Gereja juga hadir untuk mengarahkan dan mengingatkan para ahli dan pemodal AI yang beragama katolik bahwa mereka adalah misionaris. Mereka juga diingatkan untuk mendasarkan karya mereka pada iman katolik. Di sini ilmuwan mesin cerdas ini hendaknya mendekati pekerjaan mereka dengan iman. Iman dapat mereka pada pengakuan bahwa jiwa, daripada kemampuan komputasi material, memisahkan manusia dari mesin. Iman seyogianya mempengaruhi pilihan etis para ilmuwan Kristen. Selain itu, mereka juga harus mendekati AI dalam sikap doksologi dan pelayanan. Mereka harus menghormati Tuhan dalam apa yang mereka lakukan dan menemukan bahwa dalam mencintai Tuhan, mereka mencintai orang lain, dan dalam melayani orang lain, mereka melayani Tuhan. Semua pemecahan masalah, yang dilakukan oleh AI, harus ditangani melalui motivasi pelayanan. Sistem itu juga harus dapat diandalkan, mudah digunakan, dan bermanfaat untuk memuliakan Tuhan.

Berjalan bersama (kolaborasi) semua anggota Gereja penting guna mengurangi semakin banyak umat yang meninggalkan ajaran imannya. Dalam beberapa penelitian, ada temuan, yaitu AI dapat membatalkan agama. Ada yang memprediksi bahwa AI akan berkontribusi pada kebangkitan ateisme dan pembubaran agama-agama dunia. Di dunia yang didorong oleh informasi, globalisme, dan percepatan kemajuan ilmiah, beberapa orang mengatakan bahwa kita berada di jalan menuju masa depan di mana agama menjadi usang. Selama beberapa dekade, kecerdasan buatan telah berkembang dengan sangat cepat. Saat ini, komputer dapat menerbangkan pesawat, menafsirkan sinar-X, dan menyaring bukti forensik; algoritma dapat melukis karya seni mahakarya dan menyusun simfoni dengan gaya Bach. Google sedang mengembangkan “penalaran moral buatan” sehingga mobil tanpa pengemudinya dapat membuat keputusan tentang potensi kecelakaan. Keberadaan mesin-mesin cerdas ini diyakini oleh mereka yang memujanya dapat menggantikan posisi Tuhan dalam memberikan jaminan dan kepastian kepada manusia (Charatan, 2018). Terhadap anggapan seperti ini Gereja sinodal membangun kesadaran dan keyakinan bersama bahwa Tuhan tidak akan dapat digantikan oleh kemampuan apapun, termasuk AI. Keyakinan Gereja ini mesti didasarkan pada sumber-sumber ilmiah yang akurat. Sumber-sumber ini dapat ditemukan atau diambil dari umat katolik sendiri yang ahli dalam bidang-bidang mereka, termasuk para teolog katolik. Sumber-sumber yang akurat ini bisa didapatkan, jika adala semangat sinodalitas dalam mencari jawaban atas tantangan yang diberikan oleh AI.

 Sinodalitas Ad Extra

Semangat sinodalitas juga dibangun oleh Gereja ketika bermisi ad extra. Hal ini berarti bahwa Gereja Katolik Indonesia mesti berjalan bersama (kolaborasi) dengan denominasi Kristen yang lain, agama dan keyakinan yang lain, para ahli dari berbagai bidang ilmu, dan negara (pemerintah).

Berjalan bersama denominasi Kristen yang lain penting dalam menjawab gugatan-gugatan yang dilayangkan oleh AI (pemuja mesin cerdas) kepada ajaran-ajaran agama Kristen. Ada banyak ajaran yang mirip di antara Gereja-Gereja Kristen. Karena itu melalui kerja sama ekumenis, para pimpinan gereja-gereja dapat memiliki konsep yang sama mengenai beberapa poin penting dari ajaran iman, yang dapat digunakan untuk menjawabi pertanyaan-pertanyaan dari para pemuja AI.

Ada banyak gugatan dari para pemuja AI terhadap ajaran iman Kristen.  Misalnya gugatan mengenai manusia bisa menjadi Homo Deus. Ada keyakinan para pemuja sains bahwa manusia bisa menggeser posisi Allah. Terhadap anggapan seperti ini, Gereja-Gereja mesti berkolaborasi memberikan jawaban. Gereja-gereja memiliki sumber teologi yang sama, yaitu Kitab Suci. Atas dasar sumber teologis itu, Gereja Kristen hendaknya memberikan tanggapannya. Menurut Kitab Suci (Kej 1:1), Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi. Di sini, materi bukanlah realitas utama. Ia adalah ciptaan. Realitas utama adalah Allah. Realitas utama ini tidak memiliki awal dan akhir, sementara dunia materi memiliki sifat fana. Manusia memiliki dasar materi. Allah menggunakan materi yang sudah ada sebelumnya (debu tanah) untuk membentuk manusia. Jadi manusia adalah “hasil dari pikiran Allah yang mengerjakan materi yang Allah cipta sebelum manusia ada (Lennox, 2020, pp. 103-110). Jadi kecerdasan manusia tidak akan dapat menggeserkan posisi Tuhan.

Persoalan lain yang diajukan oleh pemuja AI adalah soal eksistensi manusia. Mereka  mengatakan bahwa AI bisa menggantikan manusia. Terhadap anggapan ini, Kitab Suci yang menjadi rujukan Gereja juga memberikan jawabannya. Kitab Suci menegaskan bahwa manusia tidak sama dengan mesin cerdas dan mesin cerdas tidak dapat menggantikan manusia. Alasannya adalah Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk relasional. Manusia diciptakan dengan kemampuan untuk berhubungan dengan Tuhan dan ciptaan-ciptaan lain. Kemampuan relasionalitas ini tidak ada dalam mesin-mesin cerdas. Mereka dapat membangun relasi, jika mereka diprogramkan demikian. Dalam diri mereka sendiri tidak ada kesadaran untuk membangun relasi interpersonal. Keunggulan yang lain dari manusia adalah ia memiliki rasa ingin tahu. Hal ini didasarkan pada kisah mengenai sungai yang mengalir dari Taman Eden Kej 2:10-12. Para ekseget menafsirkan teks ini sebagai berikut. Manusia bisa mengetahui aliran sungai tersebut, karena ia memiliki rasa ingin tahu. Kuriositas ini memungkinkan lahirnya pengetahuan baru. Aspek kuriositas ini tidak ditemukan dalam diri mesin-mesin cerdas, sebab mereka diprogramkan hanya untuk membaca sesuatu yang sudah ditetapkan oleh pemrogramnya. Masih ada banyak persoalan lain yang bisa dijawab bersama oleh gereja-gereja Kristen.

Semangat sinodalitas juga mesti dibangun dengan agama-agama di luar Kristen, seperti agama Islam, Budha, hindu, dan lain-lain. Bersama kelompok ini, Gereja katolik Indonesia juga bisa menjawab persoalan yang disodorkan oleh AI. Persoalan yang bisa dijawab bersama adalah berkaitan etika. Para pimpinan agama di Indonesia bisa membangun etika bersama dengan bersumber dari ajaran agama masing-masing dan juga dengan berpijak pada Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi dasar dari moralitas bangsa Indonesia. Pembentukan moralitas bersama itu penting, agar tidak terjadi misunderstanding dan penerapan etika yang saling bertentangan antakelompok agama.

Bersama pemerintah, gereja Katolik Indonesia juga hendaknya berjalan bersama mereka untuk memastikan bahwa pengembangan teknologi dalam bidang AI tidak mendegradasikan, menyingkirkan, dan menciptakan ketimpangan di masyarakat. 

Penutup

Sinodalitas merupakan aspek penting dalam karya misi gereja. Gereja yang memiliki semangat sinodal akan mampu menjawabi berbagai persoalan yang mendera dunia saat ini. AI merupakan inovasi baru yang menyita atensi dari banyak pihak, termasuk Gereja Katolik. Keberadaan AI, di satu sisi membawa kemanfaatan dan di sisi lain menimbulkan berbagai persoalan dan melahirkan gugatan terhadap ajaran agama. Terhadap kenyataan ini, Gereja Katolik Indonesia mesti berjalan bersama denominasi Kristen yang lain, agama-agama lain di luar kekristenan, dan pemerintah untuk meminimalisasi dampak buruk dari AI. Selain itu membangun pemahaman bersama guna menjawai berbagai pertanyaan dari dunia sains.

Penulis: Sefrianus Juhani, SVD

 

Daftar Pustaka

 Aaron. (2022, January 28). Artificial Intelligence and the Catholic Church. Retrieved from The Catholic Union : https://catholicunion.org.uk/2022/01/ai/.

Blinken, A. J. (2021). Artificial Intelligence (AI). Retrieved January 6, 2021, from U. S Department of State: https://www.state.gov/artificial-intelligence/.

Charatan, D. L. (2018, October 13). How will AI Affect My Faith and Religion in General? Retrieved from TNW News: https://thenextweb.com/news/ai-effect-on-faith-and-religion.

Copeland, B. (2021, December 14). Artificial Intelligence. Retrieved from Britannica Encyclopedy: https://www.britannica.com/technology/artificial-intelligence.

Francis, P. (2019). Address of His Holiness Pope Francis to The Participants in The Seminar “The Common Good in The Digital Age”. Vatican: Libreria Editrice Vaticana. Retrieved from https://www.vatican.va/content/francesco/en/speeches/2019/september/documents/papa-francesco_20190927_eradigitale.pdf.

Geraldo, D. (2018). La Sinodalità nell’unione dell’apostolato Cattolico. RIVISTA APOSTOLATO UNIVERSALE(47), 25-46. doi:10.30446/2611-4143.VOL20N47A2018PP25-46.

Haenlein, M., & Kaplan, A. (2019). A brief History of Artificial Intelligence: On the Past, Present, and Future of Artificial Intelligence. California Management Review, 61(4), 1-10. doi:10.1177/0008125619864925.

Hariyadi, M. (2019, Agustus 2). Konggres Misi 2019 KKM-KWI Bertema “Dibaptis dan Diutus Menginjili Dunia”. Retrieved from Sesawi.net: https://www.sesawi.net/kongres-misi-2019-kkm-kwi-bertema-dibaptis-dan-diutus-menginjili-dunia-2/.

Hovsepian, M. S. (2018). The 4th Industrial Revolution, Responding to the Impact of Artifcial Intelligence on Business. Cham, Switzerland: Palgrave Macmillan.

Lennox, J. C. (2020). 2084, Pandangan Kristen tentang Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) dan Masa Depan Umat Manusia. (S. Tilaar, Trans.) Surabaya: Literatur Perkantas Jatim.

Leslie, D. (2018). Understanding Artificial Intelligence Ethics and Safety. The Alan Turing Institute., 2-95. doi:10.5281/zenodo.3240529.

Nilsson, N. J. (1998). Artificial Intelligence, a New Synthesis. China: Morgan kaufmann Publisher.

Nilsson, N. J. (2010). The Quest for Artificial Intelligence a History of Ideas and Achievements. Cambridge: Cambridge University Press. Retrieved from file:///D:/Buku%20ttg%20digital/Nils%20J.%20Nilsson%20-%20The%20quest%20for%20artificial%20intelligence_%20a%20history%20of%20ideas%20and%20achievements-Cambridge%20University%20Press%20(2010).pdf.

Secretary General of the Synod of Bishop. (2021). For a Synodal Church: Communion, Participation, and Mission. Vademecum for the Synod on. Vatican: Holy See Press. Retrieved from https://press.vatican.va/content/salastampa/en/bollettino/pubblico/2021/09/07/210907b.pdf.

Syamsuddin, M. M. (2019). Konsep Fundamental Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) Dalam Kritik Filsafat Timur. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Retrieved from https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/64095228/Konsep%20Kecerdasan%20Buatan%20(Artificial%20Intelligence:AI)%20dalam%20Kritik%20Filsafat%20Timur-with-cover-page-v2.pdf?Expires=1643424303&Signature=bCzw7nl0pHvK~r6KGJFDpyQzmScjplEnnpWGUOBTPbqGafwKzEjGekQBmq.

Vatican News Staff Writer. (2021, October 20). Vatican meeting explores challenge of artificial intelligence. Retrieved from Vatican News: https://www.vaticannews.va/en/vatican-city/news/2021-10/vatican-symposium-challenge-artificial-intelligence-society.html

Webb, M. (2019). The Impact of Artificial Intelligence on the Labor Market. the Future of Life Institute FLI-RFP-AI1, 1-60.

Yang, K. S. (2017). Impact of Artificial Intelligence, Robotics, and Machine. Proceedings of the Twelfth Midwest Association for Information Systems Conference, (pp. 1-150). Springfield, Illinois: MWAIS.

Data Pribadi

 Sefrianus Juhani. Lahir di Coal, Kuwus – Manggarai Barat. Menamatkan SMA pada SMA St. Klaus – Kuwu, tahun 1998 dan pendidikan tinggi pada STFK Ledalero tahun 2005. Ditahbiskan menjadi imam dalam Serikat Sabda Allah 9 Agustus 2008. Tahun 2014 menyelesaikan Program Magister di bidang Teologi Dogmatik pada Universitas Gregoriana, Roma – Italia. Sejak tahun 2016 menjadi dosen Teologi pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero. Saat ini sedang melanjutkan studi Program Doktor pada Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang.