Beranda Jendela Alkitab Ulasan Eksegetis Injil Minggu Biasa XXXII/C

Ulasan Eksegetis Injil Minggu Biasa XXXII/C

TUHAN KEHIDUPAN

Rekan-rekan yang budiman!

DALAM Luk 20:27-38 terungkap perbincangan antara orang-orang Saduki dan Yesus mengenai hidup setelah kehidupan di dunia ini. Apa arti permasalahan itu bagi orang pada zaman ini? Marilah kita tengok terlebih dahulu siapa itu orang-orang itu dan apa haluan pemikiran mereka.

Di kalangan orang Yahudi waktu itu ada sekelompok orang yang dikenal sebagai kaum Saduki. Mereka hanya mengakui kitab-kitab Taurat, yakni Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Kepercayaan yang tidak berlandaskan Taurat tidak mereka terima. Karena itu mereka juga menyangkal adanya kebangkitan. Memang kebangkitan baru menjadi perhatian dalam Dan 12:2 dan Yes 26:19 yang tidak termasuk Taurat.

Dalam hal ini kaum Farisi jauh berbeda. Mereka menegaskan adanya kebangkitan setelah kehidupan di dunia ini. Menurut pandangan mereka, di akhirat ada kelanjutan dari kehidupan di dunia ini lengkap dengan semua lembaganya seperti yang dapat dialami di dunia ini. Persoalan mengenai perempuan yang bersuamikan tujuh bersaudara yang mati bergiliran (Luk 20:28-33) adalah cara orang Saduki melecehkan pendapat orang Farisi. Bila ada kehidupan kelak, maka seperti ditanyakan dalam ayat 33, siapa dari ketujuh bersaudara itu yang menjadi suami perempuan tadi? Dalam hukum Musa ada perkawinan Levirat yang menggariskan agar orang mengawini istri saudaranya yang meninggal demi menjaga kelanjutan keturunan saudaranya itu (Ul 25:5-6). Inilah hukum yang dirujuk orang Saduki dalam Luk 20:28.

Orang Saduki bukannya berpendapat bahwa setelah mati manusia hilang begitu saja. Masih ada kelanjutannya, namun bukan berujud kehidupan kembali dengan kebangkitan seperti dipikirkan orang Farisi. Bagi orang Saduki, setelah mati orang masuk ke bawah tanah, ke wilayah yang mereka sebut Syeol, yang dipenuhi kegelapan seperti pada masa sebelum Penciptaan. Keberadaan seperti itu berlanjut terus dan tak ada banyak harapan berubah. Pandangan seperti ini umum diterima dalam alam pikiran Perjanjian Lama dan dunia Timur Tengah pada masa itu.

Orang-orang dulu terusik batinnya memikirkan keberadaan di Syeol yang tak terelakkan itu. Mereka mulai bertanya-tanya apakah perbuatan baik selama hidup di dunia ini tidak ada artinya kelak? Lalu bagaimana dengan orang yang menderita terus selama di dunia ini? Apa akan terus terhukum dalam keberadaan tanpa arti itu? Tak ada pelepasan? Di manakah keadilan ilahi? Pertanyaan ini mendasari seluruh Kitab Ayub.

Baru menjelang pembuangan berkembang gagasan bahwa di akhirat akan ada pelepasan dari penderitaan sekarang, akan ada pahala abadi bagi perilaku baik dan hukuman kekal bagi kejahatan. Lambat laun keberadaan setelah mati nanti semakin disadari sebagai kehidupan baru. Menurut kaum Farisi, kehidupan ini mulai dengan kebangkitan untuk dapat menikmati hal-hal yang membahagiakan secara badaniah juga. Gagasan inilah yang ditolak mentah-mentah orang Saduki.

Keberadaan sesudah hidup di dunia ini memang menjadi pemikiran banyak orang. Orang mau tahu jalan ke hidup kekal, tentunya hidup kekal yang membahagiakan. Ada orang kaya datang bertanya kepada Yesus mengenai jalan ke hidup kekal (Mat 19:16-26 Mrk 10:17-27 Luk 18:18-27). Yesus merujuk kembali kepada ajaran Taurat yang tentu diketahui dan dijalankan orang itu sejak masa mudanya. Itu cukup. Hidup di akhirat nanti bergantung dari upaya menjalankan kebaikan di dunia ini. Kekayaan rohani ini bisa menjadi pijakan bagi hidup di akhirat nanti. Yesus menambahkan, tapi kalau mau sempurna, hendaknya orang kaya itu berani merelakan semua miliknya bagi orang miskin dan mengikuti Yesus. Dengan melepaskan diri dari semua miliknya, orang dapat dipenuhi karunia ilahi. Begitulah orang akan hidup bahagia di hadirat Tuhan sendiri, bukan sebatas menikmati pahala atau menghindari hukuman. Tapi juga ditegaskan, tak ada orang yang bisa mencapai kesempurnaan ini dengan kekuatan sendiri. Hanya Tuhan-lah yang bisa menjadikannya nyata baginya.

Orang-orang Saduki ingin tahu apakah Yesus berpihak kepada orang Farisi dalam hal kebangkitan. Jawabannya (ayat 34-38) dimaksud untuk menyadarkan lawan bicaranya mengenai apa yang sebenarnya mau dibicarakan: pikiran-pikiran kita sendiri tentang akhirat atau mau belajar mengenai Dia yang bakal kita pandangi dari dekat nanti?

Dalam menanggapi kasus perempuan yang bersuami tujuh bersaudara yang mati satu persatu itu, Yesus mengatakan bahwa perkawinan itu lembaga dari dunia sini dan ada bagi urusan di dunia ini. Maksudnya, perkara itu tidak bisa diterapkan bagi keadaan dunia sana (ayat 34-36). Lalu bagaimana kita bisa membayangkan perkara-perkara di akhirat nanti? Tentunya memakai hal-hal yang bisa membantu mengerti dunia sana itu. Dalam ayat 37-38 Yesus mengajak orang Saduki memperhatikan satu peristiwa yang ada dalam Taurat, kitab-kitab yang mereka terima. Dirujuknya Kel 3:6. Di situ Tuhan mewahyukan diri kepada Musa sebagai Tuhannya Abraham, Tuhannya Ishak, dan Tuhannya Yakub. Maksudnya, leluhur Musa sudah mengenalNya sebagai Tuhan yang menyelamatkan mereka dan tetap akan menyelamatkan keturunan mereka. Ia Tuhan Pencipta, tapi juga Tuhan yang menyelamatkan, ia Tuhan orang hidup, bukan Tuhan orang mati.

Sekali-sekali kita dengar ada orang yang merasa bisa berkomunikasi dengan “dunia sana”, dengan arwah orang yang sudah meninggal yang datang dengan permintaan, keluhan, peringatan, atau petunjuk. Bagaimana pelayanan pastoral kita? Cara Yesus menanggapi hal seperti ini dapat membantu. Ia mengajak orang memusatkan perhatian kepada Tuhan yang menampakkan diri kepada Musa sebagai Penyelamat leluhur Musa sendiri. Ia itu Tuhan orang hidup, Tuhan kita-kita ini. Dan orang-orang yang telah mendahului? Beginilah penalaran Yesus. Karena Tuhan itu Tuhan yang menyelamatkan, maka orang-orang yang mendahului kita itu juga tetap hidup. Dalam ujud mana dan bagaimana tidak kita ketahui. Namun kita yakin mereka bahagia di hadiratNya. Mereka membantu melantarkan kita ke hadirat ilahi. Ya! Mereka itu kekuatan-kekuatan yang dapat membantu kita semakin dekat dengan Dia justru karena mereka sudah dekat denganNya. Tapi bila terasa mereka menarik perhatian kepada mereka sendiri, boleh kita ragukan apakah kekuatan-kekuatan ini sungguh dekat pada Tuhan – atau mereka itu kekuatan-kekuatan yang mau menjauhkan kita daripadaNya?

Ada seorang yang dapat membantu kita mengerti. Maria melantarkan kita kepada Tuhan seperti di Kana dulu ketika mendengar penyelenggara pesta gelisah karena kehabisan anggur. Memang Maria datang kepada Yesus mengatakan hal itu. Tapi ia meminta para pelayan supaya menjalankan apa saja yang dikatakan Yesus (Yoh 2:5). Maria mengajak orang semakin mendengarkan Yesus. Kisah itu bersangkutan dengan kehidupan di dunia, namun Maria kini hidup di hadirat Tuhan. Caranya melantarkan kita juga masih sama. Ia juga berdoa bagi “kami yang berdosa ini, sekarang dan pada waktu kami mati” (Salam Maria). Para orang kudus, seperti Oma Miryam kita itu, dapat membantu kita mendengarkan Tuhan.

Bagaimana bila ada orang datang dan bercerita merasa didatangi mendiang sanak saudara yang sambat-sambat belum punya tempat yang tetap….masih ke sana ke mari. Bagaimana tanggapan pastoral kita? Tak baik kita berlaku sebagai orang Saduki yang meremehkan hal ini. Tapi kalau kita meng-iya-kan saja, rasanya juga tidak memberi pelayanan yang sesungguhnya. Bagaimana bila kita katakan, jangan arwah yang datang itu “ditahan” dengan pikiran-pikiran kita sendiri mengenai mereka? Kita sekarang tahu bahwa energi rohani kita luar biasa besarnya. Bila kita belum bersedia “merelakan”, bisa jadi jejak-jejak mereka juga tak dapat sepenuhnya meninggalkan keterbatasan dunia ini. Perkara ini sering kurang kita sadari. Sekali lagi kita bisa belajar dari Maria – lewat ingatan Oom Hans. Di kayu salib Yesus menyerahkan Maria kepada Yohanes yang dimintanya menerima Maria sebagai ibunya (Yoh 19:25-26). Apa maksudnya? Maria dibesarkan hatinya agar saat itu juga merelakannya. Sekarang Yohanes itu anakmu. Juga dicatat Luc, Yesus ini seperti waktu kecil dulu, ia sudah merasa perlu tinggal di rumah Bapanya (Luk 2:49). Sudah lama Oma Miryam menyimpan perkara ini dalam hatinya, bisik Luc. Kebesaran budi hati Maria yang merelakan Yesus itulah yang membuat kepergiannya kepada Bapa menjadi jalan bagi Yesus untuk dapat hadir kembali mempersaksikan kepada kita kebesaran BapaNya.

 

Salam hangat,

A. Gianto