Domba yang Sesat, Dirham yang Terselip, Anak yang Hilang?
BACAAN INJIL Minggu Biasa XXIV tahun C kali ini, Luk 15:1-32, menampilkan tiga perumpamaan, yakni domba yang tersesat (ayat 1-7), disusul dengan perumpamaan mata uang yang terselip (ayat 8-10) dan perumpamaan anak yang hilang (ayat 11-32). (Perumpamaan anak yang hilang sudah pernah diuraikan dalam hubungan dengan Injil Minggu Prapaskah IV th C.)
Pemungut Cukai dan Pendosa
Ketiga perumpamaan dalam Luk 15:4-32 ditampilkan sebagai tanggapan terhadap kaum Farisi dan ahli Taurat yang kurang senang melihat Yesus membiarkan para pemungut cukai serta para pendosa datang ikut “mendengarkan dia” seperti disebutkan dalam ayat 1-3. Maksudnya, membiarkan mereka mengikuti uraiannya mengenai ajaran Kitab Suci dan mulai menjadi muridnya. Mendengarkan uraian Taurat itu kegiatan yang tak bisa sembarangan diikuti. Mereka yang dianggap bukan termasuk orang baik-baik tidak diizinkan ikut. Pemungut cukai dianggap tak pantas duduk mendengarkan ajaran Taurat. Di mata orang Yahudi pada zaman itu, pemungut cukai ialah orang yang menjual bangsa sendiri dengan bekerja memungut pajak dari sesama orang Yahudi bagi penguasa Romawi. Dosa mereka jauh lebih besar dari pada pelanggaran lain karena mereka terang-terangan ikut menindas umat Tuhan sendiri. Mereka berlaku seperti para penindas di Mesir dulu. Mereka tak layak mendapat pengampunan, apalagi mendengarkan uraian Taurat. Itulah sebabnya dalam ayat 1 “para pemungut cukai” disebut secara khusus sebelum “orang-orang berdosa”. Tetapi Yesus membiarkan mereka datang mendengarkan pengajarannya! Orang-orang yang merasa diri saleh tak habis mengerti, bahkan tersinggung dan menggerutu – “bersungut-sungut” – melihat kelakuan Yesus. Kelonggarannya mengotori kegiatan suci ini, menyalahi adat kebiasaan. Para tokoh agama nanti akan bersetuju untuk menyingkirkan Yesus yang menjadi duri dalam daging bagi mereka. Kita tahu cerita selanjutnya. Namun, bagaimana ingatan murid-murid generasi pertama mengenai cara Yesus menanggapi penilaian orang Farisi dan para ahli Taurat tadi? Apa yang disampaikan dalam ketiga perumpaman itu?
Bersungut-sungut atau Bergembira?
Tanggapan Yesus membuat orang berpikir. Ia mengajak orang yang tersinggung perasaannya itu untuk tidak terlalu bersikap kaku dan hanya melihat yang buruk-buruk saja. Mari kita pakai akal sehat…. begini lho duduk perkaranya! Mari kita lihat sisi lain. Untuk itu ia mengajukan pertanyaan retorik pada awal kedua perumpamaan yang pertama, yakni, “Siapa di antara kamu yang [kehilangan milik yang berharga] dan tidak [berusaha menemukannya kembali] dan [setelah menemukan] bersukaria dan mengajak orang lain bergembira?” Tentu saja tak ada seorangpun yang tidak akan bertindak demikian. Kedua perumpamaan itu jelas-jelas ditujukan kepada orang-orang yang menggerutu tadi. Mereka dihimbau agar memakai akal sehat dan tidak membiarkan diri dikuasai perasaan kesalehan belaka. Perumpaan yang ketiga lebih dalam lagi. Semua orang yang mempunyai anak dan saudara yang malang tapi mau berusaha kembali didorong agar bersedia meninjau kembali penilaian yang mereka pegang.
Ketiga perumpamaan itu menampilkan satu unsur yang sama, yakni kegembiraan mendapatkan kembali yang hilang, entah itu domba, mata uang, atau anak yang hilang. Kegembiraan ini kemudian dikabarkan kepada banyak orang. Pemilik domba memanggil para sahabat dan tetangganya dan mengajak mereka ikut bersukacita. Begitu juga perempuan yang menemukan kembali mata uangnya yang hilang. Secara tak langsung hendak dikatakan, mereka yang diajak ikut bergembira ialah kaum Farisi dan para ahli Taurat yang “bersungut-sungut” melihat Yesus membiarkan pemungut cukai dan pendosa mendengarkannya. Ayah anak yang kembali itu mengajak seisi rumah tangganya berpesta. Secara khusus ia mengajak anak sulung untuk ikut bergembira. Kita tidak tahu apa anak sulung dalam perumpamaan ketiga akan mau masuk rumah dan ikut berpesta. Kita tidak tahu persis apa orang-orang Farisi dan ahli Taurat mau mendengarkan Yesus. Tidak diceritakan lebih jauh. Hanya disodorkan sebagai bahan pertimbangan agar orang berkaca. Boleh jadi mereka malah makin mendongkol tapi tidak bisa menjawab karena mereka juga paham kekuatan warta ketiga perumpamaan tadi. Mereka yang dicap buruk, pendosa dan tak pantas itu bisa berubah dan sudah mulai berada pada jalan yang benar. Di lain pihak, orang-orang yang menganggap mereka tak patut diajak bergaul itu malah semakin mengeraskan hati sendiri. Orang-orang itu seperti si anak sulung yang tidak dapat melihat alasan kegembiraan ayahnya. Ia menutup diri. Menjauhi kegembiraan. Terus-terusan murung. Menyedihkkan!
Dari Zaman Gereja Awal
Ketiga perumpamaan dalam Luk 15:1-32 mencerminkan dinamika dalam gereja awal. Para pengikut Yesus sering dipandang oleh orang Yahudi sebagai orang yang kurang taat pada ajaran agama turun-temurun. Maklum generasi pertama dan kedua umat kristen belum amat membedakan diri dengan umat Yahudi. Banyak orang dari kalangan ini merasa dijauhi orang-orang yang tadinya tidak memusuhi mereka. Sanak saudara, teman sekerja, lingkungan kini agak mengasingkan mereka. Keadaan ini mulai dirasakan di kalangan orang Yahudi yang kemudian menjadi pengikut para murid Yesus. Mereka tentu saja merasa terintimidasi dan bertanya-tanya apa sepadan menanggungnya. Mereka bertanya apa mereka itu sungguh “sesat” seperti anggapan sanak saudara dan kawan-kawan mereka. Injil Matius menjawab persoalan ini dengan perumpamaan domba yang hilang dalam Mat 18:12-14. Di situ ditegaskan bahwa Bapa tetap menyayangi mereka. Taruh kata mereka tersesat, mereka akan dicari sampai ketemu. Dalam Injil Matius perumpamaan itu ditujukan bagi orang Yahudi yang menjadi pengikut Yesus.
Perumpamaan yang sama diolah Lukas bagi kelompok yang berbeda. Komunitas Lukas terdiri dari orang asal Yahudi dan bukan Yahudi. Golongan kedua ini makin bertambah besar dan melebihi yang pertama. Namun, kebiasaan-kebiasaan kerap kali masih digariskan oleh orang dari kalangan Yahudi. Bahkan mereka acapkali memandang orang lain dengan sikap curiga dan merendahkan. Mereka menganggap orang baru seperti murid yang tidak utuh komitmennya. Orang-orang baru ini dianggap “pemungut cukai” dan pendosa yang sebenarnya tak patut mendekat ke ajaran yang benar. Ditolerir, tapi tidak sungguh diterima. Tentu murid-murid asal luar itu merasa dianggap orang kelas dua, dicap tidak sepenuhnya mau menjadi murid dan masih tetap “kapir”. Ketiga perumpamaan dalam Luk 15 itu disampaikan untuk menghibur mereka. Tuhan tidak menutup mata pada kenyataan bahwa mereka terpojok dan dipojokkan oleh saudara-saudara mereka sendiri. Penilaian seperti itu bahkan sudah dikenakan kepada Yesus sendiri. Ia dianggap mengotori diri bergaul dengan pendosa dan dengan para pemungut cukai sekalipun. Dalam konteks seperti inilah orang-orang yang memandang rendah saudara-saudara seiman itu digambarkan sebagai “kaum Farisi dan para ahli Taurat” dalam Luk 15:1-3. Sekalipun demikian mereka tidak dikecam, melainkan diajak agar melihat persoalannya, diajak bernalar.
Seratus Ekor Domba, Sepuluh Dirham Minus Satu?
Apa tak berlebihan dikatakan dalam perumpamaan ini pemilik domba meninggalkan kesembilan puluh sembilan ekor domba untuk mencari seekor saja yang tersesat? Untuk memahami gaya bicara ini baik diingat bahwa perumpamaan ini mulai dengan menyebutkan pemilik domba yang memiliki “seratus” ekor domba. Seratus itu kelipatan sepuluh, angka yang melambangkan keutuhan. Keutuhan dalam arti ukuran yang penuh, tak mungkin bertambah lagi. Memiliki “seratus” ekor domba berarti mempunyai kekayaan yang serba melimpah dan tak perlu ditambah lagi. Juga dalam perumpamaan kedua, “sepuluh” dirham berarti juga jumlah yang utuh, milik yang sebesar-besarnya yang dapat dipunyai. Tetapi kalau kurang satu saja maka tidak utuh lagi. Juga kehilangan satu dari seratus domba berati kekayaannya menjadi tak utuh lagi. Ada kekurangan yang mengusik. Maka jelas mengapa pemilik domba dan perempuan yang kehilangan satu saja dari miliknya itu berusaha keras untuk menemukan yang bakal membuat milik mereka utuh. Dan bila terjadi, pemilik domba atau perempuan itu bisa bergembira dan mengajak orang lain ikut bersukacita. Mana unsur yang menonjol?
Bila dipandang secara menyeluruh, yang paling menonjol bukan perihal kehilangan, bukan pula kegembiraannya, melainkan usaha mencari yang bakal membuat milik utuh kembali. Baru bila berhasil, kegembiraan dapat dinikmati. Jadi usaha menemukan itulah yang hendak disampaikan dalam perumpamaan tentang domba yang hilang dan dirham yang terselip itu. Hendak digambarkan betapa besar perhatian Tuhan. Ia belum puas bila masih ada sebagian kecil umat manusia yang belum mengenalNya, serasa masih ada satu ekor domba yang sesat, masih ada dirham yang terselip, dan dalam perumpamaan ketiga, sang anak bungsu masih menderita hidup serba kekuarangan di luar.
Tidak mengherankan bila dikatakan pemilik domba itu “meninggalkan yang sembilan puluh sembilan” untuk mencari seekor yang hilang. Tak perlu ditafsirkan sebagai melalaikan jumlah yang besar tadi atau kurang berperhatian kepada anak sulung. Justru maksudnya untuk membuat jumlah yang besar tadi menjadi utuh, membuat anak sulung ikut menikmati keutuhan milik ayahnya. Baru bila berhasil, kegembiraan bisa diperoleh.
Spiritualitas Kerasulan?
Bila ketiga perumpamaan itu menggambarkan perhatian terhadap kemanusiaan, bisakah dikatakan bahwa Dia yang Yang Mahakuasa belum merasa lega dan dapat bersukacita sebelum miliknya utuh? Belum bisa betul-betul masuk dalam hari ketujuh dan memberkati seluruh ciptaan (bdk. Kej 2:1-2)? Bagaimana ikut memungkinkan Dia memperoleh ketenanganNya? Tentu saja jawaban bisa bermacam-macam. Kita yang terlibat dalam pewartaan di bidang pastoral akan merasa terdorong berusaha makin memperkenalkan kerahiman Tuhan. Bagi yang bergerak di bidang pendidikan tentu akan melihat dalam perspektif kerasulan mereka. Yang bergiat dalam kerasulan sosial, perumpamaan-perumpamaan ini akan memberi dorongan lebih lanjut bagi pemihakan pada kaum miskin. Bagi siapa saja dalam kerasulan apa saja, ketiga perumpamaan itu akan membantu menjernihkan motivasi dan tujuan kerasulan sendiri. Bagaimana penalarannya? Singkat saja. Bila dilacak lewat perumpamaan ini, tujuan kegiatan pastoral, kerasulan pendidikan, kerasulan sosial bukanlah terutama domba yang hilang, bukan dirham yang terselip, bukan anak yang hilang, melainkan kebahagiaan Tuhan sendiri. Dia-lah yang menjadi motivasi utama. Jadi bukan sekian banyak pertobatan yang bisa dipersembahkan kepadanya, bukan sekian dana yang bisa ditambahkan, bukan pula jumlah orang yang bisa dientas dari kemiskinan dan dibela hak-haknya, melainkan apakah Dia makin dimuliakan. Apa Dia itu kini betul-betul bisa dikatakan sebagai Tuhan yang bisa melihat ciptaanNya dengan lega karena merasa telah menyelesaikan – mengutuhkan karya ciptaanNya? Atau Ia masih gundah kendati kita bawa ke hadapannya barang-barang persembahan yang besar-besar tapi tidak membuatNya betul-betul merasa milikNya makin utuh?
Kredit Foto: https://antoniobortoloso.blogspot.co.id/
Pastor Yesuit, anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia; profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificum Institutum Biblicum, Roma.