Siapa yang Bakal Duduk di Kanan Kiri-Nya?
BERIKUT ini sekadar catatan mengenai Mrk 10:35-45 yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XXIX tahun B. Petikan Injil ini mengungkapkan keinginan Yakobus dan Yohanes memperoleh kedudukan di kanan dan kiri Yesus dalam kemuliaannya nanti. Yesus mengingatkan apakah mereka sanggup minum dari cawan yang diminumnya dan menerima baptisan yang diterimanya. Ditambahkannya bahwa kedudukan itu tidak dapat dijanjikannya karena hanya Allah sendirilah yang akan menentukan siapa yang pantas bagi kedudukan itu. Kemudian Yesus mengatakan bahwa barangsiapa ingin jadi orang besar hendaknya menjadi pelayan dan yang ingin jadi orang penting hendaknya menjadi orang yang memberikan diri bagi orang lain. Bagi Anak Manusia, melayani dan mengamalkan diri menjadi jalan penebusan bagi umat manusia.
KEDUDUKAN KHUSUS, JADI PAHALA KHUSUS?
Yakobus dan Yohanes, seperti halnya Petrus, adalah murid murid pertama yang dipilih Yesus (Mrk 1:19), mereka nanti dibawa serta Yesus ke atas gunung untuk menyaksikan kemuliaannya (Mrk 9:2-8) kemudian mereka juga diajak mengawani Yesus di Getsemani (Mrk 14:34). Jelas mereka amat dekat dengan Yesus. Apa salahnya mengharapkan pahala duduk di kanan kiri Yesus nanti dalam kemuliannya – juga kemuliaan rohani? Konteks terdekat petikan dari Mrk 10:35-45 ialah pemberitahuan ketiga mengenai diserahkannya Anak Manusia kepada para pemimpin masyarakt Yahudi. Dia akan dicerca dan mengalami siksaan sampai mati dan baru akan bangkit pada hari ketiga (Mrk 10:32-34). Kalimat-kalimat pemberitahuan ini tentu saja dimengerti para murid walaupun kebenarannya tak tercerna. Anak Manusia ini makin sulit dimengerti. Orang semakin bertanya-tanya kenapa tokoh yang menolong banyak orang dan dielu-elukan itu sampai perlu mengalami penderitaan besar untuk mencapai kemuliaannya. Mana bisa? Tak masuk akal!
MASALAH ILMU TAFSIR
Ketidakpahaman yang diutarakan Injil-Injil mengenai penderitaan, kematian, dan kebangkitannya itu bukannya ketidaktahuan belaka melainkan frustrasi menghadapi perkara yang tak masuk akal seperti itu. Tak sedikit ekseget yang menafsirkan permintaan Yakobus dan Yohanes ini muncul dari anggapan bahwa Yesus sebentar lagi akan membangun kembali kejayaan politik dan duniawi Israel. Memang pandangan Mesias seperti itu ada dan betul juga ada sementara pengikut maupun lawan Yesus yang berpendapat demikian. Akan tetapi, tidak bisa murid-murid yang terdekat begitu saja dianggap keliru mengenai guru mereka. Penjelasan seperti ini kurang cocok dengan nada seluruh petikan. Lebih tepat bila kita anggap mereka sebenarnya juga mengetahui apa yang sesungguhnya dimaksud Yesus. Yang tak bisa mereka pahami adalah mengapa ia perlu menderita dan mati agar mencapai kemuliaan rohaninya itu. Soal mereka ialah bagaimana mengerti mengapa Allah membiarkan penderitaan seperti itu – bukan bahwa mereka terbuai pandangan mesianisme politik. Murid-murid itu amat dekat dengan Yesus dan sebebal-bebalnya mereka kiranya tidak akan terlalu meleset memahami siapa dia.
CAWAN DAN BAPTISAN
Yesus tidak langsung mencela mereka seperti kesepuluh murid lain yang marah kepada mereka. Ia hanya bertanya apakah mereka sanggup ”minum dari cawan” yang harus diminumnya dan ”dibaptis dengan baptisan” yang bakal dijalaninya. Minum dari cawan itu idiom bagi mengalami penderitaan, merasai cemooh dan murka dan hal seperti itu. Di Getsemani Yesus mohon agar Allah meluputkannya dari cawan (= penderitaan), bila ini memang kehendak-Nya. Menjalani baptisan juga suatu idiom, maksudnya mengalami maut. Gabungan cawan dan baptisan berarti penderitaan yang membawa maut, seperti yang akan dialaminya dan sudah diumumkannya sendiri sampai tiga kali tapi tak tercerna oleh para murid. Yakobus dan Yohanes mengerti gaya bicara ini dan jawaban mereka betul-betul mengungkapkan tekad mereka untuk nekad ikut serta dalam penderitaan dan maut yang bakal dialami Yesus walaupun tak habis mengerti mengapa perlu sejauh itu. Mereka memang loyal. Akan tetapi, mereka lebih terdorong harapan bakal mendapat pahala khusus mengingat kedudukan khusus mereka. Hal terakhir inilah yang tidak dilewatkan begitu saja oleh Yesus. Ia mengatakan bahwa ia tak berhak menempatkan mereka dalam kedudukan mulia karena Allah sendirilah yang menentukan siapa-siapa yang bakal ada di sana.
SIAPA YANG BAKAL DUDUK DI KANAN KIRINYA?
Siapa yang ditentukan Allah bakal mendapat kedudukan itu? Tak akan meleset bila kita berpikir mengenai mereka yang dalam Injil-Injil disebut bakal masuk Kerajaan Allah atau empunya Kerajaan Allah: anak-anak yang diberkati Yesus, orang-orang yang disebut bahagia dalam khotbah di bukit, mereka yang nanti dalam ungkapan Matius tentang akhir zaman terbukti sudah sungguh-sungguh memperhatikan orang lain …. Dalam ayat-ayat Mrk 10:43-44 Yesus mengajak murid-murid agar menjadi pelayan dan hamba. Kata-kata Yesus dalam ayat 43 dan 44 itu bermaksud mengatakan agar para murid saling menjadi pelayan dan saling mengutamakan. Ajakan ini merombak wacana kekuasaan yang biasa, sama halnya dengan khotbah di bukit merombak pandangan umum. Dalam dunia wacana kekuasaan yang lazim, arahnya ya dari atas ke bawah, seperti ditegaskan dalam ayat 42. Kebengisan, ketidakadilan, perlakuan buruk amat mudah muncul dalam wacana itu. Namun demikian, dalam ayat 43-44, wacana ”atas-bawah” itu diratakan, di-horisontal-kan, begitulah istilahnya. Murid-murid diimbau agar menjadi pelayan bagi satu sama lain dan agar saling menganggap penting.
TEOLOGI YANG BERANI
Ajakan dan ajaran tadi diberi penjelasan ”karena Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi orang banyak”. ”Memberikan nyawanya” dalam gaya bicara Semit berarti memberikan diri sepenuhnya, punya komitmen total, dan bila perlu sampai berkurban jiwa walaupun ini bukan hal yang pokok. ”Orang banyak” juga merupakan cara berungkap khas untuk menyebut semua orang, bukan hanya ”banyak”. Gagasan ”tebusan” datang dari dunia utang piutang dan pergadaian. Tebusan ialah ganti rugi, silih, yang diberikan untuk mengembalikan hutang yang tak terbayar dengan cara biasa. Umat manusia, semuanya, ”orang banyak”, telah merosot dan bukan lagi citra Allah yang utuh. Nah, ini rugi besar bagi Allah. Untuk membereskan perlu ada tebusan, ciptaan baru, sebagai ganti rugi (Saya tidak akan memakai gagasan ”tumbal” karena konotasi dan alam pikiran ”tumbal” ialah kurban peredam amarah, bukan ganti yang setimpal. Allah akan menuntut ganti rugi yang tak gempil sana sini). Wacana teologi seperti ini dirombak dalam Mrk 10:45. Allah yang biasa dimengerti sebagai yang menuntut tebusan sampai sen terakhir itu kini tampil sebagai Allah yang ikhlas menyerahkan seluruh urusan kepada Anak Manusia. Dia ini ciptaan baru yang menampakkan wajah Allah yang sejati. Allah kini tampil bukan sebagai yang murka dan suka membuat perhitungan, melainkan yang menganggap manusia berharga, Allah yang menganggap kita ini patut ditelateni, bagaikan seorang pelayan dan hamba menghadapi tuannya. Bolehkah kita percaya bahwa Allah yang mahatinggi itu bertindak demikian kepada kita? Bisakah kita menerima ajaran Yesus agar orang saling menghargai sebagai jalan emas penebusan? Beranikah kita menerima itu semua sebagai Kabar Gembira?
Mengapa Yesus memakai “cawan” untuk melambangkan penderitaan? Mengapa pula baptisan tampil sebagai lambang penderitaan yang membawa maut? Bukankah cawan (piala) dipakai juga untuk pesta (minum anggur dalam perjamuan nikah), dan baptisan sering kita artikan sebagai pertobatan? Inilah penjelasannya:
- Baptisan pada zaman Yesus dilakukan dengan menenggelamkan orang ke dalam air, maksudnya, membuat orang secara ritual mengalami kematian sehingga kalau toh keluar lagi hidup-hidup tentunya sudah dibersihkan dari noda-noda dulu. Oleh karena itu, bisa juga dipakai guna melambangkan pertobatan.
- Dalam alam pikiran religius orang dulu, cawan kerap dipandang berisi minuman yang datang dari dunia ilahi. Minumannya bisa berkat (Mzm 23:5; 116:13), bisa pula hukuman (Yeh 23:31-33), bahkan amarah ilahi (Mzm 11:6; 75:9; Yes 51:17:22; Yer 25:15; 49:12; Hab 2:15-16). Menjelang periode akhir Perjanjian Lama, gagasan cawan berisikan amarah lebih dikenal. Gemanya terdengar dalam Kitab Wahyu (Why 14:10; 16:8.19; 17:4; 18:6). Karena cawan amarah sedemikian lazim, orang bilang cawan begitu saja, ini pars pro toto. Bila diminum, amarah dalam cawan itu menyebabkan penderitaan. Dan ini dipakai sebagai idiom dalam Injil hari Minggu Biasa XXIX dan di Getsemani. Dengan minum sampai tuntas cawan yang berisi murka Allah tadi, maka Yesus sang Anak Manusia menghapus amarah Allah dan dengan demikian hubungan antara manusia dengan Allah baik kembali. Kalau ia tidak meminumnya, amarah tadi akan tertumpah ke seluruh muka bumi. Idiomnya begini: cawan = penderitaan; baptisan = maut. Jadi cawan + baptisan = penderitaan sampai mati dan tunggu saja apa hidup lagi atau tetap mati.
Kita anggap saja dalam pesta orang tidak memakai cawan atau piala atau gelas atau bokor yang isinya hukuman atau amarah. Yang disuguhkan ialah minuman yang membuat hati gembira.
Salam hangat,
A. Gianto
Kredit Foto: Ilustrasi (Ist)
Pastor Yesuit, anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia; profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificum Institutum Biblicum, Roma.