Hari Raya Bunda Allah – HARI PERDAMAIAN SEDUNIA – Luk 2:16-21 & Bil 6:22-27

Rekan-rekan yang budiman, Selamat Tahun Baru!

Hari pertama di tahun baru 2018 ini bertepatan dengan perayaan Maria Bunda Allah. Di kalangan umat pada abad-abad awal, Maria mulai mendapat gelar “Theotokos”, artinya “yang membuat keilahian lahir” – alih bahasa ini lebih menunjukkan makna ungkapan itu daripada “Bunda Allah”, yang dalam bahasa biasa dapat menimbulkan kesan maksudnya ialah “ibunya si Anu” dengan kelanjutan pada debat salah arah mengenai apa benar Allah kok diperanakkan dan sebagainya.

Penghargaan terhadap Maria sebagai yang membuat keilahian lahir dan menjadi nyata kemudian resmi diterima dalam Konsili Ekumenis di Efesus th. 431. Dengan demikian resmi diakui Gereja bahwa Maria memungkinkan umat manusia mengalami keilahian sebagai berkat. Inilah sumber kekuatan bagi usaha orang-orang yang berkehendak baik untuk mewujudkan kedamaian. Awal tahun ini juga bertepatan dengan Hari Perdamaian Sedunia.

Bacaan pertama pada perayaan ini (Bil 6:22-27) mengantar kita masuk untuk mengalami wajah Tuhan yang bersinar memandangi kita sehingga tahun ini dapat menjadi tahun damai, tahun ber-berkat”! Injilnya ialah Luk 2:16-21 yang sudah sebagian besar diulas bagi Injil Misa Fajar Hari Natal yang lalu, yakni Luk 2:15-20.

MARIA DAN KITA

Dia yang lahir dan baru saja dirayakan Natal ini disebut  sang Imanuel, artinya, “Tuhan beserta kita”. Yang Ilahi tidak membiarkan umat manusia sendirian. Dan Maria sang Theotokos “yang membuat keilahian lahir” itu menjadi saksi bahwa memang benar demikian. Kepada seorang perempuan muda di Nazaret dulu disampaikan ajakan untuk ikut serta membuat kebesaran ilahi jadi nyata. Dulu Maria serta-merta menyahut “terjadilah perkataan-Mu” kepada Gabriel. Untung tawaran bukannya datang kepada kita dibawakan oleh malaikat yang menuntut jawaban saat itu juga. Namun ajakan yang sama kini masih ditawarkan bagi semua orang yang berkemauan baik.  Ada dua belas bulan ke depan untuk mengemasnya. Waktu yang biasanya di pihak lawan kita kini bisa menjadi berkat.

Dalam Luk 2:21 yang termasuk petikan hari ini disebutkan bahwa setelah genap 8 hari, bayi itu akan disunatkan dan demikian ditandai secara resmi sebagai anggota umat Tuhan. Juga hari itu hari menyatakan secara resmi namanya, yakni Yesus. Nama ini menandaskan bahwa Tuhan itu pemberi keselamatan. Nama itu sebelumnya sudah disampaikan malaikat ketika mengunjungi Maria (Luk 1:31) sebelum ia mengandung. Demikianlah Tuhan Penyelamat membiarkan diri dibesarkan oleh manusia agar makin dikenali. Merayakan keibuan Maria dalam pengertian itu sebenarnya bukan hanya menghormati pribadinya belaka, melainkan merayakan keberanian Tuhan membiarkan diri dikenal oleh manusia, semampu kita. Itulah berkat yang tersedia bagi kemanusiaan.

TIGA PASANG BERKAT

Dari bacaan Kitab Bilangan kita dapati tiga rumusan berkat yang difirmankan Tuhan Umat Perjanjian Lama kepada Musa agar disampaikan kepada para imam keturunan Harun. Menurut Kel 28:1-43; terutama ay. 41, Harun dan keturunannya diresmikan sebagai pemegang jabatan imam. Kata-kata berkat itu sendiri termaktub dalam Bil 6:24-26. Seperti dijanjikan Tuhan, bila kata-kata itu diucapkan, Dia sendirilah yang akan memberkati. Masing-masing ayat 22-26 itu terdiri dari dua bagian yang saling menjelaskan (ay. 24: memberkati – menjagai; ay. 25: menyinarkan wajah – menyayangi; ay. 26: memandangi – menaruh kedamaian). Selain itu, seluruh rumus berkat diungkapkan dalam tiga ucapan berkat. Pengulangan tiga kali, entah dari segi bunyi (“kudus, kudus, kuduslah Tuhan” [Yes 6:3]), entah dari segi makna (seperti di sini) mengundang sikap hormat dan khidmat akan kehadiran Yang Ilahi dalam keagungannya (Bandingkan dengan ulasan mengenai silsilah Yesus [Mat 1:1-17] yang terdiri  dari 3 kali 2 kali 7 keturunan dalam uraian bagi Injil Misa Vespertina Natal).

“SEMOGA TUHAN MEMBERKATIMU DAN MENJAGAIMU”

“Memberkati” dan “menjagai”. Ungkapan kedua menegaskan yang pertama. Jadi memberkati berarti menjagai, melindungi dari kekuatan-kekuatan jahat. Lawan memberkati ialah mengutuk dan kutukan terbesar ialah membiarkan orang menjadi mangsa daya-daya maut. Dalam kesadaran orang dulu, kekuatan-kekuatan jahat tak perlu didatangkan atau diguna-gunakan. Daya-daya hitam itu sudah ada di sekeliling dan selalu mengancam. Namun demikian, mereka tak bisa menembus garis lingkaran berkat yang ditoreh oleh Tuhan dengan sabda-Nya. Dalam arti ini, kawasan berkat ialah ruang hidup bagi ciptaan, bagi kita. Tak mungkin ada yang bisa hidup di luar ruang itu. Ada cerita menarik. Seorang ahli tenung digdaya dari Aram, Balaam namanya, didatangkan oleh Balak, raja Moab, untuk menyihir kalang-kabut orang-orang Israel yang berjalan lewat di situ (lihat Bil 22-24). Namun demikian, Balaam menyadari bahwa ilmu tenungnya tak berguna karena Tuhan tidak membiarkan orang Israel berjalan di luar ber­kat-Nya (Bil 23:8-9). Tuhan memberkati mereka dan Balaam mengakui tidak mampu membalikkannya (Bil 23:20). Malahan Balaam akhirnya ikut memberkati (Bil 24:1-9) dan bahkan sampai tiga kali (Bil 24:10)!

Kita merayakan Tahun Baru dan mengharapkan berkat Tuhan. Apa yang boleh diharapkan? Kita mohon agar Ia melindungi kita dari kekuatan-kekuatan jahat yang akan menghalang kita dalam perjalanan 12 bulan mendatang ini. Kita minta ruang hidup yang leluasa. Yang biasa menjalankan kekuatan-kekuatan jahat akan menjadi seperti dukun tenung Balaam: tidak lagi berbahaya. Malah kekuatannya akan beralih menjadi berkat. Ini kehebatan Tuhan yang menjagai orang-orang-Nya. Ia tak perlu memusnahkan lawan-lawan. Akan ada rekonsiliasi – rujuk kembali – dan mereka malah akan mengiringi perjalanan dalam waktu.

“SEMOGA TUHAN MENYINARKAN WAJAHNYA KEPADAMU DAN MENYAYANGIMU”

Dalam ayat 25 ini, “menyinarkan wajah” dijelaskan sebagai “menyayangi”. Orang Perjanjian Lama yang memikirkan wajah Tuhan yang bersinar kepadanya juga ingat lawan katanya, yakni wajah yang garang. Namun demikian, wajah garang tidak dipakai untuk menggambarkan Tuhan, sekalipun Ia sedang marah. Ungkapan ber-“wajah garang” biasa dikenakan kepada penguasa yang lalim, kepada para musuh, kepada sisi gelap kemanusiaan. Wajah garang membuat orang jeri tapi sebenarnya tidak bersimaharajalela terus-menerus. Waktunya sudah bisa dihitung. Ini jelas misalnya dalam penglihatan yang diperoleh Daniel, lihat Dan 8:23 dst.

Satu hal lagi dapat dicamkan. Manusia bisa juga bersinar wajahnya, mirip Tuhan, namun ia juga bisa berwajah garang. Hidup manusia itu kancah perbenturan antara terangnya wajah Tuhan dengan garangnya daya-daya jahat. Ini perkara teologis yang siang malam mengusik benak orang-orang pandai dalam Perjanjian Lama. Kohelet, sang Pengkhotbah, memecahkannya dengan pertolongan hikmat. Dalam Pengkotbah 8:1, dikatakannya bahwa hikmat kebijaksanaan membuat wajah orang menjadi bersinar dan mengubah kegarangan wajahnya. Teologi kebijaksanaan ini menjelaskan berkat dalam Bil 6:25 tadi. Dengan hikmat kebijaksanaan, orang dapat mencerminkan Tuhan, menghadirkan Dia yang sayang akan orang-orang-Nya. Juga dalam merayakan Tahun Baru kita boleh minta agar Tuhan menyinarkan wajah-Nya kepada kita semua. Saat ini juga kita dapat memohon hikmat kebijaksanaan yang membuat kita dapat menghadirkan terang wajahnya di muka bumi, di dalam kurun waktu, di dalam kehidupan kita, agar yang garang-garang itu berubah menjadi terang. Dunia ini telah menerima terang kehadiran Tuhan, jangan kita pikir kegarangan bisa mengelabukannya.

“SEMOGA TUHAN MEMANDANGIMU DAN MENARUH KEDAMAIAN PADAMU”

Dalam ayat 26, “mengangkat wajah bagimu” yang artinya memperlakukan secara istimewa karena berharga ditegaskan lebih lanjut dalam bagian kedua sebagai “menaruh kedamaian”. Dalam alam pikiran Perjanjian Lama, tiadanya syalom, kedamaian, dialami sebagai kegelisahan yang menyesakkan dan yang akhirnya bisa mematikan. Memang tak bisa begitu saja kedamaian diiming-imingkan (Menurut Nabi Yeremia, orang yang latah bernubuat tentang damai tanpa isi sebetulnya nabi palsu; Yer 6:14; 8:11; 28:9). Perjanjian Lama melihat kedamaian sebagai buah dari tse­daqah, yakni kesetimpalan antara kenyataan dan yang disabdakan Tuhan. Wujudnya ada macam-macam, yang terutama ialah “adil” (tsadiq), “benar/lurus” (yasyar), “tak bercela” (tam), “bijaksana” (khakam). Tiap wujud itu tak terbatas pada urusan orang-perorangan, tetapi menyangkut hidup bersama juga. Keadaan yang paling mencekik kehidupan bukanlah peperangan atau paceklik, melainkan tiadanya “kesetimpalan” dalam pelbagai wujudnya tadi. Keselamatan terjadi bukan dengan meneriakkan syalom-syalom seperti nabi palsu, melainkan dengan menjadikan tsedaqah sebuah kenyataan sehingga manusia dan jagat semakin setimpal kembali dengan yang dikehendaki Tuhan. Dalam Perjanjian Baru, terutama Paulus, gagasan tsedaqah (Yunaninya “dikaiosyne”) muncul kembali untuk menerangkan keselamatan sebagai karya penebusan Kristus yang “meluruskan kembali” (Yunaninya “dikaioun”, Latinnya “iusti­ficare”) manusia dan jagat sehingga rujuk kembali dengan Tuhan. Maksudnya, dalam Kristus manusia dan jagat memperoleh kembali keadaannya semula yang tidak perot, yang tidak mengerikan, yang tidak menggelar kekerasan. Bila ini terlaksana, barulah orang bisa berbicara mengenai syalom, kedamaian. Ucapan berkat dalam Bil 6:26 “menaruh kedamaian” mengandaikan manusia bisa apik kembali, bisa lurus dan tak bercela, setimpal dengan yang dimaksud Tuhan. Bagaimana? Bila manusia dan jagat dipandangi terus-menerus oleh Tuhan seperti terungkap dalam bagian pertama ayat itu. Inilah yang bisa kita minta untuk tahun mendatang ini. Wajah kemanusiaan dan jagat ini akhir-akhir ini penyok sana sini, perot, timpang. Kita minta agar Tuhan memandangi itu semua. Kita tanya Dia, tahankah Kau memandang ini semua? Katanya sayang manusia. Sekarang pandangilah! Angkat wajah-Mu, jangan sembunyikan! Luruskan kembali keapikan ciptaanmu! Tak usah sungkan bilang begitu kepada-Nya.

Semoga sukses di tahun ini,
A. Gianto