18 November 2021, Bacaan Injil 18 November 2021, Bacaan Injil Harian, Bacaan Kitab Suci, bacaan Pertama 18 November 2021, Bait Allah, Bait Pengantar Injil, Firman Tuhan, Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik, Injil Katolik, Katekese, Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Lawan Covid-19, Mazmur Tanggapan 18 November 2021, Minggu Kerahiman Ilahi, Penyejuk Iman, Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Pewartaan, Renungan Harian Katolik 2021, Renungan Katolik Harian, Renungan Katolik Mingguan, Sabda Tuhan, Minggu Pekan Biasa XXXIII, Ulasan Kitab Suci Harian, Umat Katolik, Yesus Juruselamat
Ilustrasi : expecthim.com

Rekan-rekan yang budiman!

Diceritakan dalam Luk 21:5-19 (Injil Minggu XXXIII C) bagaimana Yesus menegaskan kepada orang-orang yang sedang mengagumi keindahan Bait Allah bahwa satu ketika bangunan itu akan terbongkar seluruhnya dan diruntuhkan (ayat 5-6). Ketika mereka bertanya kapan saat itu tiba (ayat 7), Yesus menasihati mereka agar waspada terhadap orang yang mengatakan saatnya sudah tiba dengan memakai nama Yesus (ayat 8-9). Diajarkannya agar mencari pegangan yang sungguh dan tidak sibuk dengan spekulasi dan perhitungan belaka. Jangan pula cemas melihat kekacauan yang bisa jadi menandai datangnya saat itu, juga tak perlu gentar bila dituduh, karena akan memperoleh kata-kata hikmat darinya. Bila sanggup bertahan, mereka akan tetap hidup (ayat 10-19). Inilah warta bagi orang zaman itu. Dan juga bagi kita pada zaman ini? Marilah sekadar kita tengok dulu latar pemikiran orang banyak pada zaman itu.

ALAM PIKIRAN AKHIR ZAMAN
Sejak lebih dari tiga abad sebelum zaman Yesus, keadaan di negeri orang Yahudi semakin kacau sebagai akibat ketegangan dalam masyarakat Yahudi sendiri yang diperparah oleh datangnya kekuatan luar, mula-mula orang Yunani dan kemudian orang Romawi. Permusuhan timbul di antara pihak-pihak yang tadinya hidup berdampingan dengan damai. Masyarakat rasa-rasanya mengarah ke kehancurannya sendiri. Dalam keadaan itu berkembanglah anggapan bahwa Yang Mahakuasa telah menentukan akhir dari dunia yang makin tak menentu itu. Kapan terjadi menjadi pertanyaan besar. Kekacauan yang dialami tadi juga mulai dipahami sebagai tanda-tanda bakal segera datangnya akhir zaman tadi. Berbarengan dengan itu, berkembang kepercayaan akan tibanya seorang tokoh besar yang bakal memimpin orang keluar melewati zaman edan tadi. Dia akan membangun kembali kehidupan yang morat-marit itu. Mereka yang bertahan dalam zaman susah itu akan diselamatkan dan akan memasuki hidup baru.

Itulah secara garis besar alam pikiran yang kini lazim disebut eskatologi apokaliptik (“akhir zaman yang diberitahukan lewat tanda-tanda zaman edan”) dan mesianisme apokaliptik (“harapan akan datangnya tokoh terurapi pada akhir zaman tadi”). Alam pikiran ini terungkap dalam Perjanjian Lama dengan jelas dalam Kitab Daniel. Terdapat banyak tulisan lain yang bercorak sastra apokaliptik tetapi tidak termasuk Kitab Suci orang Yahudi. Ada yang berpikir zaman baru itu akan terjadi dalam kehidupan di dunia ini, ada pula yang mau menghayatinya sebagai kenyataan rohani.

Baik dalam pengertian politik maupun dalam pemahaman rohani, alam pikiran itu makin berkembang di tengah-tengah ketegangan yang makin memuncak. Akar-akarnya sudah ada sejak akhir abad 4 sebelum Masehi ketika para penerus Iskandar Agung, sang penakluk seluruh wilayah Timur Tengah itu, mulai meluaskan budaya Yunani di Siria-Palestina. Ada perlawanan keras dari beberapa golongan orang Yahudi. Tetapi haluan itu juga mengakibatkan munculnya tekanan pada mereka yang tidak berniat mengadakan perlawanan lewat kekerasan tapi mencari jalan lain. Orang-orang ini malah sering dimusuhi baik oleh sesama orang Yahudi yang mau melawan pengaruh Yunani maupun penguasa asing yang menyamaratakan semua orang Yahudi. Banyak di antara mereka mengungsi ke padang gurun dan tinggal di pelbagai “pertapaan”. Itulah asalmula pelbagai kelompok pertapa, seperti kaum Esseni, para rahib Qumran, dan tokoh-tokoh seperti Yohanes Pembaptis dan murid-murid mereka. Ketegangan tadi berlangsung terus pada zaman Romawi. Tidak semua orang Yahudi sepaham. Yesus dan murid-muridnya ada di dalam keadaan seperti itu tetapi mereka tetap berada di lapangan bersama orang-orang yang tetap mau bertahan, tidak mengungsi ke padang gurun.

IMAN YANG HIDUP, BUKAN TEOLOGI LAPUK
Penguasa Romawi menjalankan penumpasan keras terhadap tiap pergerakan yang mereka anggap mau melepaskan diri dari kuasa mereka. Tahun 63 seb. Masehi tentara Romawi dipimpin Pompei mengurung Yerusalem dan membawahkan negeri orang Yahudi pada pengaturan administrasi Romawi. Keadaan ini dirasakan orang sebagai tanda-tanda makin dekatnya akhir zaman.  Kemudian penghancuran kota itu bersama dengan Bait Allah pada tahun 70 oleh Titus membuat orang makin melihat bahwa akhir zaman itu sebuah kenyataan yang tak terelakkan. Murid-murid Yesus pun hidup dalam alam pikiran seperti itu. Tetapi bagi mereka, Yesus yang telah bangkit nanti akan kembali lagi dengan kemuliaannya mengawali zaman baru setelah zaman edan yang sedang mereka alami itu selesai.

Ada dua macam cara menghayati iman kepercayaan. Murid-murid Yesus tergolong mereka yang berusaha memahami bagaimana bisa hidup terus sebagai orang percaya dan menemukan maknanya dalam zaman yang berubah-ubah dan sering sukar. Iman mereka menjadi hidup. Tapi ada juga kelompok yang lebih suka memperlawankan iman kepercayaan secara frontal dengan pelbagai perubahan zaman. Meski kelihatan kukuh, pemahaman iman atau teologi seperti itu tidak banyak membantu. Tetapi itulah sikap umum Sanhedrin sebagai pemegang kendali hukum agama waktu itu. Mereka jelas tak mau menerima kehadiran orang Romawi. Tetapi karena menghitung kekuatan sendiri tidak cukup, mereka tidak mengadakan perlawanan. Bahkan mereka menekan siapa saja yang mereka anggap akan membuat orang Roma menyangka ada gerakan perlawanan Dalam pandangan mereka, Yesus dan para pengikutnya mau berontak dan waswas bila nanti pihak Roma akan pukul rata menumpas semua mereka dan kelembagaan agama mereka, yaitu Bait Allah dan kedudukan khas kota Yerusalem. Tetapi para pemimpin itu tetap tidak bisa meluputkan dua lembaga itu dari kehancuran. Bagi mereka yang memandang semua ini dengan alam pikiran mengenai datangnya akhir zaman tadi, kedua lembaga keagamaan tadi memang sudah lapuk dari dalam, tinggal tunggu runtuhnya. Penumpasan oleh pasukan Romawi itu memudahkan, bukan menjadi penyebabnya.

WARTA INJIL
Warta Injil bagi orang-orang yang hidup pada zaman itu sederhana tapi memberi ketenangan, yakni jangan mudah mempercayai orang yang mengaku diri Mesias (ayat 8), dan tabahlah dalam penderitaan (9-19). Penderitaan tidak membuat orang-orang putus harapan asal masih percaya akan datang seorang pembebas. Murid-murid dihimbau agar tidak mudah mempercayai orang-orang yang mengaku diri Mesias karena klaim seperti itu tidak berdasar, tidak meyakinkan. Kemesiasan bukan kedudukan melainkan apa yang nyata-nyata dijalankan. Batu ujinya ialah apakah membuat orang makin lega dan merdeka. Para murid diajak mengingat kembali semua ajaran Yesus dan menjadikannya bagian suara hati. Kemudian, mengapa mereka juga diminta agar tabah, agar bertahan? Bila orang tidak tabah dan mudah menyerah kepada keyakinan yang dipaksakan, maka keyakinan yang mereka ajarkan itu tak bisa dipersaksikan. Sulit mempercayai warta orang yang tak memiliki integritas. Tabah bukan berarti nekat atau biar asal menderita. Tabah berarti bijaksana, inilah maksud ayat 15 yang menyampaikan perkataan Yesus bahwa ia sendiri akan memberikan “kata-kata hikmat” kepada para pengikutnya.

MENUJU KE BAIT YANG BARU
Keagamaan yang berpusat pada Bait Allah itu macet dan tidak membuat orang merasakan kehadiran Yang Ilahi di situ. Bait seperti ini tidak akan bertahan. Memang petikan Injil hari ini ditulis Lukas setelah Bait Allah betul-betul sudah diruntuhkan pada tahun 70. Murid-murid ingat bahwa Yesus dulu pernah mengatakan bahwa akan terjadi. Bagi penguasa Roma, menghancurkan Bait Allah berarti menghilangkan lambang yang menyatukan perasaan religius orang Yahudi yang menjadi ancaman bagi kuasa Romawi. Namun, bagi orang-orang seperti Yesus dan murid-muridnya, kehancuran Bait Allah ini tak terelakkan karena lembaga ini telah terlalu jauh menyalahi perannya sendiri. Pernah ditunjukkan di dalam pembicaraan mengenai kesembuhan sepuluh orang kusta (Luk 17:11-19) bahwa mereka tak mungkin dinyatakan sembuh oleh imam di Bait Allah meski sudah sembuh sungguh. Juga dalam perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai (Luk 18:9-14) ditekankan bahwa orang yang dibenarkan ialah pemungut cukai yang “berdiri jauh-jauh” (ayat 13) dari Bait tempat berdoa orang yang merasa memiliki kebenaran, yakni orang Farisi yang akhirnya tidak dibenarkan itu. Dalam perumpamaan tentang orang yang hampir mati dirampok di perjalanan, diceritakan ada imam dan seorang Lewi lewat dan melihat orang tadi tanpa memberi pertolongan. Mereka itu termasuk lembaga Bait Allah! Dan masih ada beberapa contoh lain di mana Bait Allah tampil bukan sebagai tempat orang memperoleh kebaikan ilahi, tapi malah menghalang-halangi. Karena itu keberadaannya tak lagi berarti. Akan hancur. Namun, seperti disampaikan Injil Yohanes sehubungan dengan peristiwa pembersihan Bait Allah, (Yoh 2:19), Bait yang hancur itu akan dibangun Yesus kembali dalam tiga hari (Lihat juga tuduhan kepadanya di Sanhedrin Mat 26:61 Mrk 14:58.) Dan bangunan yang baru itu akan menjalankan peran dari Yang Terurapi yang sesungguhnya, yang tidak menyekap Yang Ilahi dan memagari ruang gerak-Nya, tapi bisa menghadirkan-Nya di tengah-tengah manusia.