Rekan-rekan yang baik!
Dalam suratnya kepada orang Korintus yang dibacakan pada hari Rabu Abu tahun ini (1Kor 5:20-6:2) Paulus mengimbau umat agar berdamai dengan Yang Ilahi dalam pengorbanan Kristus. Orang Korintus diajak Paulus agar tidak lagi menganggap kehadiran Tuhan sebagai ganjalan dalam hidup mereka. Itulah yang dimaksud dengan berdamai dengan-Nya. Apa yang mengakibatkan orang dikatakan belum berdamai dengan Allah atau bermusuhan dengan-Nya? Berdosa? Tentunya demikian, akan tetapi tidak sesederhana ini: manusia berdosa, maka tidak lagi beres, oleh karenanya retaklah hubungan dengan Yang Ilahi dan begitu seterusnya. Bukan sekadar dosa dan akibat. Lebih dalam. Lebih manusiawi. Lebih menunjukkan siapa Dia itu. Bagaimana penjelasannya?
GAGASAN PAULUS
Bagi Paulus, berdamai dengan Allah bukan semata-mata mencari pengampunan dari pelbagai perbuatan yang salah. Bila hanya itu, maka tidak akan tercapai perdamaian atau rekonsiliasi yang utuh. Lebih-lebih, kurban Yesus Kristus terjadi bukanlah bagi pengampunan seperti ini. Paulus melihat permasalahannya dalam ukuran yang jauh lebih besar. Ia bertolak pada pelbagai kenyataan yang ada dalam kehidupan manusia dan alam yang menunjukkan bahwa ciptaan ini bukanlah barang yang sempurna. Banyak kerapuhannya. Besar kekurangannya. Ada macam-macam ketimpangannya. Dan semua ini memang menjadi bagian dari kehidupan. Akan tetapi, bagi Paulus, keliru bila orang membiarkan keadaan ini berlangsung terus. Hanya mereka yang tidak mempercayai maksud baik Pencipta akan pasrah beranggapan demikian. Mereka itu sebetulnya tidak mau menerima bahwa Ia tetap bekerja memperbaiki dan menyempurnakan ciptaan-Nya. Allah belum beristirahat. Lebih tepat bila dikatakan, Ia belum dapat beristirahat karena karya-Nya belum selesai. Hari ketujuh belum sepenuhnya tercapai. Hari ketujuh pada Kitab Kejadian itu dipaparkan untuk menegaskan bahwa hari itu belum utuh. Sementara itu yang kini sedang terlaksana ialah masih berlangsungnya penciptaan dunia, isinya dan manusia yang menjadi gambar dan rupa Pencipta di jagat ini
Dunia beserta isinya masih terus berkembang. Berarti juga ada kemungkinan melawan maksud Pencipta. Ada kemungkinan menolak untuk menjadi semakin sempurna. Inilah keberdosaan. Inilah yang membuat ciptaan, khususnya manusia, belum berada keadaan berdamai dengan Penciptanya. Bahkan menjadi pesaing. Atau merasa diperlakukan tidak semestinya. Atau kurang membiarkan diri semakin dijadikan gambar dan rupa-Nya.
Manusia tetap bisa mati. Dan bila direnggut maut tidak akan kembali lagi dan habislah kehidupannya. Inilah kendala terbesar dalam kehidupan manusia. Juga dalam alam semesta. Alam ini pada kenyataannya mengarah ke kehancuran, ke kematian dan tak ada kelanjutannya. Karena itu, dalam pikiran Paulus, hanya keberanian Allah mengatasi kerapuhan ciptaan sendirilah yang akan membuat ciptaan dapat menjadi sesuai dengan kehendak-Nya. Peristiwa kematian dan kebangkitan Kristus itulah yang ada dalam pusat gagasan Paulus. Dengan kebangkitan, Allah Yang Maha Kuasa “mempercepat” perjalanan seorang manusia menuju kesempurnaan tadi. Ada satu dari yang tak sempurna yang kini telah utuh: Yesus Kristus. Keberanian Allah tadi bukan komitmen tanpa risiko. Ia memberanikan diri masuk dalam dunia untuk menjadikannya sempurna. Tetapi seketika masuk ke situ, ia ikut menjadi terbatas. Hanya kesediaan orang yang dipilih-Nya yang dapat membuat-Nya dapat bertindak leluasa. Dan memang terjadi demikian. Yesus menjadi Yang Diurapi – menjadi Mesias – ketika ia membiarkan diri disempurnakan oleh Allah sendiri, membiarkan diri direnggut dari maut. Dengan demikian ia menjadi bagian keilahian sendiri, dan tetap satu dari ciptaan yang tadinya rapuh. Oleh karena itu ia menjadi yang pertama dari ciptaan yang telah utuh dan menjadi jaminan akan utuhnya seluruh ciptaan. Inilah yang diungkapkan dengan padat dalam 2Kor 5:21 “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam dia kita dibenarkan oleh Allah.”
PENERAPANNYA BAGAIMANA?
Dengan uraian tadi kiranya tidak sulit dimengerti mengapa Paulus mengimbau orang Korintus agar membiarkan diri didamaikan oleh Allah. Paulus mengajak orang agar menjadi seperti Yesus, membiarkan diri menjadi tempat Allah menyempurnakan ciptaan-Nya. Tidak banyak yang dituntut. Cukup bila tidak menghalang-halangi-Nya. Tentunya tak banyak yang sengaja begitu. Bila diam saja dan membiarkan diri terbawa kerapuhan manusiawi maka sebenarnya orang menghalangi karya ilahi sendiri.
Tidak jarang didengar berita adanya bencana. Tsunami, gunung meletus, gempa bumi. Semuanya itu gerakan alam. Menjadi dan dialami sebagai bencana karena ada manusia yang terkena. Memang manusia belum seutuhnya selaras dengan gerakan alam. Ini bukan mistik alam, tetapi kenyataan. Bencana yang disebut paling belakangan itu menunjukkan hal ini. Ada pula tindakan manusia yang menggerakkan alam ke jalan yang tidak semestinya. Pencemaran lingkungan yang kini semakin mengkhawatirkan masa depan masyarakat manusia sendiri. Ada macam-macam tindakan manusia yang membuat perputaran alam tidak lagi mengikuti irama dan keadaan yang lumrah. Air hujan tak teresap oleh tanah tapi mengalir terus ke bawah. Sungai di hilir makin sempit karena banyak himpitan-himpitan bangunan. Para ahli lingkungan akan dapat menjelaskan keadaan ini dengan lebih runut. Tetapi apa hubungan ini semua dengan “berdamai” dengan Allah tadi?
Bencana ialah kenyataan yang menunjukkan kerapuhan ciptaan, khususnya manusia. Keadaan inilah yang menyebabkan manusia belum bisa dikatakan berdamai dengan Pencipta. Lalu apa imbauan membiarkan diri didamaikan akan membuat manusia sempurna? Akan tidak lagi kena bencana? Tentunya tidak ke arah itu pemikirannya. Yang justru dapat menjadi pemikiran ialah bagaimana “membiarkan diri didamaikan” itu bisa diterjemahkan dalam kenyataan hidup sehari-hari di dalam masyarakat. Salah satunya ialah mengusahakan agar lingkungan semakin serasi dengan pemukiman dan pemukiman semakin melestarikan lingkungan. Artinya, orang sebaiknya paham tanda-tanda gerakan alam. Perlu ada sistem peringatan dini akan gempa dan tsunami. Tata kota hendaknya diatur sehingga menjamin penyaluran air. Penggundulan hutan perlu dikendalikan. Dan seterusnya. Hal-hal itu tidak bergantung pada maksud baik saja melainkan juga pada perencanaan serta pelaksanaannya. Banyak akan ditentukan oleh strategi pemerintahan dan koordinasi badan-badan yang mengurus masing-masing wilayah. Ini semua sebenarnyalah yang dalam bahasa teologis terungkap sebagai “membiarkan diri didamaikan dengan Allah.”
MASA PUASA
Rabu Abu mengawali masa puasa, masa untuk menemukan kembali arus-arus yang membawa kita mendekat pada Allah dan meninggalkan tarikan-tarikan menjauhi-Nya. Rabu Abu juga dijalani dengan menerima tanda abu di dahi atau kepala. Kita diingatkan bahwa kita akan menjadi hancuran seperti abu. Tapi kita tidak akan tetap di situ bila kita mau membiarkan diri disempurnakan Allah sendiri…dengan percaya kepada Kabar Gembira. Khususnya bahwa Allah berani memperbaiki ciptaan-Nya dengan upaya khusus. Tinggal menerima. Tinggal ikut serta. Tinggal membiarkan-Nya semakin leluasa berkarya. Tinggal mengajak orang lain rela demikian.
Satu wilayah yang dapat dikerjakan dalam ukuran kecil tapi akan luas dampaknya. Yakni kesadaran lingkungan. Pendidikan lingkungan. Lingkungan alami maupun sosial. Juga di situ akan dapat terjadi apa itu “membiarkan diri didamaikan dengan Allah.”
Inspirasimu: Bacaan, Mazmur Tanggapan dan Renungan Harian Katolik: Rabu, 02 Maret 2022
Pastor Yesuit, anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia; profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificum Institutum Biblicum, Roma.