ORANG KAYA DAN LAZARUS
Rekan-rekan yang budiman!
Ada baiknya perumpamaan orang kaya dan Lazarus (Luk 16:19-31) dipahami dalam konteks kehidupan Gereja Awal. Kini cukup diketahui bahwa generasi kedua para pengikut Yesus kebanyakan berasal dari kalangan menengah seperti para pengusaha, pedagang, sarjana, tabib, guru, seniman yang bekerja pada keluarga-keluarga bangsawan atau penguasa militer di kota-kota di wilayah kekuasaan Romawi. Perkembangan umat memang pertama-tama meluas ke lapis atas dalam masyarakat. Dari sana baru kemudian ke lapis-lapis lain di masyarakat luas.
Di kalangan itu tumbuh kesadaran bahwa warta mengenai Kerajaan Allah tidak hanya menjawab keinginan untuk selamat kelak di akhirat, tetapi juga menjadi dorongan untuk memperhatikan orang-orang yang tidak seberuntung mereka, yakni kaum miskin yang hidup di luar kalangan mereka. Karena itu komunitas kristiani awal juga meluas ke lapis bawah. Keadaan ini tercermin dalam gambar ideal mengenai jemaat pertama dalam Kis 2:44-45 dan 4:34-35. Disebutkan bahwa ada yang menjual kepunyaan mereka lalu mengumpulkan uangnya dan menyerahkan kepada para rasul untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin menurut kebutuhan mereka. Bukan agar sama rata sama miskin, melainkan untuk memungkinkan yang kurang berkesempatan untuk ikut menikmati keberuntungan. Bagi mereka ini cara untuk memelihara integritas – kesungguh-sungguhan dan kejujuran – dalam hidup umat. Ada gambaran yang tajam mengenai mereka yang menyalahgunakan kegiatan ini. Diceritakan dalam Kis 5:1-11 bahwa Ananias dan istrinya, Safira, terkutuk mati karena menahan sebagian hasil penjualan tanah mereka dan tidak membagikan kepada orang miskin. Perumpamaan mengenai orang kaya dan Lazarus dalam Luk 16:19-31 ditampilkan dengan latar kesadaran seperti ini.
Hubungan antar anggota semakin didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang tidak lagi mengikuti batas-batas kelompok sosial, bahkan mengatasi perasaan permusuhan turun-temurun. Perumpamaan orang Samaria yang baik hati mencerminkan kesadaran ini. Juga persyaratan radikal menjadi murid Yesus – meninggalkan orang tua, sanak saudara, milik dan warisan (bdk. Luk 14:25-33). Juga baru bisa dipahami bila gagasan itu dipandang dalam hubungan dengan kesadaran baru yang lebih kuat daripada ikatan-ikatan keluarga. Mereka juga mengikuti sikap Yesus dalam menaruh kemanusiaan di atas aturan-aturan kehidupan beragama seperti penyucian hari Sabat (bdk. 14:1-6), kecenderungan menjauhi pemungut cukai dan para pendosa (bdk. Luk 15:1-3). Bagi umat Gereja Awal, kehidupan ini rasanya belum utuh bila ada satu saja nilai kemanusiaan yang tidak diterima (bdk. tiga perumpamaan mengenai sesuatu yang hilang yang ditemukan kembali Luk 15:4-32).
ENGGAN BERBAGI KEUNTUNGAN?
Dalam perumpamaan ini orang kaya ditampilkan sebagai orang yang hidup tak kurang suatu apa. Di mata orang banyak ia dilimpahi berkat Allah. Lazarus kebalikannya. Ia duduk meminta-minta di gerbang rumah orang kaya itu. Lazarus seolah-olah sudah kehilangan martabat sebagai manusia. Ia akan merasa beruntung bila mendapat sisa-sisa makanan. Ia tidak termasuk kelompok orang yang beruntung menikmati kebahagiaan seperti orang kaya dan rekan-rekannya
Seperti disebut di muka, dalam Gereja Awal makin tumbuh kesadaran bahwa mereka yang mengalami keberuntungan wajib memperhatikan mereka yang berkekurangan. Akan celaka bila tidak mengindahkan kewajiban ini. Diceritakan, baik Lazarus maupun orang kaya itu meninggal dan keadaan mereka selanjutnya berbeda. Lazarus terbebas dari penderitaan dan memperoleh kebahagiaan bersama dengan nenek moyangnya. Orang kaya itu sebaliknya tersiksa di dunia orang mati. Dari sana ia berseru meminta Abraham agar menyuruh Lazarus memberinya setetes air saja yang dari ujung jarinya untuk mengurangi dahaganya.
Semasa hidupnya si kaya itu tidak punya perhatian samasekali kepada Lazarus. Kini ia meminta Abraham agar menyuruh Lazarus menolong dia. Baginya Lazarus hanya pantas jadi pesuruh. Ia bahkan tidak mau kenal padanya walau tahu siapa namanya. Meski nasibnya terbalik, si orang kaya itu tetap mau meninggikan diri. Tapi kenyataan di akhirat itu lain. Kini ia harus mendongak melihat Lazarus yang berada di atas, bersama Abraham – nama yang artinya “Bapa (= “ab”) Yang Luhur (“ram”, juga dieja sebagai “raham”, jangan dikacaukan dengan akar kata “rakham”, berbelaskasih).
SIAPA ORANG KAYA ITU?
Ketika masih hidup dan berkedudukan tinggi, orang kaya itu tak butuh apa-apa. Ia tak peduli ada orang yang kelaparan dan sakit di dekat pintu gerbang rumahnya. Sebetulnya ia bisa berbuat baik kepada Lazarus. Sedikit kebaikan saja takkan mengurangi miliknya. Malah ia akan beruntung karena kebaikannya nanti akan diingat di akhirat. Boleh jadi ia juga tak percaya ada kelanjutan hidup di akhirat. Ia baru merasakan kebenaran setelah betul-betul mati Meskipun demikian, seperti dikatakan dalam ayat 27 ia masih berani sekali lagi meminta kepada Abraham agar mengirim Lazarus memperingatkan kelima saudaranya supaya mereka tidak bernasib sama dengannya. Apakah permintaan ini menunjukkan ia masih memiliki rasa kemanusiaan, paling tidak bagi saudara-saudaranya? Tidak! Bukan kemanusiaan yang tulus. Ia hanya mau memperbudak Lazarus lewat Abraham. Juga kelima saudaranya hanya dipakai sebagai alasan agar Lazarus masih menjalankan apa yang diinginkannya. Di akhirat pun ia tidak memiliki kepekaan terhadap Lazarus, juga terhadap dirinya sendiri.
Kata Abraham, kelima saudara itu mestinya dapat menemukan bimbingan dari Musa dan para nabi, maksudnya dari wahyu ilahi dalam Kitab Suci. Tetapi orang kaya tadi ngotot. Saudara-saudaranya, katanya, takkan diyakinkan dengan cara ini. Mereka baru akan percaya bila didatangi dan diperingatkan orang yang kembali dari dunia orang mati. Jelas ia mau memaksakan agendanya sendiri kepada Abraham dan kepada Lazarus. Ia tidak percaya pada Kitab Suci dan wahyu ilahi. Lebih buruk lagi, ia beranggapan saudara-saudaranya juga tak percaya seperti dia. Ia tidak memberi peluang bagi perubahan yang bisa terjadi pada orang-orang seperti dia. Sampai mati pun si orang kaya itu tidak peka akan keadaannya sendiri.
MOTIF “LAZARUS” DALAM INJIL YOHANES
Dalam Injil Lukas, Lazarus hanya sekadar tokoh dalam perumpamaan. Tetapi dalam Injil Yohanes, Lazarus ialah tokoh dalam kehidupan. Tak ada hubungan antara kedua tokoh tadi. Namun masing-masing berpautan dengan motif kembalinya orang yang bernama “Lazarus” ke dunia orang hidup untuk membuat orang-orang menjadi percaya. Seperti diberitakan dalam Yoh 12:46 dst. beberapa orang yang melihat kejadian pembangkitan Lazarus datang melapor ke pada orang Farisi dan imam-imam kepala. Mereka kemudian membicarakannya dalam sidang Mahkamah Agama. Mereka bersepakat untuk tidak membiarkan orang banyak makin percaya kepada Yesus (Yoh 12:48). Dalam perhitungan mereka, penguasa Romawi akan menafsirkan bertambahnya pengikut Yesus ini sebagai awal pemberontakan orang Yahudi dan khawatir nanti tentara Romawi akan menumpas dan merampas tempat suci mereka. Meskipun pembangkitan Lazarus menjadi tanda besar kehadiran ilahi, orang-orang Farisi dan imam-imam kepala akhirnya tak mau mempercayainya karena mereka tak dapat membacanya sebagai tanda yang dipakai Yang Mahakuasa berkomunikasi dengan manusia. Ironis, mereka yang sebetulnya dekat dengan Kitab Suci itu ternyata tidak memiliki kepekaan. Kembalinya Lazarus ke dunia orang hidup tidak membuat mereka sadar. Demikian pula kata-kata Abraham kepada orang kaya dalam Luk 16:31, jika orang tidak dapat diyakinkan oleh Musa dan para nabi, maksudnya oleh wahyu ilahi dalam Kitab Suci, mustahil ia bisa diyakinkan oleh orang mati yang hidup kembali.
PEKA ISYARAT TUHAN, PEKA KEMANUSIAAN
Perumpamaan ini diceritakan kepada para murid agar disampaikan kepada orang banyak. Apa yang tak beres dalam kehidupan orang kaya tadi? Ia tidak mampu lagi berkomunikasi dengan orang yang membutuhkan pertolongan. Kenapa? Ia tidak membiarkan dirinya sendiri atau orang lain seperti dia belajar mendengarkan Tuhan. Ketumpulan batin orang kaya tadi telah mengikis nurani kemanusiaannya sendiri. Ia tidak bisa merasakan belas kasihan terhadap Lazarus yang tiap hari dilihatnya duduk di dekat pintu gerbang rumahnya. Ketumpulan batin itu akhirnya mengurungnya di neraka.
Bagaimana mewartakan perumpamaan ini? Bukan dengan tujuan agar orang kaya cepat-cepat sadar dan mulai berbagi harta dengan kaum miskin, bukan pula sebagai hiburan bagi para Lazarus yang hidup di kolong jalan layang di Jakarta atau orang yang keleleran di emperan ruko di malam hari. Perumpamaan ini disampaikan dengan maksud agar para murid tidak meninggalkan baik si kaya maupun Lazarus. Tugas para murid ialah mengurangi jarak antara Lazarus dan kebaikan nyata Tuhan di dunia dan jarak antara si kaya dengan kebahagiaan yang tak diperolehnya di akhirat.
Bila terjadi, maka si kaya akan menemukan jalan bagaimana berbagi keberuntungan dengan mereka yang berkekurangan dengan cara yang paling cocok. Dan bagi orang-orang seperti Lazarus, perasaan Tuhan berada jauh tidak akan membuatnya putus asa. Namun lebih-lebih bagi kita, perumpamaan itu mengungkapkan sosok Tuhan yang tidak meninggalkan orang yang sudah tanpa harapan lagi baik di dunia maupun di akhirat. Dan kita dihimbau untuk berani memperkenalkan wajah Tuhan yang seperti itu.
Pastor Yesuit, anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia; profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificum Institutum Biblicum, Roma.