Rekan-rekan!
Injil Minggu Biasa XIX A ini (Mat 14:22-33) mengisahkan bagaimana para murid tidak segera mengenali Yesus yang mendatangi mereka dengan berjalan di atas air. Matius mengolah kembali kisah Yesus berjalan di atas air dalam Mrk 6:45-50 (bdk. Yoh 6:16-20) dan menambahkan cerita mengenai Petrus (ayat 28-31) yang didapatnya dari sumber-sumber mengenai tokoh itu. Khas Matius, pada akhir kisah (ayat 33), disebutkannya bahwa para murid mengakui Yesus sebagai Anak Allah. Markus menyampaikan pandangan yang berbeda; dalam Mrk 6:51a-52 dikatakan.orang-orang itu hanya tercengang tanpa mengenal siapa Yesus sesungguhnya “karena hati mereka tetap tidak peka.”
YESUS MENDESAK PARA MURID
Setelah memberi makan 5000 orang, Yesus segera mendesak para murid agar menyeberangi danau. Ia sendiri naik ke sebuah bukit untuk berdoa. Kata “mendesak” memang keras, begitu juga dalam teks aslinya. Ada yang perlu dilakukan agar tidak terjadi hal yang tak diinginkan. Apa itu? Menurut Injil Yohanes, orang banyak yang mengalami peristiwa roti itu kini mau mengangkatnya sebagai raja. Oleh karenanya Yesus menyingkir ke gunung seorang diri (Yoh 6:15). Dia menghindari mereka yang mau memaksakan ukuran-ukuran serta cita-cita mereka sendiri kepadanya. Kebesarannya yang sejati terletak dalam pengorbanan menebus kemanusiaan dengan penderitaan hingga mati di salib, dan khas menurut Yohanes, hingga “terlaksana” demikian (Yoh 19:30). Yesus menyingkir menyendiri, dan seperti dicatat Matius dan Markus, untuk berdoa. Ia mencari pengarahan dari Dia yang mengutusnya. Bagaimana dengan para murid? Boleh jadi mereka juga sudah mulai berpikir seperti orang banyak. Mereka juga tak dapat menerima mengapa Yesus yang sedemikian terhormat itu bakal ditolak dan dibunuh oleh orang-orang di Yerusalem. Para murid belum paham akan kemesiasan rohani Yesus. Mereka malah mengira ini saat tepat bagi Yesus untuk menjadi pemimpin masyarakat yang dinanti-nantikan! Bila kita perhitungkan keadaan itu, maka tak sulit mengerti mengapa Yesus mendesak mereka agar pergi ke seberang danau. Ia bermaksud menjauhkan mereka dari orang-orang yang memiliki anggapan yang kurang cocok mengenai dirinya. Mereka disendirikan agar nanti dapat melihat dirinya yang sebenarnya. Dan ia sendiri menyingkir ke keheningan doa.
PERAHU TEROMBANG-AMBING
Para murid berusaha mencapai seberang danau. Berjam-jam mereka berputar-putar karena menghadapi angin sakal dan gelombang. Apa yang dirasakan para murid? Mereka kan orang-orang yang cukup berpengalaman mengenai gelombang, mengenai arah angin, dst. Mereka tahu waktu-waktu itu kurang baik untuk berperahu ke seberang. Tak jelas bagi mereka mengapa Yesus menyingkiri massa yang baru saja dipuaskannya dengan makanan. Malah murid-murid juga disuruh menjauh dari orang-orang yang pasti bakal menjadi pengikutnya. Dan mengapa mereka mesti menuju ke arah yang sulit dicapai dalam keadaan ini. Bagaimanapun juga mereka menurut dan berkayuh semalam penuh sampai dini hari. Dan ketika berada di tengah danau, gelombang dan angin semakin mengombang-ambingkan perahu mereka.
Para murid merasa terancam. Runyamnya, kini guru mereka tidak ada bersama mereka. Tidak seperti ketika Yesus tidur di perahu (Mat 8:23-27 Mrk 4:45-41 Luk 8:22-25). Mereka dapat membangunkannya dan ia meredakan angin ribut. Kali ini mereka tidak disertai dia yang berkuasa atas angin dan danau! Mereka mulai dikuasai waswas. Peristiwa ini kerap diterapkan pada kehidupan umat yang terombang-ambing di tengah arus-arus yang membuat bahtera yang sedang membawa mereka – gereja – berputar-putar tanpa arah. Kekacauan menjadi-jadi dan terasa lebih kuat daripada tuntunan ilahi sendiri.
Ketika Yesus mendekat, para murid tidak segera mengenalinya. Malah ia dikira jejadian. Cara Matius berkisah menarik. Dipakainya kutipan langsung, “Itu hantu!” (Mat 14:26). Bandingkan dengan sumbernya dalam Mrk 6:49 yang memakai cara bercerita biasa. Yoh 6:19 malah hanya menyebut mereka ketakutan begitu saja. Peristiwa ini disampaikan Matius dengan cara dramatik diselingi rasa humor tapi juga simpati. Pembaca dapat merasa diikutsertakan sambil tetap memandangi kejadian-kejadian dengan tenang. Kita boleh tersenyum dan berkomentar dalam hati, kok bodo amat ya para murid itu! Teriak-teriak kayak anak kecil merasa melihat hantu! Namun seperti halnya humor yang berhasil dapat menjadi cermin bagi pembaca, juga kisah ini dapat menghadapkan kita pada pengalaman yang mirip-mirip yang sering tidak segera kita sadari.
YESUS BERJALAN DI ATAS AIR
Apa arti “berjalan di atas air”? Dipakai kata yang harfiahnya berarti “berjalan mondar mandir”, seperti sedang berjalan-jalan santai di taman. Juga ada makna serta “berinteraksi” dengan keadaan dengan tenang dan enak. Dahulu para guru Yahudi sering diceritakan mengajarkan prinsip-prinsip etika kepada para murid mereka sambil “berjalan-jalan”, sering tidak dalam arti mondar mandir melangkahkan kaki, melainkan menelusuri pelbagai gagasan, teori, serta pemikiran leluhur dan para cerdik pandai. Begitulah asal usul pengajaran yang biasa dikenal sebagai “halakha”, yakni penjelasan yang dituruntemurunkan mengenai hukum dan agama. Diajarkan bagaimana menelusuri perkara-perkara kehidupan dengan santai tapi waspada, tidak tegang dan terpancang pada satu hal saja. Seorang ahli dapat dengan enak meniti arus-arus pemikiran tanpa terhanyut.
Murid-murid melihat ada sosok yang menguasai gerakan-gerakan gelombang. Yesus tidak menggilasnya. Juga pada kesempatan lain ketika menghardik angin dan danau (Mat 8:26 Mrk 4:39 Luk 8:24), ia cukup menyuruh mereka diam. Itulah tempat mereka yang sebenarnya di hadapan keilahian. Sekarang ia malah tidak memakai kata-kata. Ia leluasa berjalan di atas kekuatan-kekuatan itu. Kenyataan-kenyataan yang bisa mengacaukan tidak menggentarkannya. Malah mereka dijinakkan. Ini semua dilihat para murid. Namun mereka tidak sertamerta mengenali siapa dia itu yang bertindak demikian. Sosok ini datang dari Yang Ilahi atau dari yang jahat? Begitulah cara mereka membeda-bedakan. Tak banyak menolong. Yesus menenangkan dan menyuruh mereka melihat baik-baik bahwa dialah yang ada di situ. Tak perlu lagi risau akan kekuatan-kekuatan yang menakutkan yang sebenarnya semu dan justru akan benar-benar membahayakan bila dianggap sungguh. Yesus hendak mengajarkan kebijaksanaan yang dihayatinya sendiri. Di padang gurun ia berhasil melewati godaan Iblis dengan budi yang terang, bukan dengan balik menghantam. Pembaca yang jeli akan menghubungkan ketenangannya itu dengan tindakannya sebelum datang kepada murid-muridnya: ia pergi menyendiri dan berdoa, meluruskan serta membangun hubungan dengan keilahian dalam ketenangan. Itulah sumber kebijaksanaannya.
Ayub 9:8 menyebut Allah yang Mahakuasa “membentangkan langit”, dan “berjalan melangkah di atas gelombang-gelombang laut”, artinya menguasai kekuatan-kekuatan yang tak terperikan dahsyatnya. Tidak dengan meniadakannya, melainkan dengan mengendalikannya. Ia mengatur alam yang dahsyat itu dengan kebijaksanaaNya. Yesus menyelaraskan diri dengan Yang Mahakuasa yang demikian itu. Ia tetap mengarahkan diri kepadaNya. Dan menurut Matius, nanti pada akhir kisah ini, para murid mengakuinya, “Sesungguhnya Engkau itu Anak Allah.” Mereka mulai paham bahwa Yesus membawa keilahian dalam dirinya.
PERAN PETRUS
Mengapa Petrus mulai tenggelam? Seperti diceritakan, ketika merasakan tiupan angin, Petrus mulai tenggelam. Matius tidak mengatakan semuanya. Tapi tadi ia kan sudah menjelaskan bahwa Yesus berdoa sebelum mendatangi murid-muridnya dengan berjalan di atas air. Bagaimana dengan Petrus? Tokoh ini bertindak dengan spontanitas dan maksud baik belaka. Lihat apa yang terjadi! Tapi akhirnya ia berteriak minta tolong, “Tuhan, tolonglah aku!” Seruan ini diarahkan kepada Tuhan. Ini doa. Dan doanya didengarkan. Tapi siapa yang memegang tangan Petrus dan menahannya agar tidak tenggelam? Yesus. Di sini ada pengajaran yang amat dalam. Yesus yang dikenal sehari-hari dan diikuti itu menjadi jalan Yang Mahakuasa menolong dalam saat-saat kritis. Kejadian ini membuat orang-orang yang ada di perahu mulai menyadari apa yang sedang terjadi. Dalam ayat 33, ketika Yesus dan Petrus sudah naik ke perahu, orang-orang itu menyembah Dia – tentunya menyembah Yang Mahakuasa sendiri – dan mengenali kehadiranNya di dalam diri Yesus yang kini mereka akui sebagai Anak Allah. Markus berbeda. Ia mengatakan para murid hanya tercengang, tanpa memahami, karena hati mereka tidak peka (Mrk 6:51a-52). Tapi Markus tidak menyertakan episode Petrus seperti Matius. Kelihatan betapa besarnya peran Petrus yang dengan tindakan yang tampaknya konyol tadi malah membuat rekan-rekannya menyadari siapa sebenarnya guru yang mereka ikuti itu.
Yesus menyapa Petrus (ayat 31), “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang!” (ayat 31). Memang dalam kisah tadi kata-kata itu ditujukan kepada Petrus, tetapi isinya dimaksud bagi siapa saya. Juga bagi kita. Satu hal lagi. Walaupun harfiahnya berisi celaan, nada kata-kata itu penuh perhatian sebagaimana layaknya seorang guru kepada muridnya. Ada bombongan: jangan bimbang, jadilah besar dalam iman!
Baca juga: Bacaan, Mazmur Tanggapan dan Renungan Harian Katolik: Sabtu, 08 Agustus 2020
Pastor Yesuit, anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia; profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificum Institutum Biblicum, Roma.