“BERBAHAGIALAH MEREKA YANG TIDAK MELIHAT NAMUN PERCAYA”
Rekan-rekan yang baik,
Beberapa pokok dalam Yoh 20:19-31 yang dibacakan pada hari Minggu Paskah II kali ini saya bicarakan dengan Pak Hannes sendiri. Ia tidak berkeberatan penjelasannya diteruskan kepada kalian. Malah ia sudah mendengar reaksi pembaca catatan pendek saya mengenai kebangkitan dari hari Minggu Paskah lalu. Dan ia ikut menambahkan pendapatnya di akhir suratnya ini. Selamat membaca! A. Gianto
=======================================
Gus yang baik!
Bagian Injil yang kautanyakan itu (Yoh 20:19-31) kumaksud sebagai penjelasan bagi murid-muridku yang kerap bertanya bagaimana dulu kami bisa mulai percaya bahwa Yesus yang baru saja dimakamkan tapi tidak ada di situ lagi dan toh tetap terasa dekat bagi kami. Agak ada kesamaannya dengan ingatan akan orang-orang dekat yang sudah tak ada lagi tapi yang tetap menjadi bagian hidup kita. Tapi juga amat berbeda. Ia tidak ada lagi di antara orang mati. Makamnya kosong. Kita merasa betul-betul gembira, bukan hanya kangen seperti bila kita teringat orang lain. Bahkan menimang-nimang ingatan akan dia tidak penting lagi. Kami lebih merasa menjadi bagian dia daripada dia menjadi bagian kita. Aku ingin agar murid-muridku memahami pengalaman kami itu.
Yesus menampakkan diri kepada kami sewaktu kami sedang mengunci diri karena takut kepada para penguasa Yahudi yang memang bersikap memusuhi para pengikut Yesus. Penampakan itu tidak dialami banyak orang lain. Murid-muridku tidak ada yang melihat penampakan Yesus. Paulus pun tidak seperti kami yang melihat tangan Yesus yang ada bekas luka paku, pinggangnya yang ada bekas tusukan tombak. Kalau mau tahu seluk beluk yang dialami Paulus, simak pengakuannya (1 Kor 15:8) atau baca cerita Lukas (Kis 9:39).
Murid-muridku ingin melihat Yesus yang bangkit seperti kami dulu, ingin ikut mengalami yang kami alami. Dan kurasa keinginan itu tak bisa dianggap remeh. Tetapi Yesus juga tidak bisa kita minta menampakkan diri, bahkan harapan semacam itu tak baik. Lama kupikirkan cara menerangkan bagaimana bisa percaya tanpa melihat.
Ingat kan, Tomas yang kurang percaya laporan kami itu akhirnya percaya juga setelah melihat sendiri. Yesus menampakkan diri kepadanya dan meminta dia meraba supaya percaya. Tomas tidak sungguh meraba bekas luka-lukanya. Sudah cukup baginya melihat, lalu percaya dan berseru, “Tuhanku dan Allahku!” Melihat Yesus itu membuat orang melihat Allah Yang Maha Tinggi yang mengutus Yesus ke dunia ini. Itulah sebabnya Tomas menyerukan dua sebutan itu. Aku ingat, Yesus sendiri pernah berkata, siapa mengenalnya akan mengenali Bapanya pula (Yoh 8:19; 14:7.9-11). Dan Bapanya itu Allah Yang Mahakuasa. Camkan perkataan Yesus kepada Tomas pada akhir peristiwa itu (Yoh 20:29), “Karena engkau melihat aku maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya.” Kata-kata itu ditujukan kepada Tomas, tapi kami semua yang di ada di situ mendengarnya. Hal ini berulang kali kuteruskan kepada murid-muridku yang percaya kepada Yesus meski tidak pernah melihat dengan mata kepala sendiri seperti kami dan Tomas dulu atau seperti Maria Magdalena sebelumnya.
Aku sendiri sebetulnya mulai percaya sebelum melihat sendiri. Sudah kuceritakan, setelah mendengar berita dari Maria Magdalena, Petrus dan aku berlari ke makam. Kudapati juga kafan yang ditemukan Petrus di tanah dan penutup muka yang terlipat rapi (Yoh 20:8). Saat itulah aku percaya ia sudah bangkit meski belum melihatnya sendiri. Kemudian ketika mendengar kata-kata kepada Tomas tadi aku merasa sungguh berbahagia.
Tetapi memang “melihat” itu penting. Aku mulai mengerti pentingnya hubungan antara melihat dan percaya dari pengalaman orang buta sejak lahir yang disembuhkan Yesus (Yoh 9) dengan cara yang khas. Ketika orang-orang pada menanyainya siapa yang membuatnya melek, jawabnya (ayat 11), “Orang yang bernama Yesus itu” mengobati matanya dengan lumpur dan menyuruhnya berendam di Siloam. Beberapa waktu kemudian ketika beberapa orang Farisi ikut menanyainya, jawabnya makin tegas (ayat 18), “Ia itu nabi!” Tetapi orang-orang Farisi itu malah berusaha mengintimidasi orang tadi. Ia kemudian bertemu Yesus lagi dan Yesus bertanya apa ia percaya kepadanya (Yesus menyebut diri “anak manusia”). Dan orang itu balik bertanya, mana orangnya supaya ia bisa menyatakan diri percaya. Yesus menyahut, bukan saja engkau melihat tapi sedang berbicara dengannya. Dan saat itu orang tadi sujud dan berseru (ayat 38), “Aku percaya, Tuhan!”
Jelas bagiku. Pertama-tama si buta itu mengenali Yesus sebagai orang yang menyembuhkannya, kemudian menegaskannya sebagai nabi, dan akhirnya bersujud dan percaya kepadanya. Dan proses ini berlanjut juga ketika Yesus bangkit. Maria Magdalena, para murid, dan Tomas contohnya. Melihat bisa berkembang menjadi persepsi batin dan membuat orang mengenali kebenaran yang dilihat. Tapi bila melihat tidak berkembang, bisa jadi orang malah tidak dapat mempercayai apapun. Orang Farisi dalam kisah penyembuhan orang buta itu melihat tapi tak percaya. Kenapa? Karena mereka tidak terbuka untuk mengakuinya, apalagi mempercayainya. Karena itu kita mesti berterimakasih kepada Yesus yang mengatakan berbahagialah orang yang tidak melihat tetapi percaya. Tak perlu orang menjalani langkah-langkah yang kalau keliru malah membuat orang makin jauh. Kalian itu sebetulnya lebih beruntung dari pada kebanyakan dari kami. Tak perlu dicobai dengan penglihatan. Kalian menemukan Yesus yang bangkit dengan kesadaran batin dan mengalami kehadirannya di tengah-tengah kalian.
Sore hari Paskah itu, ketika menampakkan diri, Yesus menafaskan Roh (Yoh 20:22). Seperti dalam penciptaan manusia dulu (Kej 2:7), itulah saatnya kami menerima nafas hidup baru. Roh Kudus datang kepada kita untuk membuat kita hidup dalam Yesus yang bangkit. Memang sebelumnya dalam perjamuan terakhir ia telah menyatakan diri mau berbagi “sangkan paran” (atau “asal usul”) dengan kami – itu istilahmu yang kusukai. Tidak heran bila ini semua juga bisa sungguh terjadi pada kalian. Tapi untuk itu kalian perlu belajar memakai penglihatan batin untuk melihat Tuhan dan Allah – mengenal Yesus yang mulai kalian dengar dari kami dan bila sampai ke situ, kalian akan sadar juga bahwa Allah itu boleh dipanggil Bapa, seperti diajarkan Yesus. Dulu Yesus tak jemu-jemunya mengatakan ini kepada kami. Kami kira dia melantur. Tetapi kini aku paham.
Kau juga bertanya soal kebangkitan buat zaman sekarang. Bisa kukatakan: percaya bahwa Yesus itu bangkit dan hidup itu sama bagi kami dulu dan bagi kalian sekarang. Mengenali dia juga akhirnya sama bagiku dan bagimu. Kami dulu diutus olehnya, setelah mendapat kekuatan Rohnya, untuk mengujudkan kepercayaannya kepada Bapanya. Hal ini diungkapkan dengan bahasa yang lebih kami pahami dalam situasi kami dulu, yaitu tentang mengampuni dosa atau menyatakan dosa tetap ada (Yoh 20:23). Dosa yang dimaksud ialah penolakan terhadap dia yang hadir di tengah-tengah manusia itu. Kami dulu ditugasi untuk hidup sesuai dengan semangat kebangkitan, menegakkan nilai-nilai yang sejalan dengan kemerdekaan hidup sebagai anak-anak Allah. Kalian menerima pengutusan yang sama. Kita tak bisa diam saja bila martabat anak-anak Allah memudar. Aku dengar di negeri kalian kemelaratan dan kebodohan menjadi penyakit menahun. Ada banyak yang kurang mempunyai sarana dan bekal memadai untuk jadi manusia yang pantas. Atau kalau mau pakai bahasa Injili, belum semua mendapat kesempatan lepas dari kuasa dosa agar menjadi anak-anak Allah. Kami diutus untuk membawakan kesempatan yang sama bagi semua orang. Kalian juga.
Seorang kenalan mengirim tembusan catatanmu yang menggarisbawahi beda antara kebangkitan hari Paskah dengan penghidupan kembali orang mati. Memang kebangkitan itu berbeda dengan kembali ke kehidupan seperti Lazarus dulu (Yoh 11), atau anak janda di Nain (Luk 7:11-17) dan anak perempuan Yairus (Mrk 5:35-43; Luk 8: 49-56, juga Mat 9:23-26) yang dihidupkan kembali. Kebangkitan itu berjalan memasuki hidup baru degan Yang Maha Kuasa sendiri, bukan berbalik ke dunia dan bakal meninggal lagi. Badan juga bangkit dan tidak lagi mengalami keterbatasan-keterbatasan jasad seperti orang yang lahir ke dunia. Rekan tadi juga menambahkan pendapatnya: “Jadi ini bisa menjelaskan mengapa Maria Magdalena tak mengenali Yesus yang sudah bangkit.
Ketika berada di tempat pemakaman, Maria Magdalena tak serta merta mengenali-Nya. Sesudah dia berkata-kata, barulah Maria berseru: Rabbuni (=”Guru!”). Begitu pun yang terjadi pada dua Rasul yang berjalan ke Emaus. Kedua murid itu tak mengetahui bahwa yang berjalan di sebelah mereka adalah Sang Guru. Mereka baru tahu ketika ia memecahkan roti.” Tanggapan itu berasal dari kawan yang tidak banyak kenal ilmu teologi dan tafisr, tapi bisa berteologi dan mampu menangkap warta Injil. Dan memang itulah penjelasannya mengapa Yesus yang bangkit itu tak segera dikenali. Kita butuh waktu dan keberanian untuk menyadari apa yang terjadi. Kongkritnya: membiarkan kisah-kisah tentang Yesus berkembang maknanya, jangan dilihat sebagai cerita melulu; beranilah mendalami gagasan tentang Kristus yang bangkit, jangan puas dengan yang lumrah dan rutin. Memang kematangan ini baru bisa mulai bila menyertakan yang diimani. Tak bisa dicapai secara sepihak, sesaleh apapun, semulia apapun. Macam-macam jalannya. Ada yang merasa disapa batinnya ketika sedang gundah seperti Maria Magdalena, ada yang diimbau agar menemukan kehadirannya dalam “pemecahan roti”, seperti dua murid Emaus – ini ungkapan paling pokok dari kepercayaan para murid: berbagi kehidupan dengan dia yang sudah bangkit. Dan masih banyak cara lain yang akan kalian temukan bersama Yesus yang telah bangkit itu sendiri.
Pastor Yesuit, anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia; profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificum Institutum Biblicum, Roma.