MENYAMBUT YESUS
Dalam upacara perarakan Minggu Palma tahun ini dibacakan kisah Yesus memasuki Yerusalem menurut Luk 19:28-40. Perjalanan ini bakal berakhir dengan penolakan para pemimpin dan penyaliban tapi juga dengan kebangkitan. Tiga kali hal ini pernah diberitakannya kepada para murid, tetapi mereka menganggap ini semua tak masuk akal. Namun demikian, Yesus tetap mengarahkan pandangannya ke sana, ke Yerusalem, seperti dikatakan dalam Luk 9:51 “Ketika hampir tiba waktunya Yesus diangkat ke surga, Ia mengarahkan pandangannya untuk pergi ke Yerusalem. Dalam ayat itu Yerusalem ditulis Lukas sebagai Ierousaleem (nama kota menurut kebiasaan Yahudi; bisa diplesetkan sebagai “Yeru-zalim”), yakni kota yang ditayangkan Lukas sebagai yang menolak kedatangannya. Tapi dalam Luk 19:28 yang dibacakan hari ini disebutkan “Setelah mengatakan semuanya itu Yesus mendahului mereka dan meneruskan perjalanannya ke Hierosolyma (nama Yunani kota itu).” Dengan menyebut kota itu dengan nama Yunani-nya, Lukas kiranya bermaksud menyempaikan sikap kota yang bersedia menerimanya. (Bisa diperdengarkan sebagai “Yeru-syalom”). Kita akan melihat bagaimana kota itu menerima kedatangannya.
BERTEOLOGI DENGAN TINDAKAN
Yesus memasuki Yerusalem – Hierosolyma – dengan menunggang keledai muda yang belum pernah ditunggangi orang. Dia-lah penunggangnya yang pertama. Apa artinya? Orang Israel yang mengharap-harapkan kedatangan Mesias dari Tuhan akan segera menangkap bahasa tindakan Yesus itu. Mereka ingat nubuat nabi Zakharia 9:9 mengenai kedatangan raja Mesias di Sion/Yerusalem. Dan dalam kisah perjalanan memasuki Yerusalem menurut Matius, nubuat itu dikutip dalam Mat 21:5. Lengkapnya begini: “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai putri Sion, bersorak-sorailah, hai putri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya . Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai (betina), seekor keledai beban yang muda.” Di situ terasa luapan kegembiraan menyongsong dia yang datang ini. Dia itu raja bagi semua orang (“adil”) dan yang datang dengan penuh kekuatan (“jaya”). Walaupun penuh kebesaran, ia dapat merasakan kebutuhan orang, ia bahkan ikut merasakan penderitaan orang (“lemah lembut”). Kebesarannya cukup ditandai dengan berjalan mendatangi kotanya tanpa menjejak tanah sehingga kakinya tetap bersih. Dan orang-orang juga menghamparkan pakaian mereka di jalanan (ayat 36) agar Yesus bisa lewat tanpa menyentuh tanah. Dia raja yang memasuki tempat kejayaannya tanpa bersentuhan dengan “adamah” (kata Ibrani untuk menyebut tanah), yakni kemanusiaan yang lemah. Ia penuh dengan kekuatan ilahi. Orang-orang yang menyongsongnya sadar akan bahasa teologi ini. Mereka itu warga Hierosolyma (kota Yerusalem yang menerimanya), bukan Ierousaleem (kota yang sama tapi yang menolaknya).
Nubuat nabi Zakharia yang dikutip tadi masih ada kelanjutannya. Ayat berikutnya menyebut “Ia akan melenyapkan kereta-kereta dari Efraim dan kuda-kuda dari Yerusalem; busur perang akan dilenyapkan, dan ia akan memberitakan damai kepada bangsa-bangsa”. Kedatangannya itu bukan arak-arakan yang jadi tontonan belaka. Ia membawakan kelegaan, ia datang menanam benih damai dalam lubuk hati orang-orang yang menerimanya di Hierosolyma. Di kota ini orang tak perlu lagi takut terancam kekerasan yang melindas atau senjata yang membinasakan. Mereka tak usah kehilangan harapan. Inilah buah pertama dari sikap mau menerima kedatangannya.
YANG TIDAK SETUJU?
Hanya dalam Injil Lukas-lah didapati percakapan antara kaum Farisi dengan Yesus. Mereka berkata kepada Yesus, “Guru, tegurlah murid-muridmu itu!” (ayat 39). Permintaan ini bukan tanpa alasan. Boleh jadi mereka khawatir bakal terjadi keonaran menjelang hari raya. Maklum pengawasan dari pihak penguasa Romawi amat ketat. Tetapi rupa-rupanya mereka lebih merisaukan cara Yesus berdialog iman dengan orang-orang yang menyambutnya itu. Ini bukan cara yang lazim. Tidak mengikuti jalurnya kaum terhormat. Orang yang terpelajar, seorang guru, kok main drama teologi jalanan seperti itu. Ini tidak profesional! Guru ya semestinya menenangkan, mengajar disiplin, meneruskan doktrin, urusan berteologi dan menumbuhkan iman itu nanti saja….urusan orang pribadi.
Jawaban Yesus (ayat 40) membuat kita berpikir. Bila orang-orang membisu, batu-batu itu akan berteriak. Memang ini reaksi yang agak tajam. Namun, kata-kata itu mengingatkan pada kenyataan yang lebih dalam. Orang Farisi tidak peka akan makna peristiwa tadi. Jawaban Yesus yang menyebut batu-batu jalanan akan berteriak bila manusia diam saja menunjuk pada kepekaannya akan alam dan kepekaan yang ada pada alam akan siapa yang datang ini. Masuknya Yesus ke Yerusalem juga diikuti oleh alam semesta, diamati juga oleh batu-batu yang hingga kini masih diam. Alam belum bersuara, manusia masih memiliki semua kesempatan untuk mengungkapkan diri. Nanti bila manusia sudah kehabisan kata, alam akan mulai berperan. Di Golgota nanti alam akan berteriak mengajar manusia melihat apa yang sedang terjadi. Tetapi sekarang ini masih masanya manusia, masa kita. Dan dalam menjumpai kedatangan Yesus itu, ada dua pilihan: berada di Ierousaleem atau di Hierosolyma. Pilihan pertama akan membuat kita tak mau tahu dan bungkam. Tapi kita akan mendengar alam berbicara keras-keras nanti. Pada saat Yesus wafat, ada gempa, bukit-bukit batu terbelah, kubur terbuka, arwah orang kudus yang meninggal dibangkitkan. Sesudah kebangkitan Yesus, mereka keluar dari kubur, masuk ke kota kudus dan menampakkan diri kepada banyak orang. Ini diungkapkan dalam Mat 27:51-53. Dan pilihan membisu sebagai Ierousaleem itu hanya akan membuat kita melihat kejadian ini, tanpa bisa ikut serta. Itu pilihan yang menaruh diri di jalan kehancuran. Untung kini kita masih mempunyai waktu pindah mencari jalan ke Hierosolyma, ke Kota Damai.
KISAH SENGSARA Luk 22:14-23:56
TANYA: Anda pernah menafsirkan Kisah Sengsara di majalah umum (TEMPO no 3/XXXIII/15-21 Maret 2004) demikian: “Kisah tragis manusia tak berdosa itu [=Yesus] disampaikan kepada orang banyak bukan agar orang terharu dan meratapinya, melainkan untuk membuat orang makin peka menyadari sampai di mana kekuatan-kekuatan jahat dapat memerosotkan kemanusiaan. Juga untuk mempersaksikan bahwa Yang Ilahi tidak bakal kalah atau meninggalkan manusia sendirian. Inilah kabar baik bagi semua orang.” Tolong diterangkan sedikit lagi.
JAWAB: Bagi pembaca yang mendalami warta Injil-Injil, Yesus itu dia yang patut diimani (Markus), keikhlasannya itulah kebesarannya (Matius), dalam ujud mempersaksikan penderitaan manusia di hadapan Tuhan Bapanya (Lukas), dan inilah kekuatan yang dibagikannya kepada umat manusia (Yohanes). Injil-Injil memuat narasi kesaksian mengenai siapa dia yang menjalani sengsara sampai mati di salib itu.
TANYA: Kisah Sengsara yang dibacakan dalam Minggu Palma kali ini diambil dari Injil Lukas 22:14-23:56. Tolong dijelaskan kekhususannya!
JAWAB: Pada saat terakhir di kayu salib, seperti dicatat Lukas, Yesus berseru nyaring “Ya Bapa ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku!” (Luk 23:46). Tampil gambaran Yesus yang tabah menanggung sengsara sampai mati disalib mempertaruhkan dirinya bagi kemanusiaan di hadapan Tuhan yang dialaminya sebagai Bapa itu. Singkatnya, dalam Kisah Sengsara Injil Lukas, Yesus itu martir demi semua orang. Kisah Sengsara menurut Markus lebih menampilkan Yesus sebagai tokoh yang patut dipercaya karena ia datang khusus diutus Tuhan untuk menghadirkan-Nya kembali di tengah-tengah manusia. Matius memberi penekanan lain. Ia membuat pembaca Kisah Sengsara yang ditulisnya menyadari kebesaran Yesus dalam menjalani penderitaannya. Yohanes lain lagi. Ia mengusahakan agar pembaca Injilnya ikut serta dalam kekuatan batin orang yang percaya bahwa Yang Ilahi itu ialah Bapa yang Maha Rahim.
TANYA: Belakangan ini gagasan martir agak menyeramkan. Bagaimana bicara perkara ini tanpa membuat orang berpikir ke sana.
JAWAB: Inilah yang agaknya mau dikatakan penulis di majalah itu. Jangan membaca kisah itu sebagai ajakan meratapi, tetapi sebagai Kabar Gembira. Keterangannya begini. Dalam Injil, khususnya Lukas, penderitaan dan wafat Yesus itu kesaksian manusia bagi Tuhan, bukan bagi manusia meski dijalankan demi seluruh umat manusia. Orang boleh berharap kesaksian itu diterima Tuhan. Dan kebangkitannya itu kesaksian Tuhan bagi manusia, penegasan bahwa harapan manusia terpenuhi. Karena itu tak ada alasan untuk meratapi penderitaan Yesus. Yang ada ialah alasan untuk mempercayainya sebagai Kabar Gembira bagi semua orang.
TANYA: Apa penderitaan yang dipersaksikan kepada manusia tidak berguna?
JAWAB: Bukan itu maksudnya. Manusia bisa dan sepatutnya solider akan penderitaan sesama. Namun warta Kisah Sengsara ialah warta Injili. Penderitaan dan wafat Yesus itu bernilai karena ia menunjukkan kepada Tuhan betapa manusia tidak bisa lagi dikenali sebagai manusia karena terlalu dikuasai kekerasan. Penderitaan Yesus membuat Tuhan tak bisa ingkar melihat kemanusiaan. Tahankah Engkau melihat ini semua, sebagai Bapa umat manusia? Masihkah jauhkah Engkau? Atau, mengutip kata-kata Yesus di salib “Eloi, eloi, lama sabakhtani?” Dan jawaban terdengar dalam peristiwa kebangkitan. Yesus yang bangkit itu Sabda Tuhan kepada manusia. Orang dapat mengenali kehadiran-Nya – “Ia itu Tuhan!”
Inspirasimu: Bacaan, Mazmur Tanggapan dan Renungan Harian Katolik: Minggu, 10 Maret 2022
Pastor Yesuit, anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia; profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificum Institutum Biblicum, Roma.