Pada bagian selanjutnya diuraikan bagaimana caranya orang dapat mengikut Yesus sampai akhir. Menurut para ahli tafsir, kata-kata Yesus dalam ayat 25-33 disampaikan oleh Lukas guna menjelaskan maksud perumpamaan tentang seorang tuan rumah yang mengadakan perjamuan dalam Luk 14:15-24. Di situ disebutkan bahwa semua yang sanggup datang ikut perjamuan kini berdalih dengan macam-macam alasan untuk tidak jadi datang. Saking kesalnya tuan rumah itu kemudian menyuruh hamba-hambanya mengumpulkan orang miskin, orang cacat, orang buta dan orang lumpuh agar datang memenuhi rumahnya. Perumpamaan itu pada dasarnya mengatakan bahwa yang akhirnya masuk ke dalam perjamuan Kerajaan Allah justru orang-orang yang tadinya tidak diperhitungkan. Dalam sejarah tafsir acap kali para undangan yang tidak jadi datang tadi dikenakan kepada orang Yahudi, “umat terpilih zaman dulu”. Bagian mereka dalam perjamuan itu kini diberikan kepada “umat baru”. Namun hal yang sama bisa berlaku pula bagi siapa saja yang memperoleh ajakan menjadi umat tapi kemudian mangkir.
MASUK KERAJAAN ALLAH?
Segera timbul persoalan baru. Apakah status sebagai “orang miskin, penyandang cacat, buta, lumpuh”, status sebagai “umat baru” itu jaminan menikmati kelimpahan tuan rumah tadi? Dengan kata lain menjadi miskin, dst. itu sama dengan mendapat tiket gratis masuk ke Kerajaan Allah? Kok gampang. Sesederhana itukah? Persoalan ini menjadi masalah hangat dalam kehidupan Gereja sejak awal. Luk 14:25-33 memuat salah satu pemecahan. Ditegaskan bahwa agar benar-benar nanti dapat memasuki Kerajaan Allah orang perlu menjadi murid Yesus. Apa syarat-syaratnya? Petikan itu memberi rincian lebih jauh.
MENJADI MURID YESUS
Kepada para pengikut Yesus kini disampaikan pengajaran mengenai apa artinya menjadi murid yang sejati. Ujung pangkal perjalanan ini hanya dapat dijabarkan dari keakraban dengan sang tokoh yang diikuti ini. Memang berawal dari Luk 13:22 kata-kata Yesus yang ditampilkan kembali dalam Injil Lukas terasa makin menantang. Menjadi muridnya menuntut komitmen yang makin besar. Diutarakan syarat-syarat menjadi murid Yesus. Mengikutinya mengatasi ikatan sanak keluarga dan kepentingan sendiri. Menjadi muridnya sama dengan menempuh hidup baru yang bisa jadi amat berlainan dengan yang biasa dijalani hingga kini.
Petikan Injil Lukas ini menyampaikan tiga syarat yang harus dipenuhi agar orang dapat disebut murid Yesus yang sejati. Syarat pertama (Luk 14:26) kedengarannya keras. Orang yang tidak “membenci” orangtua, keluarga, sanak, nyawa sendiri tak layak menjadi muridnya. Dalam gaya bicara orang Semit yang dipakai dalam kumpulan kata-kata Yesus, ungkapan “membenci” biasa dipakai untuk menggambarkan sikap tidak memihak. Begitu pula “mengasihi” maksudnya sama dengan berpihak. Dalam mengikuti jalan menuju Kerajaan Allah orang diingatkan agar tidak lagi memihak pada ikatan-ikatan kekerabatan atau mengikuti naluri menyelamatkan diri. Mengapa? Bukan karena mengikuti Yesus itu bertolak belakang dengan ikatan-ikatan tadi, melainkan agar perkara Kerajaan Allah tidak dibataskan lagi menjadi perkara “mengurus nyawa sendiri” (mengurus keselamatan sendiri), dan dibawahkan pada kelembagaan sosial yang tumbuh dari ikatan-ikatan keluarga. Tetapi juga tak usah kita tafsirkan ajaran itu sebagai program hidup masyarakat alternatif. Yesus bukan nabi “kehidupan sosial baru”. Bukan maksudnya membangun masyarakat yang merombak pelbagai bentuk kelembagaan. Ia sekadar menggarisbawahi bahwa warta Kerajaan Allah pada dasarnya bebas dari pelbagai kelembagaan yang muncul dari hubungan keluarga atau naluri mempertahankan diri dan ikatan-ikatan primordial seperti itu. Dengan demikian warta itu bisa memberi angin baru. Bila dipikirkan lebih lanjut kata-kata ini sebenarnya juga mengajak Gereja memeriksa diri apa kelembagaan yang dijalankannya berada pada jalan kemerdekaan Kerajaan Allah.
Syarat kedua (ayat 27) ialah mengangkat salib dan mengikuti Yesus. Perkataan ini janganlah kita pahami sebagai ajakan mencari-cari salib. Cara yang paling menjamin untuk menemukan salib ialah mengikutinya jejak langkah Yesus meniti jalan yang sama. Begitulah orang akan sampai ke tujuan perjalanan Yesus (“exodos” Luk 9:31 tempat kemuliaannya), bukan penderitaan melulu. Bila cara berpikir ini tak ada gunanya mencari-cari salib. Salib sudah ditemukan oleh Yesus dan orang tinggal ikut memanggulnya. Ikut meringankan beban perjalanan. Itulah makna mengangkat salib dan mengikutinya. Menjadi murid berarti menjadi rekan seperjalanan. Dalam artian itulah Yesus berkata: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut aku, ia tak layak mengikut aku.” (lihat juga Mat 10:38; Mrk 8:34; 10:21; Mat 16:24; Luk 9:23). Dalam semua ayat itu, “memikul salib” dan “mengikut aku” tak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Bila dipisahkan, beban yang dipikul orang bisa-bisa bukan lagi salib yang membawa ke “keselamatan”, tapi berhenti pada penderitaan yang tanpa ujung pangkal. Dan upaya menjadi murid akan terganjal.
Syarat ketiga (ayat 33) ialah melepaskan harta milik. Syarat ini disebutkan sesudah diberikan perumpamaan mengenai membuat anggaran yang cukup sebelum mulai membangun (ayat 28-30) dan memperhitungkan kekuatan sendiri masak-masak sebelum mulai berperang (31-32). Bagaimana penjelasannya? Kedua perumpamaan itu mengajarkan agar murid belajar mempertanggungjawabkan rencana yang penting dengan cara yang matang. Hal-ihwal menjadi murid bukanlah keinginan saleh dari saat ke saat dan mudah berubah menurut keadaan. Orang harus masak-masak menimbang kekuatan sendiri dulu. Bukan hanya keberanian memulai, tetapi juga kemampuan meneruskan dan menerima segala konsekuensinya. Kepribadian murid Yesus ialah merdeka, juga dalam hal harta milik. Dalam hubungan ini lebih jelas mengapa ada syarat agar orang melepaskan ikatan harta milik. Salah satu kekhususan Kerajaan Allah dalam perspektif Lukas ialah perhatian kepada orang yang miskin. Berarti orang yang memiliki kelebihan diajak agar menggunakan kekayaan dengan mereka membantu mereka yang kurang mempunyai. Untuk itu perlu ada sikap merdeka terhadap harta. Orang sering lebih rela berbagi kekayaan dengan sanak keluarga sendiri. Menjadi murid itu gaya hidup yang membentuk yang membentuk “umat”, membentuk masyarakat yang memberi ruang hidup bagi siapa saja yang hidup di dalamnya. Bukan masyarakat yang ditokohi orang-orang yang siap saling menyingkirkan agar bisa maju.
TANYA JAWAB DENGAN EKSEGET
TANYA: Menurut Anda, Injil mengatakan, agar bisa sungguh masuk Kerajaan Allah orang perlu menjadi murid Yesus. Begitu kan?
JAWAB: Benar.
TANYA: Belum jelas mengapa Lukas justru menampilkan macam-macam persyaratan menjadi murid untuk memasuki Kerajaan Allah. Kok tidak seperti Matius yang dengan lebih sederhana mengatakan bahwa orang mesti datang dengan pakaian pantas? Soal ini jadi rumit bila kita ingat bahwa kata-kata tentang membenci sanak saudara dan nyawa sendiri (Luk 14:26-27) muncul kembali dalam konteks lain dalam Injil Matius, yakni Mat 10:37-38.
JAWAB: Anda pinter! Memang Matius dan Lukas sama-sama mengolah kumpulan kata-kata lepas Yesus yang dikenal waktu itu untuk menjelaskan berbagai hal yang tak sama. Dalam Injil Matius kata-kata itu menjelaskan mengapa pengikut Yesus dari kalangan Yahudi akhirnya berseberangan dengan sanak saudara mereka yang tetap memeluk agama Yahudi. Komunitas Lukas tidak begitu mengalami soal ini karena mereka terutama bukan orang asal Yahudi. Bagi Lukas lebih masuk akal bila mengikuti Yesus dijelaskan sebagai keikutsertaan dalam perjalanan Yesus sendiri ke Yerusalem dengan dedikasi total.
TANYA: Wah, wah, jadi kehidupan umat awal itu penuh dinamika! Dan ternyata bukan hanya satu kelompok seragam belaka. Jadi pluralitas itu kenyataan sejak awal, begitu kan?
JAWAB: Mengikuti Yesus itu bisa dijalankan oleh macam-macam orang dan dengan macam-macam cara. Tidak berhenti pada rumus-rumus teologi atau kesalehan ibadat belaka. Ikut memanggul salib, ikut serta dalam perjalanan Yesus sendiri, itu yang ingin ditegaskan Lukas.
Salam hangat,
A. Gianto
Pastor Yesuit, anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia; profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificum Institutum Biblicum, Roma.