Beranda Jendela Alkitab Ulasan Eksegetis Bacaan Kitab Suci Minggu Biasa XXII/C

Ulasan Eksegetis Bacaan Kitab Suci Minggu Biasa XXII/C

Ilustrasi: eros-dai.blogspot.com

TEMPAT TERHORMAT…BAGI SIAPA SAJA!

Rekan-rekan yang baik!
Para pengikut Yesus dalam Gereja Perdana makin sadar bahwa mereka diutus bepergian ke pelbagai penjuru dunia menyampaikan Kabar Gembira dengan menyembuhkan orang sakit, mengajar dan meneguhkan iman. Orang cacat, orang buta, janda miskin mereka usahakan agar tidak melulu menjadi penerima sedekah atau orang-orang yang ditolerir keberadaannya, melainkan menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Itulah kerasulan murid-murid generasi awal. Sebelumnya tak banyak didengar bahwa iman dapat diwartakan dalam ujud pelayanan bagi kemanusiaan. Para pemimpin mereka memang mendapatkan ilham dari kehidupan dan karya Yesus Sang Mesias sendiri. Dalam mewartakan kedatangan Kerajaan Allah ia menyembuhkan orang, mengusir setan, memperkenalkan kerahiman Tuhan, meninggikan nilai kemanusiaan. Ia juga mengikutsertakan murid-muridnya dalam kegiatannya sehingga mereka menjadi rekan sekerjanya. Bagaimana Injil Minggu Biasa XXII C, yakni Luk 14:1.7-14 dapat membantu kita mendalami kenyataan ini?

MENGHORMATI SANG PENCIPTA

Petikan Injil ini berawal dengan cerita kedatangan Yesus pada suatu hari Sabat untuk makan di rumah seorang Farisi yang terpandang (Luk 14:1). Semua mata diarahkan kepada Yesus dengan penuh perhatian. Mereka mendengar bahwa Yesus pernah menyembuhkan orang pada hari Sabat (Luk 13:10-17). Dalam adat dan agama Yahudi banyak hal yang dikerjakan pada hari biasa tidak boleh dilakukan demi menghormati kekudusan hari itu. Apakah ia akan menjalankan sesuatu yang tak lazim lagi?

Dalam ayat-ayat selanjutnya dikisahkan bagaimana Yesus tanpa ragu-ragu menyembuhkan orang yang sakit busung air yang datang kepadanya. Ketika orang bertanya-tanya apakah tindakan ini bisa dibenarkan, ia menjawab, siapa yang tidak berbuat sesuatu bila anaknya atau lembunya terperosok ke sumur pada hari Sabat (ayat 5). Maksudnya, keadaan yang mendesak bakal mengizinkan orang menjalankan hal yang biasanya tidak boleh dilakukan. Yesus menghimbau orang memakai akal sehat. Jawaban ini erat hubungannya dengan Luk 13:15. Di situ Yesus mengingatkan, bukankah orang mengeluarkan lembu atau keledainya dari kandang setiap hari, juga pada hari Sabat, agar hewan dapat pergi ke tempat minum? Apalagi kini ada keturunan Abraham yang sudah 18 tahun menderita terikat kuasa Iblis. Kata-kata ini disampaikannya untuk menjawab keberatan kepala rumah ibadat yang melihatnya menyembuhkan pada hari Sabat. Ada enam hari kerja, mengapa Yesus melakukannya justru pada hari Sabat dan di rumah ibadat!

Menyembuhkan orang pada hari Sabat memang bukan hal biasa. Juga dalam masyarakat Yahudi waktu itu orang sakit tidak akan datang mencari tabib pada hari itu. Tetapi mengapa dilarang bila keadaannya mendesak dan bakal memburuk bila tidak dikerjakan? Bentuk-bentuk kerasulan baru biasanya tumbuh dari keadaan mendesak seperti itu. Sering ujud dan cara pelaksanaannya tidak mengikuti pola-pola yang lazim dan tidak langsung dimengerti rekan sekerja. Namun baik diingat bahwa pada hari ketujuh, hari Sabat, Tuhan beristirahat dari karya ciptaanNya dan memberkatinya (Kej 2:2-3). KaryaNya kini dilanjutkan oleh orang-orang yang mengamalkan hidup mereka agar kemanusiaan makin menampilkan wajah dan kemiripanNya. Dalam pandangan ini, kerasulan yang ditekuni para religius akan menjadi ujud nyata berkat Pencipta dan menjadi jalan memuliakan Tuhan. Pada hari istirahatNya itu Tuhan akan dapat memandangi orang-orang yang berkehendak baik menyediakan diri menjadi jalan berkatNya bagi semua yang telah diciptakanNya selama enam hari sebelumnya.

Peristiwa penyembuhan pada hari Sabat di rumah seorang Farisi itu kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan ajakan agar orang menaruh diri di tempat yang rendah (Luk 14:7-11) dan seruan untuk tidak melupakan orang-orang yang biasanya tidak dapat ikut serta dalam kegembiraan pesta (Luk 14:12-14). Apa maksud kedua pengajaran itu?

TEMPAT TERHORMAT…BAGI SIAPA SAJA!

Perumpamaan mengenai orang yang menduduki tempat terhormat tapi kemudian diminta pindah ke belakang dan orang yang duduk di belakang tapi dipersilakan maju menunjukkan adanya keinginan orang untuk dianggap orang terpandang. Tetapi apa pokok pengajaran perumpamaan ini? Menaruh diri di tempat yang rendah agar dipersilakan ke tempat yang terhormat kerap kali dimengerti sebagai menjalankan kerendahan hati dan berkelakuan baik-baik. Jadi dimengerti sebagai ajaran agar tidak menonjolkan diri dan alih-alih membiarkan orang lain mencarikan tempat yang lebih layak. Apakah Yesus bermaksud mengajarkan sopan santun sambil mengkritik kebiasaan mereka yang suka mencari tempat yang dianggap tempat terhormat? Atau dia memakai amatan dalam perumpamaan itu untuk mengajarkan suatu hal mengenai Kerajaan Allah?

Memang seorang tamu boleh jadi merasa berhak menduduki tempat yang terpandang. Tetapi hanya tuan rumahlah yang betul-betul tahu mana tempat yang cocok bagi orang yang diundangnya. Lukas menyebut uraian Yesus itu “perumpamaan” (Luk 14:7) justru agar pembaca berusaha mencari hikmatnya dan bukan langsung menerapkan bentuk luarnya pada tingkah laku sopan santun. Diajarkan apa artinya membuat tuan rumah tadi sendiri yang mencarikan tempat, mempersilakan tamunya menduduki tempat yang disediakan baginya.

Kepada siapa pengajaran dalam bentuk perumpaan itu ditujukan? Tentunya kepada para murid. Tetapi tidak berarti bahwa mereka itu orang-orang yang berusaha mencari tempat yang terhormat atau yang pandai memilih tempat rendah agar ditinggikan nanti. Ini bukan alegori, melainkan perumpamaan yang mengajak orang berpikir. Baik diperhatikan dalam kisah itu hanya ada satu saja tempat terhormat. Padahal banyak yang ingin mendapatnya. Orang diminta berlaku rendah hati dan tidak mengingini tempat itu? Meleset! Lebih tepat bila perumpamaan itu dilihat sebagai imbauan kepada para murid agar berusaha menyediakan tempat terhormat sebanyak-banyaknya sehingga makin banyak orang dapat dibawa ke tempat yang terhormat. Tak peduli apa datang duluan atau kemudian, ingin duduk di muka atau memilih ada di belakang dengan harapan nanti dipersilakan ke depan. Cara memahami seperti ini hanya mungkin bila perumpamaan tadi tidak dianggap berbicara mengenai tempat perjamuan yang biasa. Di situ hendak diajarkan perihal Kerajaan Allah. Dalam artian ini para undangan mirip dengan para pekerja kebun anggur yang diupah sama walaupun jumlah jam kerja mereka berlain-lainan seperti diceritakan dalam Mat 20:1-16. Dalam perumpamaan Matius itu upah yang sama bukan ketidakadilan melainkan pemberian dan kemurahan hati pemilik kebun yang ingin agar makin banyak orang menikmati keberuntungan.

Kerasulan zaman ini macam-macam ujudnya, termasuk yang sering disebut karya pelopor seperti misalnya pelayanan kaum pengungsi, pendampingan buruh harian, penampungan dan rehabilitasi bekas penyandang narkoba, gelandangan dan anak jalanan. Pelbagai bentuk kerasulan baru yang dikenal sekarang pada dasarnya bertujuan mengentas orang-orang yang hidup dalam kondisi hidup yang kurang layak akibat macam-macam ketakberuntungan. Keadaan ini membuat mereka kurang dapat ikut menikmati kemurahan Tuhan. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa para pelayan pastoral yang terjun dalam kerasulan ini diajak ikut menyediakan tempat terhormat sebanyak-banyaknya bagi orang-orang yang mereka layani. Kerasulan pelopor memiliki banyak kemungkinan untuk mewujudkannya.

SUMBER KEBAHAGIAAN

Dalam bagian kedua, yakni Luk 14:12-14, ada pengajaran yang melengkapi bagian pertama tadi. Jika murid-murid dihimbau agar ikut menyediakan tempat terhormat sebanyak-banyaknya sehingga banyak orang nanti dapat ikut menikmatinya, lalu manakah karya yang paling membawa ke tujuan itu? Jawabannya sederhana, yakni “undanglah orang yang tak bakal mampu balas mengundang, yakni orang miskin, cacat, lumpuh dan buta!” Dan kebaikan yang tak langsung bisa berbalas ini dikatakan menjadi sumber kebahagiaan bagi yang mengadakan pesta. Dinasihatkan agar orang mencari balasan yang benar-benar patut diharapkan, yaitu balasan yang diberikan pada hari terakhir oleh Yang Maha Kuasa sendiri. Dengan demikian diajarkan agar orang menjalankan kebaikan kepada kaum lemah dengan dorongan yang amat manusiawi tetapi sekaligus juga amat religius. Manusiawi karena balasan tetap diharapkan dan apa jeleknya mengharapkan balasan yang setimpal? Tetapi juga dorongan itu bersifat religius karena balasan yang bakal diperoleh itu baru sungguh didapat pada hari kebangkitan orang-orang benar kelak. Inilah pengajaran iman bagi mereka yang bekerja bagi orang yang tak bisa membalas budi dengan cara yang sama di dunia ini.

Menjelang zaman kelahiran Yesus, semakin muncul gambaran bahwa pada akhir zaman orang-orang yang baik akan dibangkitkan dan mendapat hidup kekal sebagai balasan setimpal seperti tampak dalam Dan 12:2. Tapi ada juga orang-orang yang akan jatuh ke dalam aib abadi. Bagaimana menghindari malapetaka ini? Dalam warta Injili, ada kesadaran bahwa Yang Maha Kuasa tidak tinggal diam. Ia mengirim utusanNya menyampaikan Kabar Gembira bahwa Kerajaan Allah sudah datang, dalam diri utusan itu sendiri, yakni Yesus Kristus. Dengan mengikutinya orang akan tertuntun masuk ke kelompok mereka yang nanti pada akhir zaman akan dibangkitkan dan mendapat hidup kekal. Mereka yang percaya kepada Kabar Gembira ini diminta agar berani mengikutsertakan orang-orang yang biasanya dianggap tidak masuk hitungan, orang miskin, orang cacat, orang lumpuh dan buta. Datang mendekat ke Kerajaan Allah berarti mulai memperoleh kembali penglihatan, berbagi kekayaan Tuhan, dapat berjalan kembali.

Kemuliaan Tuhan makin tampak nyata bila Ia makin dekat pada manusia dan bukan bila Ia jauh dan tak terjangkau. Pelayan pastoral yang peka akan dapat banyak membuatNya makin dekat kepada kemanusiaan. Kaum religius dapat berbuat banyak. Sebagai orang yang mengajak sesama bergembira datang ke perjamuan dalam Kerajaan Allah, seorang religius juga boleh percaya bahwa kegiatan ini dapat menjadi jaminan bagi kebahagiaan sendiri juga. Untuk itu tak perlu lagi ragu-ragu mengikutsertakan orang-orang yang umumnya dianggap tak pantas, yang tak bisa membalas, yang tidak bisa datang sendiri, tapi membutuhkan dan minta dituntun. Mereka itu disayangi Tuhan dan bila kita mempertemukan mereka kembali denganNya, dapatkah Dia melupakan kebaikan ini?

Salam hangat,
A. Gianto