Beranda Jendela Alkitab Ulasan Eksegetis Bacaan Kitab Suci Minggu Biasa XXI/C

Ulasan Eksegetis Bacaan Kitab Suci Minggu Biasa XXI/C

Ilustrasi : happypic.pw

BERJUANG MELEWATI PINTU YANG SEMPIT?

Rekan-rekan,
pada awal Injil Minggu Biasa XXI tahun C (Luk 13:22-30) dikisahkan Yesus mengajar dari kota ke kota dan wilayah di sekitarnya dalam perjalanannya menuju ke Yerusalem. Di sini nama kota ini dieja sebagai “Hierosolyma” – seperti dalam Luk 19:28 ketika arah perjalanan ini disebut untuk terakhir kalinya – dan dengan demikian digarisbawahi sisi kota yang menerima kedatangannya. (Ejaan ini memiliki makna khusus. Bandingkan dengan ejaan “Ierousaleem” dalam Luk 9:51, kali pertama kota itu disebut sebagai arah perjalanan Yesus. Bila dieja sebagai “Ierousaleem” diisyaratkanlah kota serta orang-orangnya yang tidak bersedia menerima kehadirannya, jadi kebalikan bila nama kota itu dieja sebagai “Hierosolyma” .) Jadi dalam konteks perjalanan ke arah Yerusalem-Hierosolyma itulah Lukas mengolah lebih lanjut ajaran Yesus mengenai bagaimana orang dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Injil Lukas menampilkan kata-kata Yesus tadi kepada orang yang sudah bersimpati terhadap ajarannya. Bagi orang-orang yang sudah bersedia menerima Yesus, dapatlah diungkapkan beberapa ajaran yang bakal terasa agak keras. Mereka sudah bersama Yesus, tetapi janganlah mereka kemudian merasa terlalu yakin bakal selamat dan menjadi alpa. Mereka diingatkan bahwa perjalanan ini belum selesai dan agar orang dapat sampai ke sana perlu diperhatikan beberapa hal. (“Menuju Yerusalem” dalam Luk 9:51 pernah dibicarakan sehubungan dengan Injil Minggu Biasa XIII tahun C.) Sekaligus mereka yang mau menjadi muridnya dihimbau agar berani bertekun berjalan bersamanya menuju ke tempat kemuliaannya di Yerusalem nanti.

DUA MACAM PINTU
Dalam Luk 13:24-25 kiasan “pintu” dipakai untuk menggambarkan perihal memasuki Kerajaan Allah. Dalam ayat 24 ditampilkan “pintu yang sempit”, sedangkan dalam ayat “pintu yang sudah ditutup”. Intinya, jalan masuk ke dalam Kerajaan Allah tidak mudah. Perlu ada upaya khusus. Orang harus dapat melewati pintu yang sempit dan jangan datang terlambat dan mendapati pintu sudah tertutup. Apakah pintu yang sempit itu sama dengan pintu yang akan ditutup oleh tuan rumah? Bagaimana kita dapat memahami kata-kata itu?

Marilah kita periksa terlebih dahulu apakah kedua pintu itu betul-betul pintu yang sama seperti kesan pertama ketika mendengar petikan ini. Pembicaraan mengenai pintu sempit dalam Luk 13:24 ini mengingatkan orang akan bagian khotbah di bukit dalam Mat 7:13-14 yang menyebutkan pintu sempit ke arah keselamatan dan pintu lebar ke arah kebinasaan. Memang Lukas juga mengenal bahan yang dipakai Matius ini, tapi ia hanya meneruskan kata-kata mengenai pintu yang sempit dan tidak menyebut pintu yang lebar. Beberapa ahli berpendapat bahwa Lukas lebih dekat dengan sumber aslinya, sedangkan Matius menambahkan kontras dengan pintu yang lebar. Penambahan bahan dari tradisi mengenai kata-kata Yesus seperti ini agak biasa pada Matius. Bandingkan rumusan Bapa Kami dalam Mat 6:9-13 yang lebih panjang daripada teks Luk 11:2-4 (Minggu Biasa XVII tahun C).

Bahan yang disampaikan dalam Luk 13:25, yaitu orang yang terlambat datang ke perjamuan dan mendapati pintu sudah ditutup banyak kemiripannya dengan nasib lima gadis bodoh yang terlambat menyambut mempelai dalam perumpamaan sepuluh gadis (Mat 25:10-12) yang hanya didapati dalam Matius. Kedua Injil ini sama-sama menyampaikan bahwa sang empunya rumah pesta tidak mengizinkan masuk orang yang datang terlambat. Rupa-rupanya, baik Matius maupun Lukas sama-sama memakai kumpulan kata-kata Yesus yang mengatakan tak kenal pada orang yang datang terlambat, tetapi masing-masing menyampaikannya dengan caranya sendiri. Lukas lebih ringkas dan kiranya juga lebih dekat dengan aslinya, sedangkan Matius mengembangkannya dalam ujud perumpamaan sepuluh gadis, lima di antaranya pintar dan lima lainnya bodoh. Bagaimanapun juga intinya sama. Orang yang alpa dan datang terlambat akan mendapati pintu sudah ditutup. Tuan rumah tidak akan mengizinkannya masuk

Dari perbandingan itu jelas ada dua macam kata-kata Yesus mengenai pintu, yang pertama pintu yang sempit dan yang kedua pintu yang sudah ditutup. Jadi bukan mengenai pintu yang sama. Matius mengembangkannya menjadi nasihat dan perumpamaan dalam konteks yang berlainan. Lukas mendekatkan kedua-duanya tanpa menyamakannya. Maksudnya ialah agar orang makin memikirkan peran masing-masing pintu tadi sehubungan dengan hal memasuki Kerajaan Allah.

BERJUANG MEMASUKI PINTU YANG SEMPIT?
“Pintu yang sempit” dalam ayat 24 kerap dihubungkan dengan gambaran banyak orang yang berdesak-desakan mau memasuki pintu tertentu. Gambaran seperti ini timbul dari kerancuan dengan pembicaraan mengenai orang yang terlambat masuk yang ada dalam ayat 25. Karena itu sering ada kesan orang perlu berebut memasuki pintu sebelum ditutup. Apalagi dinasihatkan dalam ayat 24 agar orang berjuang memasuki pintu yang sempit. Tetapi gambaran itu kurang membantu mengerti warta Injil sendiri. Uraian mengenai sumber Lukas dengan membanding-bandingkannya dengan Matius menunjukkan bahwa pintu sempit itu tidak sama dengan pintu yang nanti ditutup dan tidak dapat dimasuki lagi oleh yang terlambat datang.

Kiasan pintu sempit itu dimaksudkan agar orang makin menyadari keadaan diri sendiri bila ingin benar-benar menjadi warga Kerajaan Allah. Kata-kata mengenai sulitnya pintu kecil ini dimasuki sebetulnya menyampaikan ajakan agar orang berani mengecilkan diri dalam upaya memasuki Kerajaan Allah. Orang yang membesar-besarkan diri akan sulit memasuki pintu Kerajaan Allah. Bahkan tak mungkin melewatinya tanpa menyesuaikan diri dengan pintu itu. Di sini ada ajaran yang dalam dan sekaligus amat nyata. Kerajaan Allah mengajarkan agar orang tahu diri di hadapan Allah yang Mahabesar. Orang yang mengecilkan diri akan mampu mengalami betapa besarnya Dia. Dengan demikian Yang Ilahi itu betul-betul menjadi bagian kehidupan. Jadi pintu yang sempit itu bukan semata-mata batu uji melainkan sebuah pengajaran. Yesus menghimbau, “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit itu!” Tentunya di sini tidak diserukan agar orang berebut melewatinya, mungkin dengan saling menyikut atau saling menjegal, atau membuka bisnis tukang catut jalan masuk ke pintu sempit, atau jadi preman pungutan rohani liar untuk itu. Nasihat agar berjuang itu ajakan agar orang tekun belajar menerima betapa diri sendiri itu kecil di hadapan Allah yang Mahabesar. Dan bila orang berhasil menjadi kecil, pintu sesempit apapun akan dapat dilalui.

Upaya mengecilkan diri ini bukan barang asing. Macam-macam aliran ajaran spiritualitas melatihkannya. Namanya macam-macam, askese, laku tapa, latihan kerendahan hati, mengosongkan diri, melepaskan kekayaan, dan seterusnya. Tujuannya sama, yakni membuat diri kecil di hadapan Dia yang Mahabesar itu. Dan upaya ini bukan hanya dalih mencapai keselamatan melainkan menjadi pujian bagi Dia yang sungguh besar itu. Yesus sendiri memberi contoh. Dia makin mengosongkan diri dalam perjalanan ke Yerusalem, sampai nanti menjadi orang yang dina, yang ditolak, disalibkan. Dan justru dengan demikian ia memperoleh Kerajaan Allah bagi umat manusia.

PINTU SUDAH DITUTUP?
Pintu yang sudah ditutup dalam ayat 25 disampaikan sebagai ajaran agar orang tetap berjaga-jaga. Jangan sampai orang terlalu merasa sudah aman dan berlaku seenaknya atau malah bermain-main menikmati “kebebasan” di luar. Kehidupan beragama sering terlalu membuat orang merasa diri terjamin, merasa pasti akan selamat, dan oleh karena itu orang sering lalai bahwa yang terpenting bukan asal terdaftar dan menjalankan praktek agama melulu, melainkan menekuni keakraban dengan Yang Ilahi. Orang yang tak diizinkan masuk protes bahwa telah makan dan minum, maksudnya pernah hidup bersama tuan rumah. Tapi “pernah” itu tidak cukup. Bila ini terjadi, semua yang telah dilakukan akan sia-sia belaka, termasuk hidup bersama Yesus di masa lampau. Maka orang diperingatkan agar tetap waspada, berbudi wening dan pandai-pandai mengenali gerak-gerik hadirnya Yang Ilahi di dalam kehidupan ini. Bila kepekaan ini tidak tumbuh atau hilang, risikonya orang tidak lagi akan dapat menyadari kapan Yang Ilahi itu datang menyapa dan dalam cara apa. Orang akan mendiamkan-Nya. Orang yang tak bisa peduli akan kehadiran ilahi itu akan terhukum sendiri. Orang ini akan berada di luar dan hanya menjadi mangsa kekuatan-kekuatan jahat. Di situ akan ada tangis dan kertak gigi belaka.

AGAMA MEMONOPOLI KESELAMATAN?
Luk 13:24-30 sebetulnya mengolah pertanyaan kepada Yesus apakah sedikit saja yang bakal selamat (ayat 23). Yesus tidak memberi jawaban yang sudah jadi. Ia mengajarkan bagaimana mencapai keselamatan itu. Orang diajak agar pandai-pandai mengecilkan diri sehingga bisa masuk ke hadirat ilahi serta menumbuhkan kepekaan terhadap kehadirannya. Keselamatan tidak lagi terbatas pada keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub, melainkan terbuka bagi siapa saja yang mau menghadapkan diri kepada Allah dan peka akan kehadiran-Nya.

Keselamatan tidak disamakan dengan ajaran dalam agama tertentu. Agama memang jalan mendekat ke pada Yang Ilahi. Dan dalam banyak hal menjamin orang sampai kepada-Nya. Lagipula bagi orang yang memeluknya dengan jujur, agama tertentu menjadi jalan yang satu-satunya baginya. Orang juga perlu mempersaksikan kepercayaannya, tentunya caranya tidak hanya satu. Dalam kepercayaan kita, pengutusan Gereja itu hal keramat pula. Tetapi ada ajakan bagi semua agama agar juga mengecilkan diri dalam klaim keselamatan dan kebenaran ajaran. Bila orang mau memaksakan ajaran agama dan hukum-hukumnya, Yang Ilahi itu tetap mengelak, mrucut, elusif . Dan orang akan kehilangan Dia. Sulit dibayangkan ada hal yang lebih menyedihkan daripada praktek agama yang terpisah dari kehadiran ilahi. Agama juga diingatkan agar selalu waspada akan gerak-gerik kehadiran ilahi dan tidak hanya membakukannya menjadi barang beku belaka. Suatu ironi bila agama membuat kehadiran ilahi tidak lagi bisa menyapa.

Salam hangat,
A. Gianto