Angan Gentar, Hai Kawanan Kecil!
Internoswan dan peminat jendela Alkitab!
Tentu kalian agak heran menerima berita ini. Gus – Romo Gianto kalian – meminta saya menulis tentang Injil yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XIX tahun C, yakni Luk 12:32-48. Katanya, “Luc, tolongin deh!”
Ia sendiri tidak sempat menyiapkan ulasan karena kesibukan di benua seberang. Yang bisa saya buat ialah sekadar bercerita mengenai pengalaman saya ketika menyusun bagian yang kalian dengar hari Minggu ini.
Memang saya senang Luk 12:32 ikut dibacakan. Ayat itu sebetulnya menyimpulkan dan menutup serangkaian nasehat Yesus dalam ayat 22-31 supaya orang meninggalkan rasa was-was dan khawatir. Yang penting ialah menemukan Kerajaan Allah dan hal-hal lain akan diberikan juga sebagai tambahan. Setelah itu baru saya teruskan dengan ayat 33-34 yang berisi peringatan-peringatan agar orang lebih memikirkan kekayaan di surga daripada harta yang bisa rusak di bumi disusul dengan beberapa nasehat lain tentang kewaspadaan dalam ayat 35-48. Jadi ada tiga macam pokok.
Menarik bahwa Gereja kalian membacakan peringatan agar melepaskan keterikatan pada harta dan nasehat agar tetap waspada ini bersama dengan seruan tak usah khawatir tadi. Penggabungan yang kalian buat dalam petikan hari ini membuat rangkaian nasehat tadi makin mengena pada kehidupan. Bahaya keterikatan pada kekayaan tetap ada. Maka perlu membangun kewaspadaan terhadap kelemahan sendiri sambil menyadari bahwa Yang Mahakuasa selalu menyertai dan memperhatikan kalian. Saya malah belajar dari cara Gereja anda memahami tulisan saya. Memang interaksi penulis dengan komunitas pembaca memperkaya kedua-duanya. Maka memang cocok ayat 32 itu diikutsertakan sebagai pengantar bagian yang berbicara mengenai sikap berjaga-jaga.
Dengan sengaja dalam ayat 32 itu saya tampilkan kembali ungkapan “Jangan takut, hai kamu kawanan kecil!” Ungkapan “kawanan” itu maksudnya kawanan domba, Yunaninya “poimnion”, sekawanan domba yang butuh gembala. Dan gagasan “kecil” di situ dipakai untuk mengungkapkan perhatian dan kasih sayang, bukan untuk menyebut kelompok minoritas agama atau masyarakat pada zaman itu. Bayangkan saja seperti seorang ibu yang sedang menimang-nimang anak kesayanganya dan menggumamkan kata-kata lembut. Tentu ini semuanya ibarat. Namun, ibarat kerap lebih tajam dalam menyampaikan kebenaran dari pada uraian teologi.
Yesus mengungkapkannya untuk membesarkan hati orang. Tak usah khawatir mengenai apa yang bakal terjadi. Ia sering membicarakan Yang Mahakuasa sebagai Bapa yang penuh perhatian pada kawanan kecil tadi.
Ungkapan “Jangan takut!” itu kerap dipakai Allah dalam Perjanjian Lama untuk menguatkan umat-Nya. Mereka dilindungi-Nya dari kekuatan-kekuatan jahat yang selalu mengancam. Kata-kata itu menegaskan bahwa kalian ini sedang berada dengan Dia sendiri. Dan dalam ayat 32 itu saya kutip juga kata-kata Yesus yang mengatakan “Karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu!” Kalian kini sudah ada dalam kawasan kuasa Bapa dan tak perlu khawatir. Tak ada kekuatan apapun dapat mencelakai. Tentu maksudnya juga untuk membuat kalian mantap berada bersama Bapa dan, bila kalian dapat, ajaklah saudara-saudara kalian agar mengerti dan ikut berlindung kepada-Nya.
Kumpulan nasehat tadi sebetulnya saya dapatkan dari catatan orang-orang yang masih mendengar kata-kata Yesus sendiri. Matt rekan saya juga memiliki bahan ini dan ia menggarapnya lebih lanjut bagi orang-orang yang dilayaninya. Saya sendiri mengolahnya dengan bantuan mereka yang ada di sekitar Oom Hans, yang bagi kalian ialah penulis Injil Yohanes.
Ia dan murid-murid lain kerap membicarakan kembali bagaimana Yesus mengumpamakan diri sebagai gembala yang baik dan pemilik domba yang bertanggungjawab. Maka dalam Luk 15 saya ceritakan bagaimana Yesus mengibaratkan diri sebagai pemilik kawanan domba yang berani meninggalkan kawanan besar untuk mencari satu saja dari kawananannya yang sedang tersesat. Kegembiraannya meluap-luap ketika menemukan yang satu itu tadi. Memang Yesus itu dirasuki Roh Allah sampai ke tulang sungsum. Karena itulah banyak orang terpesona olehnya. Saya tak pernah melihatnya dengan mata kepala, tetapi mendengarkan mereka yang menceritakan tentang dia dapat membuat saya merasa sedang mengikutinya dari tempat ke tempat. Lama saya pikirkan dalam hati siapa dia itu. Saya ungkapkan pemahaman saya mengenai dia dalam satu buku. Dan dalam buku lain mengenai orang-orang yang membawakannya ke semua penjuru dunia.
Mengenai kawanan domba dan gembalanya, di bagian belakang buku Oom Hans ada sebuah rekaman peristiwa yang amat penting. Yesus sang Gembala sendiri sampai tiga kali meminta Petrus agar tetap menjaga kawanan dombanya sehingga tidak terlantar. Dan Petrus mengiakan tiga kali pula. Boleh jadi ini cara Oom Hans mengatakan bahwa penyangkalan Petrus yang tiga kali itu kini tuntas terhapus oleh tiga kali ungkapan kesediaannya.
Peristiwa itu acapkali dimengerti sebagai dasar penugasan bagi Petrus. Memang tak meleset. Akan tetapi, yang hendak disampaikan terutama ialah ungkapan perhatian Sang Gembala sendiri serta ketulusan orang yang diserahi tugas itu. Kenyataan inilah yang melatari ayat 22 dalam bacaan hari ini. Dan kalau kalian baca terus, nanti dalam ayat 41 yang termasuk petikan hari ini, tokoh Petrus juga saya sebutkan. Memang konteksnya ialah kewaspadaan, bukan lagi nasehat tak usah khawatir. Dan memang itulah maksud saya.
Nasehat berwaspada itu lebih-lebih ditujukan kepada mereka yang bertugas mengurus kawanan kecil milik Sang Gembala tadi. Kawanan domba dibesarkan hatinya agar tak usah takut karena diperhatikan Bapa yang akan mencarikan yang dibutuhkan, termasuk mencarikan orang untuk memelihara.
Sekarang orang yang diberi tugas mengurus kawanan itu, yaitu Petrus, dinasehati Yesus agar terus waspada. Ia mesti berjaga terus agar bila sang empunya rumah kembali, semuanya beres dan siap. Bahkan penjaga ini mesti berlaku seperti tuan rumah yang memperhitungkan pencuri yang datang pada saat orang terlena. Lihatlah ayat 39-40.
Berat tentunya tugas orang yang diserahi mengurus rumah tangga, termasuk mengurusi kawanan kecil yang disayang pemilik itu. Akan tampak apa dia itu betul-betul mau melayani atau sekedar untuk mencari untung bagi diri sendiri. Akan kelihatan apa ia ikut menyayangi semua yang termasuk rumah tangga tuannya, barang, peliharaan, dan para pekerja lain. Ia tidak akan berlaku kejam. Sekali ia bertindak bengis dan tak adil ia sudah melanggar tekadnya sendiri. Dan ia akan menjadi orang yang akan mengalami nasib sama dengan orang yang tak punya kesetiaan dan tak bisa dipercaya. Ini saya laporkan pada akhir ayat 46.
Sebesar-besarnya dedikasinya, pengurus rumah tangga itu juga tetap manusia. Kesalahan bisa dibuatnya sengaja. Memang tidak bisa dilupakan begitu saja. Tapi lain bila ia sadar dan bertindak kejam terhadap orang yang dibawahkan kepadanya dan menyalahgunakan barang-barang yang dipercayakan kepadanya. Nanti ia akan dimintai tanggungjawab, dan bila keliru akan kena pukulan. Yang dengan sadar menjalankan hal yang tak benar akan benar-benar mendapat hukuman. Tetapi bila tidak, ia tetap tak dapat mengelakkan tanggungjawab dan akan kena tindakan, tapi tidak sekeras bila ia sengaja mengabaikan tuannya. Itulah yang mau saya sampaikan kembali dalam ayat 47 dan 48.
Akhir-akhir ini makin terdengar amatan kritis terhadap para pemimpin, juga terhadap para “pengurus” Gereja yang bertugas mengelola hidup kawanan kecil tadi. Memang mana ada dunia sempurna. Tak ada pemimpin lahir begitu saja. They don’t grow on trees, tinggal petik. Lihatlah, bagi Yesus sendiri, jalan menuju ke Golgota baru bisa sungguh ditempuhnya sampai tuntas berkat bantuan orang yang tak dikenal yang kebetulan lewat di situ, yaitu Simon dari Kirene. Kami bertiga, Mark, Matt dan saya sendiri mendengar hal ini dari semua sumber kami. Tidak usah disangkal ada pemimpin Gereja yang kurang kenabian sikapnya, mau aman belaka, alot, tidak njamani, kaku, begini dan begitu.
Namun, tidakkah akan lebih berguna bila kalian bersikap membantu mereka menempuh tugas mereka, seperti Simon Kirene – sedikit menggerutu juga tak apa. Nanti bersama-sama kalian kan akan sampai ke tujuan. Sebetulnya tidak banyak yang bisa diharapkan dari sikap terlalu menolak terhadap apa saja yang datang dari pihak yang punya kuasa, atau dalam suasana peka gender zaman ini, melawan apa saja yang dirasa muncul dari gaya pandang “lelaki”, “patriarkal”.
Dengan menyertakan ayat 22, kiranya Gereja kalian mau menyampaikan sapaan baik bagi kawanan domba maupun bagi mereka yang bertugas memelihara kesejahteraan mereka. Bagi umat dan para pemimpin umat. Dengan gambaran itu, sebenarnya juga diberikan ruang bagi dimensi “keibuan” dari para pemimpin, bukan saya “kebapaaan” mereka. Sekadar tambahan cerita mengenai Gereja zaman saya dulu. Di samping umat dan pemimpin setempat ada pihak ketiga, yakni para rasul keliling. Mereka bepergian dari tempat ke tempat menyampaikan berita dan membangun kelompok umat pertama. Setelah meneruskan perjalanan, mereka masih berhubungan para rasul tadi. Begitulah kesatuan waktu itu. Gambaran ideal kehidupan umat setempat itu saya berikan dalam Kis 2:42-45; 4:32.35. Mereka berbagi milik, menjual harta bagi orang miskin, menyerahkan pada kebijaksanaan para rasul membagikan ke yang membutuhkan dalam. Memang tidak selalu semuanya beres. Ada kasus penggelapan uang oleh Ananias dan istrinya, Safira. Kejadian tragis ini saya catat dalam Kis 5:1-6. Zaman para rasul memang sudah selesai dan kini ialah zaman umat bersama para pelayan umat hidup bersama saling menguatkan dan saling meneguhkan. Oleh karena itu, tidak amat bermanfaat bila kehidupan sekarang mau meniru zaman umat perdana begitu saja. Yang bisa dilakukan ialah menerapkan cara mereka sebagai umat memandang kehidupan ini, yakni melihat dimensi yang akan datang dan tidak melulu terikat pada yang kelihatan saja.
Banyak teolog dan ekseget akan bertanya-tanya, kita perlu waspada, tapi terhadap apa? Apakah waspada dalam menunggu saat kedatangan kembali Tuhan dalam kebesarannya, jadi berjaga-jaga menyongsong “parousia” pada akhir zaman? Begitulah pendapat rekan saya Matt. Dalam hal ini saya agak berbeda meski kami berdua mengolah petuah-petuah Yesus yang sama.
Matt mau mengantisipasi suatu peristiwa besar nanti di akhir zaman. Saya sendiri melihat bahwa Yesus mengajarkan kewaspadaan itu sebagai sikap hidup yang sebaiknya dipegang para muridnya, terutama yang bertugas melayani umat. Dalam ungkapan zaman ini katakan saja saya berusaha lebih “proaktif”. Kita hidup ditengah-tengah macam-macam kekuatan. Orang yang waspada bisa menemukan jalan dan tak perlu takut. Kewaspadaan seperti bisa tumbuh bila kita belajar mengenali gerak-gerik roh.
Bicarakanlah persepsi kalian mengenai Yang Ilahi dengan pembimbing rohani, juga dengan Dia sendiri yang ada dalam batin kalian. Itulah kewaspadaan yang bisa menjadi gaya hidup kalian.
Dalam Tuhan,
Luc
Pastor Yesuit, anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia; profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificum Institutum Biblicum, Roma.