Di Tempat yang Datar
Rekan-rekan yang baik!
Bacaan Injil bagi Minggu Biasa VI tahun C tanggal 17 Februari 2019 ini ialah Luk 6:17.20-26. Petikan ini bersisi sabda bahagia dan peringatan-peringatan yang menyertainya versi menurut tradisi Lukas. Ada beberapa perbedaan tekanan serta ungkapan bila dibandingkan dengan sabda bahagia menurut Matius (Mat 5:1-12 dibacakan pada hari Minggu Biasa IV/A – lihat pula ulasan ybs.). Marilah kita simak beberapa kekhususan teks Lukas.
“Di Tempat yang Datar” (Luk 6:17)
Diceritakan Yesus bersama dengan keduabelas muridnya turun dan bertemu dengan sejumlah besar murid-muridnya dan orang-orang lain di “tempat yang datar”. Tempat ini disebut untuk mengingatkan orang kepada bagian Injil Lukas yang mengutip Yes 40:3-5 (Luk 3:4-6) tentang tanah yang tinggi rendah yang akan diratakan dan jalan yang berkelok-kelok yang akan diluruskan … sehingga orang-orang melihat Tuhan. Di tempat datar inilah orang-orang mendapati Yesus. Ke sanalah mereka berdatangan dari “Yudea dan Yerusalem dan dari daerah pantai Tirus dan Sidon” (Luk 6:17). Kedua daerah yang disebut terakhir ini bukan wilayah Israel dulu. Tetapi Yesus mengumpulkan yang umat baru ke tempat datar – tempat Tuhan kelihatan itu – itu. Dan semua orang dapat memandanginya, bukan hanya mereka yang termasuk umat Israel dulu.
Seruan Yes 40:3-5 itu dikutip dalam Luk 3:4-6 yang menjelaskan pewartaan “tobat untuk pengampunan dosa” oleh Yohanes Pembaptis. Bertobat berarti upaya menanggalkan pikiran-pikiran yang mengekang batin (=”tanah tinggi rendah dan jalan berkelok-kelok”) dan membiarkan diri dipimpin menuju Tuhan sendiri di jalan batin yang lurus (lihat ulasan Injil Minggu Adven II/C 10 Desember 2006). Dalam Luk 6:20-26 ditampilkan gambaran mengenai kenyataan hidup dalam umat yang baru itu dengan memakai empat sabda bahagia (ayat 20-23) dan empat peringatan untuk mewaspadai diri (ayat 24-26).
Wacana Deskriptif, Bukan Preskriptif
Orang dapat menggambarkan suatu hal sebagaimana adanya. Bisa pula orang mengatakan apa yang mesti dijalankan. Sabda bahagia dalam Injil menggambarkan apa yang terjadi dalam kalangan orang-orang yang hidup mengikuti Yesus, bukan mengajarkan hal-hal yang mesti dilakukan. Dengan perkataan lain, sabda bahagia itu ungkapan yang sifatnya deskriptif, bukan preskriptif. Mungkin ada yang berkeberatan, sabda bahagia dan peringatan-peringatan itu kan pengajaran yang mesti kita ikuti agar masuk Kerajaan Allah? Bukan! Keliru bila kita pandang sabda bahagia dan peringatan sebagai resep hidup bahagia, hidup kristen yang baik-baik aman adem ayem, ikut ajaran agama saja supaya semua tenang, kalau menderita ya menderita tapi nanti beres.
Injil Lukas mau berbicara kepada orang yang miskin, yakni orang yang kekurangan material, orang yang tak bisa mencukupi kebutuhan hidup, paling-paling pas-pasan saja. Tetapi Injil juga berbicara kepada orang kaya, yakni orang yang berkelebihan, orang yang tak merasakan kekurangan. Kepada yang miskin dikatakan bahwa mereka tak dilupakan Kerajaan Allah, mereka itu malah boleh merasa empunya Kerajaan Allah. Kepada orang kaya tidak dikatakan kalian tak memiliki Kerajaan Allah. Namun kehidupan mereka itu kiranya tak ada artinya (“celakalah….”) bila mereka sudah puas dan merasa aman dengan kelimpahan mereka. Wartanya apa? Yesus tidak menjajakan kemiskinan sebagai keutamaan dan mencerca kekayaan sebagai sumber laknat. Seandainya begitu, wartanya akan segera menjadi busuk, tak berbeda dengan retorika orang-orang yang membuat orang miskin sebagai komoditi dagang politik dan yang menjadi parasit orang berduit dan memperoleh ketenaran sebagai pembela kaum miskin dengan gampang. Warta
sabda bahagia itu, sebagaimana lazimnya warta gembira, membuat orang bisa berharap akan merdeka sekalipun masih terbelit kemiskinan atau terjerat ikatan-ikatan kekayaan. Penjelasannya begini. Kemiskinan yang membuat orang makin melarat atau kekayaan yang membuat orang lupa daratan menjadi karikatur martabat manusia yang tak lucu, malahan membuat orang pilu. Tuhan yang Maha Rahim tak tahan melihat manusia ciptaanNya merosot. Maka Kerajaan Allah yang diwartakan utusanNya yang utama itu – Anak Manusia – dimaksud untuk membangun wahana di mana manusia bisa menata kembali martabatnya yang utuh, tidak lusuh karena kemelaratan atau busuk tertimbun kekayaan.
Dialog Persiapan Homili
TIN: Yesus itu pembela orang miskin, dia ini menjalankan option for the poor sebelum ungkapan itu diperdengarkan.
GUS: Setuju. Cuma bagi Yesus, gagasan membela kaum miskin itu rada berbeda dari yang biasa kita mengerti pada zaman ini.
TIN: Penjelasannya?
GUS: Ia mau membela mereka dari pendapat bahwa kemelaratan itu akibat dosa, baik dosa sendiri atau dosa orang tua. Ia juga tidak menerima begitu saja pendapat bahwa kekayaan itu ganjaran bagi kelakuan lurus.
TIN: Lho, penjelasan anda ini bisa bertentangan dengan praktek Yesus. Kan ia pernah menyembuhkan orang dengan mengatakan dosamu diampuni. Bukankah ini mencerminkan gagasan Yesus bahwa kesakitan itu akibat dosa?
GUS: Nanti dulu! Benar Yesus mengampuni dan orang itu sembuh, tapi dosa yang diampuni itu ialah dosa berpegang pada pendapat bahwa penyakitnya akibat kesalahan orang tua atau dirinya sendiri.
TIN: O gitu. Kembali ke sabda bahagia Yesus yang dilaporkan Lukas. Kalau mengikuti penjelasan anda, maka orang miskin tak perlu lagi merasa tersisih dari Kerajaan Allah.
GUS: Ya begitulah. Itulah maksud perkataan “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang punya Kerajaan Allah” (Luk 5:20)
TIN: Bila ayat tadi dilihat bersama dengan ayat peringatan (ayat 24) “tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburan”, orang dapat berpikir bahwa orang kaya itu terkutuk justru karena kaya.
GUS: Tidak benar. Sabda bahagia bahwa orang miskin memiliki Kerajaan Allah itu bukan pernyataan eksklusif, jadi jangan dimengerti bahwa hanya mereka sajalah yang empunya. Di situ ditegaskan bahwa mereka de facto memiliki Kerajaan Allah. Ini warta gembiranya. Dan warta gembira tak butuh menjadi eksklusif.
TIN: Lalu?
GUS: Seperti disinggung di muka, ada gagasan bahwa kekayaan itu ganjaran dari kebaikan dan orang merasa tidak butuh apa lagi. Ini kekeliruannya. Sama kelirunya dengan pendapat bahwa kemelaratan itu akibat dosa. Dalam ayat 24 disebutkan alasan mengapa orang kaya celaka, yakni “telah memperoleh penghiburan”, tidak dikatakan bahwa mereka tak bakal memasuki Kerajaan Allah.
TIN: Jadi bila orang tidak terikat pada pikiran bahwa kekayaannya itu penghiburan tok – jadi eksklusif – melainkan pemberian yang dapat diamalkan maka orang yang bersangkutan juga memiliki Kerajaan Allah?
GUS: Jelas. Dan nanti dalam menggambarkan kehidupan Gereja perdana Lukas justru menggarisbawahi pengamalan milik bagi kepentingan bersama (Kis 2:44-45).
TIN: Bagaimana penjelasan ketiga sabda bahagia dan peringatan lainnya yang dibacakan hari Minggu ini?
GUS: Baiklah kita berpikir mengenai orang yang kini lapar dan menangis tapi yang nanti akan kenyang dan tertawa dalam Luk 6:21. Di situ tidak diajarkan agar kita menyukai kesedihan karena nanti akan tertawa. Bukan! Kita diajak berkepala dingin: hidup ini bukannya hanya bermuka satu. Kalau sekarang kebetulan sedang tipis rezeki, ya tak usah putus asa, nanti ada saatnya tertawa. Jadi sabda bahagia itu membawa kembali kita ke kenyataan. Hidup ini bukannya gelap melulu, bukannya pula gebyar melulu. Ayat 21 itu perlu dibaca bersama dengan ayat 25 yang mengatakan celakalah orang yang sekarang kenyang dan tertawa, karena nanti akan lapar dan berduka cita. Kedua ayat itu menaruh orang kembali ke dalam kenyataan hidup yang penuh variasi ini.
TIN: Jadi juga ayat 22-23 tentang pengucilan, pencercaan, penolakan akibat kesetiaan orang akan iman perlu dibaca bersama dengan ayat 26 yang membicarakan orang yang merasa keyakinan agamanya benar melulu? Maka dalam hal hidup beragama orang tak sepatutnya gampang merasa gagah bila dimartir atau merasa benar kalau dipuji-puji saleh. Begitu kan?
GUS: Lha anda melihat sendiri, wartanya masih cocok bagi zaman ini juga.
TIN: Omong-omong, apa cara menafsirkan Injil hari ini juga dapat dipakai menjelaskan bacaan pertama?
GUS: Tafsir ungkapan “terkutuklah…” dan “terberkatilah…” dalam bacaan pertama, Yer 17:5-8 pada dasarnya sama. Orang yang mengandalkan upaya manusia melulu disebut “terkutuk” karena pasti tak berhasil dan malah bangkrut. Tetapi orang yang mengandalkan Tuhan ialah orang yang “terberkati” karena upayanya akan subur dan berbuah. Dalam pasangan itu hendak disodorkan dua sikap dasar yang saling bertolak belakang. Sekaligus orang diajak berpikir, kehidupan yang nyata berada di antara kedua-duanya. Dan pasang surut hidup dapat dijelaskan dari situ. Orang yang percaya akan menerima kenyataan ini dengan terbuka. Dan maju terus.
Salam hangat,
Kredit Foto: http://2.bp.blogspot.com/- beatitudini-boston-madonna-queen-national-shrine-160mq-2001.jpg
Pastor Yesuit, anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia; profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificum Institutum Biblicum, Roma.