Kamis Putih (Yoh 13:1-15; 1Kor 11:23-26)
Rekan-rekan yang baik!
Pada hari Kamis Putih dibacakan kisah pembasuhan kaki para murid (Yoh 13:1-15). Tindakan ini dimengerti Petrus sebagai ungkapan merendah dari gurunya di hadapan para murid. Yesus meluruskan pendapat Petrus tadi sambil mengajarkan hal yang lebih dalam lagi.
Hanya dalam Injil Yohanes sajalah dikisahkan tindakan Yesus membasuh kaki para murid. Memang orang biasa membasuh kaki sendiri sebelum masuk ke ruang perjamuan sebagai ungkapan mau ikut pesta dengan bersih. Hanya tamu yang amat dihormati saja, misalnya seorang guru atau orang yang dituakan, akan dibasuh kakinya. Dan bila dilakukan, akan dijalankan sebelum perjamuan mulai. Hanya pelayan rumah sajalah yang melakukan pembasuhan kaki tetamu, bukan tuan rumah. Injil Yohanes mengubah dan bahkan membongkar peran-peran tadi.
Yesus sang Guru dan tuan rumah itu kini membasuh kaki para muridnya, para tamunya. Apakah dengan demikian hendak disampaikan ia menjalankan peran sebagai hamba, hamba yang diutus dari atas sana, dari Allah sendiri? Menarik. Ini bisa menjadi dasar spiritualitas pengabdian sang hamba yang terungkap dalam syair-syair Ebed Yahwe (Yes 42:1-4; 49:1-6; 50:4-11, terutama 52:13-53:12). Tetapi tak usah kita tergesa-gesa ke sana. Mari kita amati lebih lanjut terlebih dahulu peristiwa yang dikisahkan Yohanes. Pembasuhan ini terjadi selama perjamuan sendiri, bukan sebelum, seperti lazim dilakukan orang. Tidak biasa. Boleh jadi Yohanes memang sengaja ingin menyampaikan hal-hal yang tidak lazim sehingga pembacanya mulai memikir-mikirkan apa gerangan maksudnya. Bila begitu, pembasuhan kaki di sini boleh jadi bukan ditampilkan sebagai tanda memasuki perjamuan dengan kaki bersih, atau ungkapan pengabdian serta kerendahan hati yang membasuh, melainkan guna menandai hal lain. Apa itu? Baiklah didekati kekhususan Yohanes dalam mengisahkan kejadian-kejadian terakhir dalam hidup Yesus.
Yohanes menceritakan hari-hari terakhir Yesus dengan cara yang agak berbeda dengan ketiga Injil lainnya. Dalam Injil Markus, Matius dan Lukas, kedatangan Yesus ke Yerusalem mengawali peristiwa-peristiwa yang membawanya masuk ke dalam penderitaan, kematian dan kebangkitannya nanti, termasuk di dalamnya perjamuan Paskah. Yohanes lain. Kedatangan Yesus ke Yerusalem dan pembersihan Bait Allah dipisahkan dari peristiwa salib dan kebangkitan. Bagi Yohanes, serangkaian kejadian yang berakhir dengan kebangkitan itu justru berawal pada perjamuan malam terakhir. Berbeda juga dengan ketiga Injil lainnya, perjamuan ini bukan perjamuan Paskah, melainkan perjamuan malam yang diadakannya sebelum Paskah. Bagi Yohanes, Paskah yang baru akan terjadi dalam ujud pengorbanan Yesus di salib.
Ditekankan oleh Yohanes bahwa Yesus sungguh menyadari dirinya “datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah” (ay. 3). Karena itu mereka yang mengenalnya akan mengenali Yang Ilahi dari dekat. Ini semua diajarkan Yesus kepada para murid terdekat pada perjamuan malam terakhir itu dengan membasuh kaki mereka. Dia yang sadar berasal dari Allah dan sedang kembali menuju kepada-Nya ingin menunjukkan bahwa orang-orang terdekat itu sedemikian berharga, sedemikian terhormat.
Lebih dari itu, ia ingin berbagi “asal dan tujuan” – dari siapa dan menuju ke siapa – dengan orang-orang yang paling dekat ini. Inilah yang dimaksud dengan mengasihi “sampai pada kesudahannya” (ay. 1). Tidak setengah-setengah melainkan sampai saat tujuan kedatangannya terlaksana, yakni membawa manusia ke dekat Allah, pengasal terang dan kehidupan sendiri. Berbagi asal dan tujuan itu cara Yohanes mengutarakan bagaimana Yesus berbagi kehidupan seutuh-utuhnya dengan pengikut-pengikutnya. Sekaligus terasa ada ajakan bahwa mengikuti Yesus bukan sekadar menyertainya sebentar-sebentar, dari sini sampai situ, melainkan dari awal hingga akhir. Justru dengan demikian manusia akan menjadi manusia sempurna.
Petrus terheran-heran dan tak bisa menerima gurunya membasuh kakinya. Murid yang serba spontan ini melihat gurunya melakukan tindakan merendah. Hanya itulah yang dilihatnya. Ia terlalu berakar dalam kerohaniannya sendiri. Yang hendak diberikan Yesus ialah sesuatu yang baru yang belum berkembang dalam diri para pengikutnya, bahkan yang paling dekat seperti Petrus sendiri. Yesus mengatakan bahwa kelak ia akan mengerti walaupun kini belum menangkapnya (ay. 6-7). Petrus belum puas dan bersikeras menolak dibasuh kakinya oleh gurunya itu. Mari kita dengar penjelasan Yesus sendiri kepada Petrus dan kepada siapa saja yang merasa seperti Petrus di hadapan Yesus sore ini.
Yesus menjelaskan, “Jikalau aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam aku.” (ay. 8). Dia yang sadar bahwa “asal dan tujuan”-nya ialah Allah sendiri itu (ay. 3) kini hendak berbagi kehidupan dengan para murid! Bila asal dan akhir itu Allah sendiri, tentunya yang dimaksud ialah Allah sumber terang, sumber kehidupan. Utusannya datang ke dunia yang masih berada dalam ancaman kuasa gelap untuk membawa kembali orang-orang yang dekat padanya kembali ke sumber terang, kepada Allah, ke sumber kehidupan sendiri. Bila bisa dipakai istilah dalam budaya rohani Nusantara, maka berbagi “sangkan paran” kehidupan yang dilakukan Yesus menjadi jalan keselamatan bagi manusia.
Yesus juga menegaskan bahwa pembasuhan kaki dengan makna seperti di atas itu disampaikan sebagai teladan bagi para murid, agar mereka berbuat seperti itu satu sama lain (ay. 15), dengan maksud saling berbagi pengertian “dari mana dan ke mananya hidup ini”, pengertian yang sudah mulai diterima dari perjumpaan dengan sang Guru kehidupan tadi. Meneladan bukan sekadar untuk meniru, melainkan upaya untuk menghidupi kepercayaan bahwa Yesus itu datang dari Allah dan pulang kepada-Nya setelah berhasil memperkenalkan siapa Allah itu sesungguhnya. Bila demikian, rasa-rasanya memang ada sesuatu yang lebih dalam yang hendak dicapai dengan sikap saling melayani.
Boleh dikatakan, saat itulah lahir kumpulan orang yang hidup berbekal sikap Yesus yang menganggap sesama sedemikian berharga sehingga pantas dilayani dan dihormati. Inilah Gereja dalam ujudnya yang paling rohani, paling spiritual. Dalam arti inilah Gereja berbagi “asal dan tujuan” dengan Yesus sendiri. Kehidupan Gereja yang berpusat pada ekaristi baru bisa utuh bila dihidupi oleh bekal yang diberikan Yesus tadi. Hanya dengan cara itu Gereja akan tetap memiliki integritas. Memang kaum beriman masih berada di dunia, masih berada dalam kancah pergulatan dengan kekuatan-kekuatan gelap, tetapi arahnya jelas, ke asal dan tujuan tadi: ke sumber terang sendiri bersama dengan dia yang diutus oleh-Nya.
Karena itu tak perlu heran bila para murid tidak semuanya bersih. Yesus berkata dalam ay. 11 “Tidak semua kamu bersih.” Kata-kata itu tak usah ditangkap sebagai celaan atau peringatan melainkan sebagai pengakuan bahwa masih ada kekuatan-kekuatan gelap yang dapat menyesatkan orang yang berkehendak baik sekalipun. Kekuatan ini menghalangi orang untuk melihat dan mendalami “dari mana dan ke mananya” hidup ini. Tetapi nanti pada saat ia kembali kepada Allah, kekuatan ilahi akan tampil dengan kebesarannya dan saat itu jelas kekuatan-kekuatan gelap tidak lagi menguasai meskipun tetap dapat menyakitkan. Penderitaan tidak akan memporakperandakan kumpulan orang-orang yang percaya kepadanya. Malah menguatkan harapan. Inilah yang diajarkan pada hari ini.
DARI BACAAN KEDUA: 1Kor 11:23-26
Paulus mengajak umat di Korintus untuk semakin menyadari kenyataan rohani dari upacara ibadat ekaristi yang biasa mereka jalankan. Dalam beberapa kesempatan, di Korintus kiranya terjadi hal-hal yang kurang pantas, seperti menjalankan ibadah ekaristi seperti pesta makan minum belaka. Memang ekaristi berkembvang dari upacara dengan perjamuan di kalangan Yahudi untuk merayakan iman turun temurun mereka dibawa keluar dari penderitaan di Mesir. Di kalangan umat kristiani, kemudian ekaristi dirayakan untuk menghadirkan kembali ingatan akan tindakan Yesus dalam membangun komunitas para pengikutnya pada perjamuan malam sebelum ia mengalami salib. Oleh karena itu Paulus menggarisbawahi kekhidmatan perjamuan ekaristi dan berusaha agar umat tidak menyamakan dengan perjamuan makan biasa yang dikenal orang Korintus. Ini konteks petikan tadi, bisa dibaca pada 1Kor 11:7-22.
Pada awal petikan kali ini, yakni ay. 23, Paulus menandaskan kembali kekeramatan ekaristi yang berasal dari Yesus sendiri – sebagai orang Yahudi, Yesus tentunya merayakan perjamuan makan cara Yahudi, yakni memperingati tindakan pembebasan umat Perjanjian Lama dari Mesir tadi. Tetapi ditegaskan Paulus juga kebaruan ekaristi yang dirayakan Yesus sebelum mengalami salib tadi, yakni bahwa ia telah memberikan dirinya – tubuhnya bagi orang banyak (ay. 24) dan telah memeteraikan, meresmikan perjanjian yang baru (yakni perjanjian keselamatan orang banyak sekarang) dengan darahnya – maksudnya, hidupnya. Jadi kehidupan yang dikorbankan bagi orang banyak, itulah yang jadi pokok yang dirayakan dalam perjamuan ekaristi. Begitu Paulus. Ini juga kenyataan pengorbanan Yesus yang diingat para pengikutnya – maksudnya dipegang dalam batin dan kesadaran – sampai “ia datang”. Maksudnya sampai pengorbanan yang sudah dijalankannya itu mencapai kepenuhannya, sampai orang banyak mengalami penyelamatan utuh. Ada ajakan untuk memberitakan pengorbanan yang membawakan penyelamatan seperti ini (ay. 26)
Pastor Yesuit, anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia; profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificum Institutum Biblicum, Roma.