Seorang kakek tua berjanggut putih menyapaku dengan lembut berkali-kali, “Josep bangun. Seppp bangun Seppp. Josep bangun”. Kata-kata itu terus mengganggu tidur nyenyakku di siang hari yang dingin. Ketika aku membuka mata, otakku langsung dipenuhi oleh kepanikan. Kulihat jam dinding sudah menunjuk Pk. 15.45. “Oh my God, Oh my God!“, teriakku spontan, mengapa alarmku tak berbunyi, 15 menit lagi kuliah akan dimulai, sementara sekarang aku masih di kamar.
Kepanikan ini memang bermula dari keteledoranku mengacuhkan informasi di papan pengumuman kampus di setiap awal tahun ajaran. Untuk semester ini aku mengambil mata kuliah yang penting dan menentukan kelanjutan studiku di kota Roma. Kuliah ini sangat sulit dan diajar oleh dosen yang sudah sangat senior di kampus, yaitu mengotak-atik teks-teks kuno bahasa asli Kitab Samuel. Mulanya aku beranggapan bahwa pelajaran ini baru akan dimulai minggu depan, tetapi dua hari yang lalu baru aku tahu bahwa pelajaran untuk materi ini ternyata sudah dimulai sejak 2 minggu yang lalu, alhasil aku sudah ketinggalan 2 pelajaran penting yang hanya diikuti oleh 6 mahasiswa ini. Jadi bisa dibayangkan betapa buruknya aku di mata dosen senior ini nantinya, sangat mungkin aku di DO dari pelajaran ini.
Dengan baju tidur seadanya, langsung kuraih jaketku. Kukenakan sepatuku seadanya, kuambil tasku yang kuisi dengan laptop dan buku seadanya. Kuberlari ke luar asramaku yang cukup besar. Jarak asramaku dengan kampus ditempuh kira kira 30 menit dengan bis umum, itupun kalau semuanya lancar. Aku harus dua kali naik bis umum yang sore itu sangat padat sekali keadaannya. Bus pertama yang kunaiki jalannya seperti kura-kura yang sudah waktunya bertelur. Sambil berdiri berhimpit-himpitan, hatiku terus menerus melirik jam tanganku. Malangnya aku harus melewati basilika Santo Petrus, yang selalu dipadati dengan bis-bis turis dan lalu lalang orang banyak.
Karena tak sabar dengan kemacetan yang luar biasa di sekitar Basilika Santo Petrus, aku turun dari bis dan langsung berlari sekencang mungkin. Angin dingin sore itu tidak mampu menghibur paru paruku yang nyaris terbakar karena dipompa terlalu keras. Karena satu hal yang paling aku takuti dalam hidup yaitu aku takut terlambat, apalagi keadaanya seperti yang aku alami sekarang ini. Keterlambatanku semakin mencoreng wajahku di mata dosen. Hanya satu yang kuulang-ulang dalam hatiku, “Tuhan selamatkan aku dari situasi buruk ini, aku percaya Engkau sungguh ajaib”.
Aku turun dari bis yang kedua, langsung aku berlari sekencang mungkin dan aku menyeberang di tempat yang tidak semestinya. Hampir sebuah bis besar menyerempetku, membuat jantungku semakin tak menentu. Aku terus berlari. Pk. 16.00 akhirnya sampai juga aku di kampus yang menurutku paling jelek bangunannya se-kota Roma namun menjadi salah satu pusat studi kitab suci seluruh dunia.
Kepanikan yang kedua setelah aku sampai di kampus adalah aku tidak tahu di ruangan mana pelajaran itu berlangsung. Aku mencari dan berlari, di situasi yang sudah sangat terlambat itu, akhirnya kutemukan ruangan tersebut. Dengan takut-takut kubuka pintu ruangan tersebut yang ternyata dimatikan lampunya. Di dalamnya sang dosen senior sedang menggunakan OHP untuk menerangkan materinya. Kedatanganku tentunya mengganggu jalannya pelajaran, karena pelajaran langsung terhenti terganggu oleh aku yang mencari kursi kosong dalam situasi gelap.
Pelajaran pun berlangsung setelah aku dapat tempat duduk. Baru kusadari kakiku sakit sekali sekarang karena berlari, dadaku pun sesak bukan main. Kulihat di layar, bahasa-bahasa kuno dari kitab 1 Sam 2, yang sama sekali tidak kumengerti konteksnya, maklum aku sudah ketinggalan 2 pelajaran. Dua jam kudengar dosen itu berbicara sambil menanyai mahasiswa yang hadir, ketika tiba giliranku, pertanyaan-pertanyaan tersebut kujawab seadanya.
Di akhir pelajaran, dengan muka penuh penyesalan dan pasrah, kudatangi dosen senior tersebut untuk menanyakan apakah aku diperbolehkan mengikuti kuliah ini. Dosen tua itu pun menjawab, “Ohh anakku, kamu adalah penyelamat kami”. Aku pun terbengong-bengong sambil mencoba memahami kata-katanya. Dia melanjutkan, “Untung kamu datang, sejak 2 minggu lalu kami menunggu nunggu satu orang mahasiswa lagi yang mau mengikuti kuliah ini, keikutsertaanmu melengkapi kekurangan peserta yang kami tunggu-tunggu selama ini”.
Mendengar kata-kata dosen senior tadi aku tercengang dasyat. Yang ada di kepalaku hanya kata-kata, “Oh Tuhan Kau selamatkan hidupku sekali lagi. Apa yang tidak mungkin, menjadi mungkin dan indah”. Sepulang kuliah aku mampir ke salah satu Basilika, aku berdoa dan bersyukur sejadi jadinya. Sungguh benar Tuhan, Engkau terlalu ajaib bagi pastor kecil seperti aku ini.
Ilustrasi: Keajaiban Tuhan (foto diambil dari www.gurusfeet.com)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.