SEORANG public speaker sering kali dihadapkan pada kondisi komunikasi yang membuat orang terjebak pada kelaziman. Sebagai pembicara kita menganggap audiens memahami apa yang kita sampaikan padahal tidak.
Untuk itu menurut Errol Jonathans, seorang public speaker wajib memiliki kekuatan untuk betul-betul bisa menunjukkan apa yang ia maksudkan lewat kata-kata sekaligus menyampaikannya dengan ekspresi yang tepat.
Berdasarkan data, 82 persen orang suka berelasi dengan pendengar yang punya empati, bukan seorang pembicara. Ini lebih pada konteks komunikasi personal dan dimiliki oleh pendengar-pendengar yang baik.
“Maka jika Anda mampu mendengarkan dengan baik, Anda akan menjadi tempat untuk curhat,” terang Errol Jonathan, di hadapan puluhan frater peserta Pelatihan Public Speaking di Seminari St. Petrus Ritapiret, Maumere Flores NTT, Sabtu (3/10).
Karena itu, seorang pembicara atau public speaker perlu memahami persepsi pendengar. Persepsi pendengar itu berbeda dengan persepsi kita yang menyampaikan sesuatu. Bahkan terkadang kita tidak tahu persepsi pendengar tentang topik yang kita bicarakan bersama karena biasanya pendengar akan mempersepsikan pesan sesuai batasannya dan mengembangkan pesan sesuai versi dirinya.
“Pendengar tidak akan pernah salah. Yang salah adalah kita yang membuat multi tafsir, multi bias,”terang Errol Jonathans.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.