TAHUN 2002, lokasi Kristus Raja Finduar -di desa Olilit, Kepulauan Tanimbar di Kabupaten Maluku Tenggara Barat- disepakati oleh umat Katolik Tanimbar menjadi sebuah tempat rohani. Sejak itu, pada perayaan Hari Raya Kristus Raja setiap tahunnya, umat Katolik Tanimbar memadati lokasi tersebut untuk berkumpul, merayakan Ekaristi dan memberikan penghormatan dalam tari dan nyanyian oleh ribuan umat kepada Kristus Raja Semesta Alam. Dalam acara tersebut, patung Kristus Raja akan diserahkan dari paroki sebelumnya ke paroki berikutnya untuk kemudian selama setahun penuh patung tersebut berada di paroki penerima. Tradisi itu terus berlangsung hingga sekarang.
Perayaan Kristus Raja -demikian disebut- adalah keunikan budaya Katolik Tanimbar yang saya rasa sangat “100% Indonesia 100% Katolik.” Gereja mengadakan sebuah patung Tuhan Yesus Kristus setinggi kurang lebih dua meter, yang akan diarak dari rukun (lingkungan) ke rukun, stasi ke stasi, paroki ke paroki di Tanimbar. Dari sepuluh paroki, tahun ini giliran Paroki Petrus Paulus – Lorulung. Saya berkesempatan mengunjungi ‘devosi’ ini di stasi Kristus Raja – Tumbur.
Begitu banyak hal yang membuat saya sungguh kagum dan semakin bersyukur untuk inkulturasi Gereja Katolik yang memerdekakan di daerah. Patung Kristus Raja tersebut akan diarak terus-menerus ke setiap paroki bergiliran tiap tahun di Kepulauan Tanimbar, lambang kehadiran Tuhan Yesus Kristus yang mengunjungi umat-Nya. Setiap paroki diberi kebebasan untuk menentukan rute patung di wilayahnya.
Sebuah stasi akan sangat mempersiapkan kedatangan patung tersebut. Nah, hal yang sama yang dilakukan di seluruh stasi adalah tarian nonstop selama patung itu ‘menetap’ di sana. Saya mengikuti perarakan dari rukun St. Blasius menuju Sta. Teresa. Ketika saya tiba bersama tim, tarian nonstop -yang merupakan lambang pemujian dan penyembahan kepada Tuhan, devosi- itu masih berlangsung di rukun St. Blasius. Nonstop? Rukun ini kedapatan tiga hari untuk pentahtaan patung Kristus Raja. Sama seperti yang lain, rukun St. Blasius sudah ‘berjaga’ 3×24 jam nonstop sebagai penghormatan kepada Tuhan Yesus Kristus. Mereka menari diiringi lagu rohani yang diputar lewat sound system mobil umat, dari anak-anak sampai lansia, dari pagi sampai pagi lagi.
“Biasanya jam sembilan dan duabelas malam, mereka berhenti menari sejenak untuk berdoa bersama. Keluarga juga diberi kesempatan doa pribadi. Setelah itu, menari lagi,” kata Romo Thomy Lerebulan, Pr. Pastor Paroki Petrus Paulus – Lorulung selaku tuan rumah patung tahun ini. Paroki Lorulung memilih mengarak patung hingga ke setiap stasi sampai setiap rukun.
Patung itu ditahtakan di area yang memang sudah disiapkan khusus di setiap rukun. Bila patung sudah harus berpindah, ‘singgasana’ tersebut akan digunakan untuk acara rukun, bina iman SEKAMI, dll. Patung dihias dengan baju adat setempat dan kain tenun. Ada dua pengawal yang membawa tombak besi runcing, siap membukakan jalan bagi arak-arak patung.
Sebelum patung Kristus Raja diarak ke rukun Sta. Teresa, warga rukun mengikuti ibadat singkat. Diawali doa tobat dan pembacaan Firman Tuhan, selanjutnya 12 orang yang sudah dipersiapkan secara khusus akan mengangkat patung tersebut.
“Dalam tiga hari ini, patung sudah diarak dan berhenti di depan setiap rumah sambil menghadap ke arah keluarga yang akan berdoa mohon berkat sekaligus bersyukur kepada Tuhan,” ujar Romo Thomy. Persis adorasi, saya pikir. Yesus melawat umat-Nya satu persatu.
Satu momen yang sungguh-sungguh berkesan adalah, ketika patung itu mulai berangkat dari rukun St. Blasius, kebanyakan umat menangis, terutama kaum wanita. Mereka semua menangis tersedu-sedu. “Meskipun mereka sadar bahwa Tuhan tetap tinggal bersama manusia, mereka terharu; karena telah merasakan perjumpaan yang intim, dan tidak sanggup melepas kepergian ‘Tuhan yang telah berkunjung’ ke rukun mereka,” jelas Romo Thomy.
Tantangan Katekese
Saya membayangkan, bila di kota lain -apalagi di Jakarta- diadakaan devosi seperti ini, umat pasti lebih bertumbuh. “Kedatangan Kristus Raja di rukun sangat dipersiapkan warga setempat. Ada yang berkelahi dan langsung berdamai karena rukunnya akan menyambut patung, ada lagi yang percaya kematian warga setelah kehadiran patung di stasinya lambang kutuk: bahwa pasti ada yang ‘tidak beres’ dengan orang tersebut. Padahal ini interpretasi yang kurang tepat,” kata Romo Paul Kalkoy, Pr., Ketua Komisi Komsos Keuskupan Amboina.
Romo Tomy sepakat, bahwa katekese masih terus menjadi PR jangka panjang. Yang disembah bukanlah patungnya, melainkan pribadi yang dilambangkan dari patung tersebut. “Juga diajarkan terus kepada umat bahwa Ekaristi lebih penting dari devosi seperti ini… Meskipun devosi Kristus Raja bisa jadi sarana rohani untuk menumbuhkan iman,” kata Romo Thomy.
Mengutip ensiklik Redemptoris Missio yang ditulis St. Yohanes Paulus II, inkulturasi seperti di Tanimbar ini adalah cara Gereja menginkarnasikan Injil dalam budaya yang berbeda-beda, dan di waktu yang bersamaan, memperkenalkan orang-orang kepada persekutuannya lewat budaya itu (RM no. 52).
Daripada kita memperdebatkan sah atau tidaknya suatu inkulturasi secara dogma, kita diajak secara lebih dewasa melihat buah positif dari inkulturasi. St. Yohanes Paulus II menambahkan, Gereja menyalurkan nilai-nilainya kepada beragam budaya, sekaligus mengambil elemen baik yang sudah ada di budaya itu dan memperbaruinya dari dalam. “Melalui inkulturasi, gereja menjadi tanda kedewasaan dari hakekat Gereja itu sendiri. Inkulturasi juga adalah instrumen misi yang lebih efektif” (RM no. 52).
penyunting: Romo Paul Kalkoy, Pr.
referensi tambahan: disadur dari catholicnews.sg
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.