A. Windarto, Perkumpulan MeNaRa, Solo
Seorang bapak mengeluh bahwa belum terlalu lama pihak sekolah swasta, tempat anaknya belajar, meminta pendapat secara tertulis kepada para orang tua siswa tentang pemasangan AC di sejumlah kelas. Yang dikeluhkan adalah cara yang ditempuh dan alasan yang diajukan untuk memperoleh legitimasi terhadap pemakaian fasilitas modern itu terlalu absurd. Bayangkan, hanya dengan mengumpulkan pendapat dan disertai dengan rasional bahwa AC terbukti mampu meningkatkan gairah belajar peserta didik, maka cukuplah bagi pihak sekolah untuk mengutip sumbangan dari para orang tua guna pengadaan sarana belajar-mengajar itu.
Cukup jelas bahwa betapa keluhan sang bapak di atas menampakkan tidak tersedianya pilihan dan/atau celah otonom untuk memutuskan yang lain dari yang sudah ditetapkan oleh pihak sekolah. Meski sebenarnya sang bapak sendiri telah membuat “surat keluhan” dan mengirimkannya ke pimpinan sekolah, akan tetapi tidak ada tanggapan apapun yang diberikan. Dengan demikian, sang bapak (dan juga anaknya) adalah korban dari kebijakan pihak sekolah yang selama ini diakui, dan bahkan diaku-aku, sebagai salah satu “agen pencerdas(an) kehidupan bangsa”!
Bagaimana “kenyataan” seperti ini dapat dijelaskan dengan menunjuk pada fakta akan rusaknya keadaban publik dalam dunia pendidikan yang tampak pada tidak adanya perimbangan dan/atau kontrol silang antara pihak sekolah, penggagas dan/atau pemasok fasilitas AC, orang tua dan peserta didik?
Penting dicatat bahwa pihak sekolah bukanlah satu-satunya “pemutus kata” (baca: poros kekuatan tunggal) dalam pengambilan kebijakan termaksud. Entah dari siapa gagasan untuk meng-AC-kan kelas itu muncul, namun dapat ditangkap bahwa ada semacam jaringan atau jenis hubungan “tersembunyi” yang turut mempengaruhi dan menentukan pelaksanaan ide(ologi) tersebut. Pengamat kebudayaan Indonesia, Saya Shiraishi, menemukan bahwa “keluarga” adalah sebuah jaringan penting untuk menjalani hidup di sebuah kota. Yang dimaksud dengan “keluarga” bukanlah dalam artian ikatan biologis dan hukum belaka, melainkan adalah kenalan, koneksi, tetangga, dan juga “bapak dan anak-buah” (Pahlawan-pahlawan Belia. Keluarga Indonesia dalam Politik, Jakarta: KPG, 2001, h. 41-47).
Temuan Shiraishi di atas dengan jelas mengungkap betapa jaringan atau hubungan seperti itu merupakan identitas politik, dalam arti bukan paruh waktu dan setengah hati, dan bahkan berisiko. Tak heran, kalangan “bapak” akan mati-matian memberikan perlindungan terhadap “anak-buah”nya demi terjaganya kontrol atas hubungan atau jaringan dalam “keluarga”. Dalam konteks inilah, lingkungan ber-AC dapat dibaca sebagai selubung perlindungan paling efektif dan operatif untuk menjaga (mengasingkan?) anak-anak dari penderitaan fisik, seperti panas, debu, dll. Dengan demikian, anak-anak dengan mudah dapat dikontrol berdasar panduan perilaku “sopan santun” dan “kasih sayang” dari orang tua.
Gagasan seperti itu tampak (dominatif) dalam kebijakan peng-AC-an ruang-ruang kelas pada kasus di atas. Pihak sekolah dengan kewenangan sebagai “orang tua asuh” atau “pengganti” bapak dan ibu merasa sangat perlu untuk melindungi anak-anak agar tidak lepas kendali dan bergerak tanpa aturan. Dengan diselubungi ruang kelas berAC, maka terciptalah ketergantungan terhadap sesuatu “kenyamanan” yang sebelumnya belum atau bahkan sudah pernah dirasakan oleh anak-anak. Sebuah “kenyamanan” yang sesungguhnya begitu mencengkeram dengan kuat, tetapi justru dianggap enak-enak saja.
Dalam hal ini, kekuasaan bisnis tampil sebagai poros kekuatan lain yang mampu menyamarkan atau mengaburkan perbedaan antara komersialisasi dan eksploitasi. Meski, keduanya adalah kembar siam yang sulit dipisahkan dengan operasi apapun. Para pemasok fasilitas AC di sekolah tentu tidak terlalu resah dengan kenyataan bahwa anak-anak usia sekolah dasar masih lebih banyak kerja motoriknya daripada pemikiran kognitifnya. Yang justru dihitung adalah berapa keuntungan yang dapat diraih dari hasil jual-beli produk-produknya selama ini. Asal tidak rugi saja, berarti masih tetap ada harapan untuk berbisnis dengan cara apapun. Bahkan jika perlu, bermain dengan teori kepuasaan konsumen, seperti asal terasa dingin atau sejuk, maka jual-beli AC menjadi sah!
Apalagi, setiap orang tua tidak akan bercita-cita bahwa hidup anak-anak tinggal dalam kubangan penderitaan. Menjauhkan mereka dari gangguan sekecil apapun merupakan persyaratan utama menjadi bapak dan ibu. Dengan atau tanpa AC pun, anak-anak akan dirawat atau dipelihara sedemikian rupa sehingga mereka jangan sampai merasakan penderitaan fisik (haus, lapar, lelah, dsb.). Dengan demikian, setiap aturan atau tatacara hidup bersama diciptakan berdasar sebuah panduan (ke)keluarga(an) agar semua tahu siapa dirinya, tahu siapa yang lain, dan mengandaikan yang lain tahu siapa diri mereka. Pihak sekolah dengan sengaja memanfaatkan pengetahuan seperti ini untuk menunjukkan betapa penting dan mendesaknya AC dalam proses belajar-mengajar agar menghasilkan prestasi yang dapat diperhitungkan secara material bagi semua pihak.
Tidak adanya desakan, yang mengarah pada pembongkaran fakta tentang rusaknya keadaban publik dalam dunia pendidikan seperti ini, hanya akan menyisakan keluhan yang (sementara) hanya diceritakan oleh sang bapak. Dan, memang belumlah cukup mengingat dibutuhkannya ayunan langkah-langkah yang nyata untuk mewujudkan harapan akan perubahan. Tentu saja, masyarakat sekolah adalah pihak yang dituntut untuk berjaga-jaga agar tidak ketiduran di saat pencuri (laba) masuk ke dalam dunia pendidikan. Semoga!
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.