TIGA bulan setelah publikasi ajaran Paus Fransiskus tentang Pernikahan dan Keluarga, uskup dan uskup konferensi di seluruh dunia terus mempelajari cara-cara praktis penerapan dokumen tersebut. Beberapa tampak belum sepakat, khusunya mengenai maksud Paus Fransiskus dengan dokument tersebut.
Pada minggu pertama bulan Juli, Uskup Agung Philadelphia, Charles J. Chaput, misalnya, telah mengeluarkan Pedoman Pastoral mengenai implementasi pengajaran dokumen tersebut; mantan presiden Dewan Kepausan untuk Keluarga; dan La Civilta Cattolica , jurnal Jesuit Italia, merilis sebuah wawancara panjang dengan Kardinal Christoph Schonborn dari Wina , teolog bagi Paus Fransiskus untuk menjelaskan dokumen tersebut kepada media.
Paus Fransiskus terus menegaskan bahwa seruan “Amoris Laetetia” (“The Joy of Love”) berisikan keutaman dan keindahan hidup perkawinan dan Keluarga dan kewajiban gereja untuk mendukung dan meneguhkannya. Tapi banyak perdebatan telah muncul dengan lebih berfokus pada masalah penerimaan sakramen bagi pasangan seturut ajaran tradisional Gereja Katolik yang didefinisikan sebagai “Situasi Khusus” , terutama bagi pasangan yang bercerai dan menikah kembali secara sipil tanpa melalui proses pembatalan perkawinan.
Mengikuti kembali kata-kata Yesus sendiri tentang tak terceraikannya perkawinan dan praktek gereja selama berabad-abad, Uskup Agung Chaput mendesak para imam untuk terus mendampingi pasangan yang telah bercerai, dan mengingatkan mereka akan ajaran gereja yang mengharuskan mereka untuk menahan diri dari keintiman seksual.
“Menjalankan hidup sebagai saudara-saudari diperlukan bagi pasangan yang telah bercerai dan yang secara sipil telah menikah kembali lalu kemudian melakukan rekonsiliasi melalui sakramen tobat, yang pada akhirnya membuka jalan untuk menyambut komuni dalam ekaristi,’ demikian isi pedoman yang dikeluarkan oleh Uskup Agung Chaput, salah satu angota dari Sinode para Uskup 2015.
Para pastor, para uskup disebutkan memiliki kewajiban untuk membimbing umatnya, mengingat hati nurani setiap orang pada intinya tidak bertentangan dengan kebenaran moral objektif. Walaupun pada kenyataannya seolah-olah hati nurani dan kebenaran objketif merupakan dua prinsip moral yang saling bertentangan dalam pengambilan keputusan.
Kardinal Antonelli, sebagaimana diberitakan oleh wartawan Itali Sandro Magister, mengatakan kebenaran objektif dari ajaran yang disampaikan Paus Fransiskus adalah apa yang selalu gereja ajarkan. “Hal ini diibaratkan menjadi latar belakangnya. Di bagian depan ditempatkan subjek moral individual dengan hati nuraninya, dengan disposisi interiornya, tanggung jawab pribadi, yang mana hal itu tidak mungkin dirumuskan menjadi sebuah peraturan umum.”
Di zaman ketika Kekristenan begitu dominan, fokus kita adalah pada masalah kebenaran objektif: apakah orang hidup sesuai dengan ajaran gereja atau tidak? Siapapun yang tidak taat pada peraturan dan dinyatakan bersalah, ia dikeluarkan dari komunitas Kristen.
Namun, kata dia, karena pengaruh agama Kristen berkurang “dapat diasumsikan bahwa beberapa orang hidup dalam situasi obyektif teratur tanpa tanggung jawab subjektif penuh.” Itu sebabnya, mengapa St. John Paul II percaya bahwa inilah waktu yang tepat untuk mendorong kembali pasangan yang telah bercerai dan telah menikah secara sipil untuk berpartisipasi lebih penuh dalam kehidupan gereja, meskipun belum bisa menerima sakramen ekaristi.
“Paus Fransiskus, dalam konteks budaya sekularisasi bahkan lebih maju dan lebih jauh, tapi tetap dalam garis yang sama, ” tulis kardinal. “Tanpa berkutat pada kebenaran obyektif, ia memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab subjektif, yang sewaktu-waktu dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan.”
“Paus, karena itu, membuka ruang baru bahkan untuk masuk ke sakramen rekonsiliasi dan Komuni Ekaristi,” tulis Kardinal Antonelli.
Pendekatan seperti ini tentu membawa resiko, termasuk munculnya pandangan yang keliru bahwa gereja menerima kembali pasangan yang bercerai dan menikah lagi, sehingga ia meminta Paus Fransiskus untuk lebih eksplisit lagi dengan pedoman yang lebih otoritatif.
=======
Sumber: catholicnews.com
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.