Beranda Jendela Alkitab Harian Tidak Ada Sesuatupun yang Kebetulan, Kamis 24 Juli

Tidak Ada Sesuatupun yang Kebetulan, Kamis 24 Juli

Ilustrasi: Kitab Suci (foto diambil dari www.lakesidepc.org)

Di suatu hari Minggu pagi, jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.30, tanda mamaku sudah berteriak-teriak untuk membangunkan anak-anaknya yang masih bermalas-malasan di atas tempat tidur. Satu demi satu kami dibangunkan lalu digiring ke kamar mandi. Karena kami menggunakan kamar mandi yang cuma ada satu di rumah kami, maka diperlukan waktu yang panjang hanya untuk persoalan mandi saja.

Hari minggu adalah hari wajib ke Gereja, waktu itu aku masih kelas 3 SD, adikku yang laki-laki masih kecil dan adikku yang bungsu belumlah dilahirkan. Aku beserta kedua kakakku HARUS ikut mama dan papa ke Gereja Santo Yosep Matraman untuk mengikuti Perayaan Ekaristi pukul 08.30. Dengan naik BMW roda tiga alias Bajaj Merah Warnanya, kami duduk berhimpit-himpitan menuju Gereja yang tidak terlalu jauh dengan rumahku.

Di dalam Gereja kami duduk berderet-deret satu baris. Aku duduk di sebelah kakak laki-lakiku. Pada waktu itu aku belum tau apa itu makna Perayaan Ekaristi, tapi bagian yang paling menarik bagiku adalah kotbah dari Pastor Bolly Lamak SVD. Kotbahnya yang lucu dan menarik, bisa membuat kami semua yang mendengarnya tertawa terbahak-bahak.

Setelah kotbah selesai, suasana kembali menjemukan bagiku. Itu adalah saat paling enak untuk bercanda dengan kakakku. Entah iseng-isengan, atau apa sajalah yang bisa dibuat oleh seorang anak kecil dalam kebosanannya. Melihat kami anak-anaknya bercanda di Gereja, mamaku tidak henti-hentinya mendaratkan cubitan di paha-paha kami, tanda supaya kami segera diam. Setelah dicubit biasanya aku diam 5 menit, tetapi setelah itu, kembali bercanda lagi. Maka setiap kali misa tidak cukup hanya dengan satu cubitan.

Saat Perayaan Ekaristi selesai adalah saat yang paling aku tunggu-tunggu. Karena di depan Gereja sudah menunggu penjual-penjual makanan yang sudah sangat khas bagi umat matraman. Sebut saja MIE JUHI, pasti umat Matraman tau di mana gerobak mie juhi yang terletak di samping telepon umum di depan sekolah Marsudirini. Atau ada juga enci-enci tukang bacang, roti baso, siomay, es doger atau ada juga tukang hamburger yang pada waktu itu harganya masih 500 rupiah atau 750 rupiah pakai keju tipis di tengahnya.

Entah apa yang mendorong mama dan papaku pada pagi itu ketika melihat penjual alat-alat dan buku-buku rohani di depan gereja, mereka membelikan kami anak-anaknya KITAB SUCI BERGAMBAR untuk anak-anak. Bukunya tidak terlalu besar tetapi cukup tebal untuk ukuran anak-anak. Berwarna hijau muda dan layout-nya horisontal. Di dalamnya berisi kisah-kisah menarik dalam Kitab Suci mulai dari Kisah Adam dan Hawa dalam Kitab Kejadian sampai Janji akan Dunia Baru di kitab Wahyu. Satu kisah diceritakan cukup dengan satu halaman. Yang paling menarik adalah di antara kisah-kisah pendek tersebut terdapat ilustrasi atau gambar-gambar menarik yang sangat bagus.

Meski aku bukan kutu buku sejak kecil, tapi aku mulai membaca Kitab Suci bergambar tersebut dari awal sampai akhir. Dari gambar yang tertera dalam buku tersebut aku bisa membayangkan bagaimana kisah-kisah dalam Kitab Suci itu mengalir. Imajinasiku bisa melayang bebas tanpa batas, misalnya bagaimana membayangkan baju indah Yusuf disobek-sobek oleh saudara-saudaranya, lalu ia dijebloskan ke dalam sumur dan pada akhirnya dijual dan menjadi raja di Mesir, lalu juga bagaimana kisah kesetiaan Ruth yang tidak meninggalkan mertuanya yang sudah janda, bagaimana Tuhan Allah meruntuhkan menara Babel karena kesombongan manusia, bagaimana Tuhan Yesus mengadakan mukjizat pertama di Canna, atau juga bagaimana membayangkan dunia baru dalam kitab Wahyu, di mana digambarkan ada seorang anak kecil sedang bermain-main di dekat singa dan sarang ular.

Bagiku pada waktu itu, pemberian mama dan papaku kepada kami anak-anaknya dalam bentuk Kitab Suci bergambar, bukanlah hadiah yang aku harapkan. Tetapi siapa sangka setelah 20 tahun kemudian aku baru bisa menyadari bahwa “pemberian iseng-iseng” tersebut adalah hadiah paling indah dalam hidupku.

Sudah pasti mama dan papaku ketika membeli buku tersebut di depan Gereja Santo Yoseph Matraman, tidak penah membayangkan bahwa salah satu anaknya akan menjadi seorang imam. Ataupun membayangkan di masa depan salah satu dari anaknya akan berkutat 7 jam sehari untuk menggeluti lembaran demi lembaran Kitab Suci. Saat ini aku menjadi seorang imam yang sedang belajar mendalami Kitab Suci secara khusus. Bagaimana kisah-kisah di dalam Kitab Suci bisa tertanam di dalam pikiran dan batinku sudah barang tentu merupakan andil besar dari sebuah buku sederhana pemberian orang tuaku dan menjadi “bacaan rohaniku” sejak kecil. Bagaikan seseorang yang membangun gedung tinggi, memerlukan fondasi yang kokoh kuat dan dalam, demikianpun halnya dengan Kitab Suci bergambar tersebut menjadi pijakan dan ikatan batinku dengan dunia yang aku geluti saat ini.

Dari kisahku aku hanya ingin membagikan pengalaman bahwa hadiah yang paling indah adalah suatu hadiah yang mempunyai makna abadi, tidak lekang oleh waktu, dan mampu memberi makna tersendiri dalam hidup kita di masa lalu, saat ini ataupun menerobos dimensi di masa depan. Hadiah tersebut tidak tergantung pada besar kecil harga atau kualitasnya tetapi terletak pada dinamika kehidupan itu sendiri.

Apakah ini hanya SEBUAH KEBETULAN BELAKA? Saya rasa tidak demikian. Saya percaya campur tangan Roh Kudus yang bekerja di dalam hal-hal yang tersembunyi dan tak tersadari, inilah yang disebut misteri. Misteri itu akan terkuak pada saatnya, seperti yang aku alami saat ini.
Kasih orang tua kepada anaknya adalah suatu anugerah yang sangat istimewa. Kasih itu menembus batas ruang dan waktu, tidak bisa dipisahkan oleh dimensi kehidupan yang berbeda sekalipun. Bahkan saat kulihat papaku bersayap seperti malaikatpun, aku masih bisa merasakan kasihnya padaku. Dia mengingatkanku kembali bagaimana kasihnya pada kami anak-anaknya, meski saat itu tidak satu orang pun yang menyadarinya.

Bagi setiap orang tua yang membaca kisahku ini, janganlah ragu memberikan kepada anak-anak, sesuatu yang sepertinya “tidak berharga” di mata dunia. Dunia boleh saja menawarkan aneka macam kenikmatan dan kesenangan, tetapi The world is not enough, dunia saja belum cukup, karena hidup kita tidak hanya terbatas di dunia ini saja. Berilah dengan kasih, sebab kalau sesuatu berdasarkan kasih, maka akan berbuah kasih juga.

Bagi setiap anak yang membaca kisahku ini, terimalah dengan penuh syukur setiap pemberian dari orang tuamu, anggaplah itu sebagai harta yang tak bisa dibandingkan dengan tumpukan emas dan berlian.

Ilustrasi: Kitab Suci (foto diambil dari www.lakesidepc.org)