“Hikmah dari kegiatan pameran tentang Thomas More saat ini di AS, tepatnya di Gedung Santo Yohanes Paulus II Washington D.C, jelas bahwa ia lebih bermakna untuk waktu sekarang dari pada waktu lainnya,” demikian Michael J. Rubin dalam tulisannya tentang More di aleteia.org
MEMILIKI lebih dari 60 pennggalan bersejarah tentang kehidupan Thomas More serta beberapa tentang St. Johnn Fisher, sebuah pameran kini dibuka setiap harinya di Gedung Santo Yohanes Paulus II di Washington D.C sampai Maret 2017. Pameran mengambil tema: Hamba Allah Pertama: Kehidupan dan Karya Thomas More – mengacu pada kata-kata terakhir sebelum More dipenggal kepalanya: “Aku mati sebagai hamba raja yang baik, tetapi pertama-tama sebagai hamba Allah”.
Ketika pameran memberi perhatian lebih pada masa kehidupan awal More, hal ini mengingatkan kita pada peristiwa eksekusinya oleh Raja Henry VIII, ditandai dengan penolakan Paus Klemens VII untuk membatalkan pernikahan awal Henry dengan Katarina dari Aragon. Raja Henry lalu menanggapinya dengan menyatakan dirinya sebagai Pemimpin Tertinggi Gereja di Inggris sehingga dia bisa melakukan pembatalan terhadap pernikahan sebelumnya dan menikah lagi dengan kekasih barunya, Anne Boleyn. More tahu bahwa publik menentang raja, karena hal itu membahayakan keluarganya. More mengundurkan diri secara diam-diam. Tapi karena reputasi More dalam pengetahuan dan kebajikan, Herny bertekad untuk menikah lagi dan memaksa rakyat Inggris untuk mengakui kepemimpinannya dalam Gereja Inggris. Ketika More menolak untuk melakukan hal itu, ia dipenjara, dihukum karena berkhianat, dan dipenggal kepalanya.
Jadi, More dipenggal kepalanya pada masa Gereja mencapai puncak kekuasaannya – tapi juga karena ia ingin melakukan apa yang para Martir lakukan: memberikan diri demi kebenaran. Raja Henry ingin meyakinkan bahwa ia bisa membatalkan pernikahannya sesuai kemauannya sendiri dan ia ingin orang-orang dengan reputasi seperti More berbalik mendukungnya. Tapi More menolak, diam-diam ia memberikan kesaksian tentang kebenaran dari otoritas kepausan ketakterceraikannya perkawinan Katolik.
Tema pameran jelas diambil dari kutipan Santo Yohanes Paulus II: “Kehidupan dan kematian Santo Thomas More…. berbicara kepada setiap orang terutama ketika kesadaran akan martabat mereka diinjak-injak”. Makna sesungguhnya dari tema ini, bagaimanapun, nampak jelas dari bagian pameran tentang warisan More. Teladan hidup More membantu promosi keluar tentang kebebasan beragama di Amerika dan di dunia. Pameran juga memperlihatkan sejarah anti-Katolik di AS, dan akhirnya sebuah kutipan G.K. Chesterton juga ditempatkan di sana: “Thomas More lebih penting untuk masa kini daripada masa sebelumnya sejak kematiannya”.
Impilkasinya jelas: More selalu relevan dengan setiap zaman karena ia adalah seorang martir bagi kebebasan Gereja yang saat ini sedang terancam oleh upaya keras pemerintah Amerika untuk memaksa orang Katolik agar bertindak melawan kesadaran mereka pada isu-isu seperti kontrasepsi dan pernikahan sesama jenis. Pameran ini tidak berdiri sendiri terutama ketika dihubungkan dengan peristiwa kematian More dan situasi orang-orang Katolik saat ini. Sebelum di bawa ke pameran, relif More dan Fisher dihormati oleh masyarakat Amerika Serikat.
Tidak diragukan lagi, pameran tersebut punya relevansi lebih untuk zaman kita. Bukan hanya untuk orang Katolik AS. Sebab saat ini Gereja sedang menghadapi serangan dari otoritas pemerintah tertentu terutama karena padangannya tentang keluarga. Sama seperti Raja Henry yang mengingkari ketidakterceraikannya perkawinannya, hari ini pemerintah di berbagai negara menyangkal bahwa pernikahan itu tidak semata-mata hanya antara pria dan wanita saja, dan bahwa kontrasepsi bertentangan langsung dengan sifat-sifatnya. Sama seperti Raja Henry, pemerintah di negara-negara tertentu juga sedang memaksa orang Katolik untuk mengakui apa yang sama sekali diketahui tidak benar. Dan seperti More, kita harus menanggapinya melalui kesaksian akan kebenaran, bahkan apabila kesaksian itu berarti menderita karena dianiaya.
More bukan hanya “seorang manusia untuk segala waktu” seperti Robert Whittingtin menyebutnya, tapi terlbih seorang manusia untuk waktu sekarang. Ketika kita mempelajari kemartiran More, kita tidak hanya belajar tentang masa lampau, tapi juga merenungkan masa depan kita. Thomas More adalah seorang martir dalam artian sebenarnya. Kehidupannya seharusnya menjadi teladan bagi para awam Katolik yang berkiprah di dunia sosial-politik.
Sumber: Aleteia,org
Kredit Foto: wikipedia
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.