MIRIFICA.NET – Sungguh sangat tepatlah bahwa Paus Fransiskus mengangkat tema “bercerita atau stroytelling” sebagai inti pesannya untuk Hari Komuniaksi Sosial sedunia 2020. Warisan terindah dunia dan umat manusia sepanjang masa adalah semua cerita yang tertuang dalam Kitab Suci, serta semua kebijaksanaan hidup dan nilai yang tak henti dihidupi. Semuanya ini didapatkan dan diteruskan dari generasi ke generasi melalui cerita. Cerita pengantar tidur misalnya telah menjadi bagian dari sejarah pendidikan manusia sejak masih kecil, dalam rangka menanamkan nilai-nilai yang diperlukan untuk tumbuh menjadi manusia yang utuh.
Di tengah dunia saat ini yang sangat sesak oleh ungkapan rumit dan berbelit-belit bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi, cerita sering dianggap terlalu sederhana dan kurang berbobot ilmiah. Saya teringat di saat masih sebagai frater calon imam, salah satu kecemasan saya adalah bagaimana membawakan renungan yang bermutu dengan bahasa yang tepat. Maklumlah suasana pendidikan seminari yang diwarnai oleh filsafat dan teologi sangat mempengaruhi isi dan cara berkotbah, yang umumnya berisi konsep dan definisi, dan jauh dari cerita.
Saya sampai pada rasa tidak percaya diri jangan sampai bentuk komunikasi iman ini terlalu ringan dan sederhana. Tidak punya bobot teologis apalagi nilai filosofis yang dalam. Suatu ketika saya menemukan sebuah tulisan karya Ps Anthony de Mello SJ yang mengatakan bahwa sesungguhnya renungan yang menarik dimulai dengan ungkapan, “Pada suatu hari…..” dan sejenisnya.
Betapa terkejutnya saya ketika menyadari bahwa inilah cara Yesus mengajar, yakni dengan bercerita. Pada waktu ada orang bertanya padaNya, ‘siapakah sesamaku’, Yesus tidak menjawab dengan rumusan atau definisi teologis, akan tetapi Ia menjawab, “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho…” Inilah kisah yang terkenal mengenai orang Samaria yang baik hati. Orang dengan mudah menangkap pesan Yesus mengenai siapakah sesamaku. Bahkan model ini menjadi metode pendidikan yang sangat efektif, bagaimana seseorang terbantu menemukan sendiri jawaban atas pertanyaannya. Sejak itu saya tak pernah ragu untuk berkotbah yang tak lain adalah bercerita tentang kebaikan-kebaikan Tuhan dalam seluruh peristiwa hidupku.
Yesus pakarnya bercerita
Yesus yang kita sebut Sang Guru adalah pakarnya dalam bercerita. Konsep Kerajaan Allah yang begitu abstrak dan luas menjadi cerita yang sederhana namun jelas maknanya. Bagi Yesus hal-hal keseharian dan begitu sederhana namun dekat dengan keberadaan manusia, bisa menjadi cerita tentang Kerajaan Allah. Kata Yesus, “Kerajaan Allah itu seumpama….biji sesawi, kebun anggur, garam dan pelita, pukat, harta terpendam, dirham, lalang dan gandum…” dan lain sebagainya. Cinta yang tanpa syarat dari Bapa dikisahkan Yesus dalam bentuk cerita tentang anak yang hilang, domba yang hilang, penabur, gembala yang baik. Maka jadilah Injil kumpulan cerita agung bagaimana Allah menyelamatkan manusia melalui Yesus dengan pelbagai macam cara dan peristiwa yang penuh makna. Bahkan kisah sengsara Kristus-pun menjadi kisah sepanjang masa yang tak henti diceritakan.
Kisah Para Rasul yang terus dialami dan dikisahkan
Mgr Ignasius Suharyo, sebagai seorang ahli Kitab Suci, pernah mengatakan bahwa sesungguhnya Kisah Para Rasul tidak berhenti pada Bab 28. Hingga kini Kisah Para Rasul tetap terbuka, terus ditulis dan dikisahkan dari generasi ke generasi. Entah sekarang sudah sampai ke Bab berapa. Namun kisah ini bukan lagi diceritakan sebagai sejarah dalam arti ‘history’ (his-story: ceritanya dia), melainkan sudah menjadi ‘my-story’ ceritaku juga.
Demikianlah kini di era digital abad 21, Paus Fransiskus mengajak Gereja untuk terus mengisahkan cerita cinta Allah dan manusia sebagaimana perintah Allah kepada Musa, “Supaya engkau dapat menceritakan kepada anak cucumu tanda-tanda mujizat mana yang telah Kulakukan di antara mereka, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah Tuhan!” (Kel. 10:2).
Paus Fransiskus dengan bagus menyampaikan bahwa peristiwa inkarnasi Allah dalam diri Yesus yang menjadi manusia menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada cerita manusia yang tidak penting atau tidak bernilai. Setiap cerita manusia merupakan cerita ilahi, cerita tentang hidup bersama Yesus yang hadir dalam keseharian hidupnya.
Bagaimana caranya bercerita
Tantangan di era digital media sosial sekarang ini adalah begitu banyaknya cerita hoax. Kita perlu menghadapi kuasa kegelapan yang merajalela melalui banyaknya cerita yang menyesatkan, memecah-belah dan menghancurkan martabat manusia. Oleh karena itu sebagai bagian dari dunia pendidikan dan komunikasi sosial, kami terpanggil untuk ikut memberi makna atas pentingnya “storytelling” dalam komunikasi sosial.
Cerita menghubungkan dan menyatukan semua orang. Membantu menyederhanakan apa yang rumit, menciptakan konteks sehingga kita dapat saling mengerti situasinya, juga mengerti satu sama lain. Cerita melibatkan semua aspek kemanusiaan khususnya aspek emosi, baik yang positif maupun negatif. Cerita memberi stimulus pada otak manusia untuk sendiri membuat visualisasi dan imajinasi berdasarkan narasi cerita. Membaca buku cerita yang hanya terdiri dari teks, otak kita mampu membuat visualisasi sesuai yang diceritakan. Storytelling is really powerful! Oleh karena itu perlu diperhatikan kaidah yang diperlukan untuk cerita yang bermakna dan menjadi sebuah kesaksian.
Pepatah mengatakan, pengalaman adalah guru yang terbaik. Ternyata hal ini tidaklah cukup. Pengalaman yang dimaknai, terutama dalam terang iman, itulah guru yang terbaik. Oleh karena itu perlulah kisah hidup kita kita maknai sebagai kisah para rasul, kisahku sebagai rasul di jaman ini, dan kisahku sebagai rasul berjalan bersama Tuhan dan saudara-saudariku, melanjutkan sejarah keselamatan yakni sejarah Allah beserta kita. Inspirasi dari cerita Kitab Suci, khususnya Injil, menjadi cerminan yang bagus untuk refleksi. Selanjutnya, bagaimana mengisahkannya atau mengkomunikasikannnya.
Menurut Ashley Fell (2017), ada 4 unsur inti (4i) dalam bercerita: 1) Interest – menarik, 2) Instruct – mengarahkan – mengajar, 3) Involve – melibatkan, 4) Inspire – menginspirasi. Setiap orang sesungguhnya adalah seorang ‘pencerita’ (storyteller). Namun di era digital ini, kita diharapkan menjadi pencerita yang baik. Menjadi saksi kebaikan Tuhan yang efektif dan bermakna. Memperhatikan empat unsur di atas, maka perlulah kita mendalami pengalaman atau kisah hidup yang hendak diceritakan sebagai pengalaman yang sungguh dimaknai.
Komunikasi di era digital tentu diharapkan ceritanya menarik untuk didengar, direnungkan, bahkan dilihat. Ada bantuan gambar, warna, visualisasi bahkan gerakan. Memberi pesan (instruct) yang bermakna, antara lain makna relasiku dengan Tuhan, baik dalam suka maupun dalam duka. Bagaimana Allah bisa mengubah situasi sulit menjadi berkat bagaimana Allah memberi kekuatan untuk menghadapi persoalan hidup.
Selanjutnya, cerita yang baik bukan menggurui tapi membuat orang merasa terlibat (involve), baik secara emosional, maupun ikut memikirkan dan ambil bagian di dalam kisah itu, bagaikan bagian dari hidupnya sendiri. Dan yang paling utama adalah menginspirasi, sehingga orang tergerak hati untuk percaya, tidak menyerah dan putus asa, berani mengambil sikap, melakukan yang sama, terus memaknai hidup dalam terang penyertaan Tuhan yang penuh kasih, dan tergerak untuk melakukan kebaikan-kebaikan.
Ceritakan pada dunia
Cerita keselamatan telah menjadi bagian dari sejarah keselamatan. Tapi kini bukan lagi cerita mereka, tetapi menjadi ceritaku. Bukan lagi ‘his story’ tapi ‘my story’. Mari terus menenun cerita, mengisi bab-bab baru kisah para rasul, mewarnai media komunikasi sosial dengan cerita cinta antara Allah dan manusia. Selamat merayakan Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2020. ‘Tell the world the story of His love.’
Revi Rafael H.M. Tanod Pr
Imam keuskupan manado, Teolog, Ahli Pendidikan.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.