Salah satu kesenian rakyat yang digunakan sebagai media perlawanan atas penjajah dari dataran Eropa yang menguasai tanah Nusantara selama ratusan tahun ialah seni Buncis dari daerah Banyumas (Jawa Tengah).
Tarian ini ditampilkan dalam acara penyambutan Tim Komsos KWI yang dikomandani Ketua Komsos KWI Mgr Hilarion Datus Lega dan Sekretaris Eksekutif Komsos KWI RD Kamilus Pantus di halaman Hall Paschalis Gereja Katedral Keuskupan Purwokerto, Senin (22/5/2017). Selain Buncisan ada juga Tarian Kentongan dan Dolalak.
Nama Buncis di Banyumas berasal dari nama sayuran untuk lauk-pauk yang kemudian digunakan sebagai nama salah satu kesenian rakyat Banyumas. Kesenian tersebut berbentuk seni pertunjukan rakyat yang dimainkan oleh delapan orang penari sekaligus penyanyi. Kedelapan orang itu pula yang menjadi pemain musiknya. Para pemain tersebut memakai kostum berupa kain rumbai-rumbai yang berfungsi sebagai penutup aurat. Sementara di kepala para pemain terdapat mahkota yang terbuat dari beberapa helai bulu ayam.
Alat musik yang digunakan dalam pentas seni Buncis ialah angklung berlaras slendro. Masing-masing membawa satu buah alat musik yang berisi satu jenis nada yang berbeda. Enam orang di antaranya memegang alat bernada 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma), 6 (nem) 1 (ji tinggi) dan 2 (ro tinggi). Sementara dua orang yang lain memegang alat musik kendhang dan gong bumbung.
Alunan musik yang tercipta melalui instrumen angklung dalam seni pertunjukkan ini tidaklah terpola. Dari keenam nada dalam angklung yang digunakan, lima instrumen di antaranya dimainkan dengan cara dikocok atau digoyang untuk menyajikan balungan gendhing. Hanya satu instrumen yang disajikan secara terpola, yaitu nada 2 (ro tinggi) yang dikocok secara terus-menerus di sela-sela alunan nada lainnya. Pola ini adalah ‘ngecruki’. Sajian nada-nada melalui angklung tersebut diakhiri oleh bunyi gong yang dipukul pada bagian akhir dari lagu atau gendhing yang tercipta. Sajian lagu atau gendhing yang biasa ditampilkan dalam seni pertunjukan buncis antara lain Ricik-ricik, Kulu-Kulu, Blendrong Kulon, Eling-eling, Gudril, Tlutur, Man Dhoplang, Kicir-kicir dan Renggong Manis.
Seni buncis tergolong seni pertunjukan yang tidak menonjolkan kemegahan atau kemewahan. Kostum para penarinya terkesan sangat bersahaja dan serba darurat. Hal ini dapat dimaklumi karena karya seni ini merupakan hasil kreasi para pejuang yang sedang bergerilya di wilayah pedalaman sehingga tidak ada akses untuk memperoleh atau membuat peralatan kesenian dan kostum yang bagus.
Seni Buncis sebagai instrumen perlawanan
Menurut para budayawan Banyumas, kelahiran seni buncis terkait erat dengan perjuangan masyarakat Banyumas dan sekitarnya melawan kolonialis Belanda. Pasca perang Diponegoro tahun 1830 yang berakhir dengan kemenangan pihak Belanda, wilayah Banyumas diserahkan oleh Kraton Surakarta Hadiningrat kepada pemerintah kolonial Belanda sebagai ganti rugi biaya perang. Wilayah Banyumas pun secara resmi berada dibawah kekuasaan Belanda.
Namun, perlawanan dari para pejuang di wilayah Banyumas tetap berkobar. Mereka melancarkan taktik gerilya dengan bersembunyi di gunung-gunung dan hutan-hutan lalu di saat-saat tertentu menyerang musuh. Para pejuang ini pada umumnya merupakan sisa-sisa pasukan Pangeran Diponegoro yang tidak ingin menyerah pada penjajah.
Disela-sela waktu luang perjuangan melawan Belanda itulah, para pejuang kerap mengekspresikan semangat perlawanan dalam suatu bentuk karya seni pertunjukkan yang mengkombinasikan seni tari, suara dan musik. Seni pertunjukan tersebut adalah seni buncis. Kata ‘buncis’ itu sendiri berasal dari dua kata, ‘bundhelan’ dan ‘cis’. Bundhelan berarti simpul atau sesuatu yang harus dijadikan pedoman. Sedangkan ‘cis’ memiliki arti perkataan lisan. ‘Buncis’,secara garis besar dapat dimaknai sebagai kata-kata atau wejangan para leluhur yang harus dijadikan pedoman hidup. Leluhur yang dimaksud disini tiada lain ialah Pangeran Diponegoro yang menolak tunduk pada hegemoni pemerintah kolonial.
Seni Buncis dan Imperialisme
Dalam perkembangan masyarakat Banyumas pasca kemerdekaan, seni Buncis kembali menjadi media ekspresi kebudayaan yang berbasiskan ideologi kerakyatan, khususnya pada era 1960-an ketika konstelasi politik nasional sedang diramaikan oleh pergerakan masif kaum progresif revolusioner. Kekuatan politik yang dapat digolongkan dalam kelompok progresif revolusioner adalah kekuatan politik Nasionalis-Soekarnois (PNI Kiri) dan Komunis (PKI) yang senantiasa menggelorakan sentimen kerakyatan dan nasionalisme melalui isu-isu anti neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim), berdikari serta land-reform. Isu-isu kerakyatan tersebut juga dikumandangkan dalam lapangan kebudayaan. Salah satu organ kerakyatan yang bergerak di lapangan budaya dan berusaha mengangkat seni budaya rakyat sebagai media perjuangan melawan nekolim atau penjajahan dalam bentuk baru ialah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Seni buncis menjadi salah satu seni budaya rakyat yang digunakan sebagai alat propaganda anti nekolim oleh kalangan progresif. Kesenian rakyat Banyumas ini dipandang efektif sebagai media ekspresi budaya anti nekolim karena sangat lekat dengan kehidupan rakyat kebanyakan. Namun, hal ini berdampak pada perkembangan seni buncis selanjutnya.
Pasca tragedi nasional tahun 1965, ketika terjadi pemberangusan dan pembantaian terhadap kelompok progresif oleh militer dan eksponen politik kanan, seni buncis dilarang untuk tampil karena dituding menjadi bagian dari ekspresi politik PKI. Bukan hanya seni buncis, berbagai kesenian rakyat lainnya seperti Lengger, Jalantur dan Reog juga dilarang dipentaskan karena dianggap menjadi bagian dari kelompok komunis. Pelarangan tersebut mulai melunak sejak rezim Orde Baru memberi peluang bagi perkembangan kebudayaan daerah yang dipandang sebagai bagian dari kebudayaan nasional sebagaimana tertuang di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Bila ditinjau dari latar belakang sejarahnya, tampak bahwa seni buncis merupakan bagian dari budaya perlawanan rakyat negeri ini terhadap imperialisme. Hal tersebut juga telah menunjukkan bahwasanya rakyat nusantara telah memiliki tradisi melawan dengan menggunakan wahana kesenian. Dalam konteks kekinian, kaum pergerakan anti imperialis dapat juga mempergunakan seni Buncis sebagai instrumen perjuangan melawan nekolim atau yang kini biasa disebut sebagai neo-liberalisme yang masih menjadi problem pokok kemunduran tenaga produktif bangsa. Perjuangan melawan nekolim harus menyertakan seluas-luasnya potensi rakyat, dan hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai seni budaya rakyat sebagai instrumen perlawanan.
Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI