Realitas: titik terang dan suram keluarga
Perlunya memahami situasi keluarga kristiani yang hidup di zaman modern. Gereja wajib menyampaikan Injil Yesus Kristus (evangelisasi) yang tak dapat berubah namun tetap selalu baru. Pandangan dunia tentang perkawinan sebagai sakramen dan realitas perkawinan menghadapi masalah keluarga yang rumit dan kompleks. Kesadaran kebebasan pribadi dan makin besarlah perhatian terhadap kualitas relasi, martabat wanita, tumbuhnya keturunan secara bertanggungjawab, terhadap pendidikan anak, kesadaran perlunya hubungan timbal balik di bidang rohani maupun jasmani. Salah pengertian teoritis maupun praktis tentang tidak saling tergantungnya suami-istri, salah paham mengenai hubungan kewibawaan orang tua dan anak.
Beberapa tantangan konkrit yang dialami keluarga:
- Makin banyaknya perceraian sipil terhadap pasangan perkawinan Gereja,
- Hidup bersama tanpa peneguhan perkawinan Gereja (kanonik),
- Malapetaka praktik aborsi anak dan makin kerapnya sterilisasi bagi para ibu dan tumbuhnya mentalitas keluarga yang jelas-jelas menggunakan alat KB yang bersifat kontraseptif-abortif,
- Faktor ekonomi menyebabkan keluarga terpisah satu sama lain,
- Ketidaktahuan umat mengenai ajaran Gereja tentang perkawinan,
- Persoalan konkrit dan praktis di Paroki: keluarga yang retak tidak tahu solusi, pisah ranjang dan single parents.
Rencana Allah bagi keluarga kristiani:
Rencana Allah bagi keluarga dapat diketahui melalui: mengetahui kehendak Allah dari wahyu positif dan wahyu natural. Wahyu positif berarti apa yang disampaikan oleh Allah melalui KS. Wahyu natural berarti apa yang terdapat di dalam alam ciptaan dan dapat diketahui sebagai ketetapan Allah berkat akal budi manusia. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan citra Allah (Kej. 1:27). Manusia diciptakan oleh Allah menurut model kasih, dan dengan motivasi kasih. Artinya manusia diciptakan oleh Allah dalam membangun keluarga dengan model kasih. Motivasi Allah menciptakan manusia lelaki dan perempuan dengan kasih. Panggilan manusia-keluarga adalah kasih, (Yoh. 15:13; Mat. 25:31-46).
Panggilan keluarga kristiani
Panggilan untuk mengasihi diwujudkan secara konkret keberadaan manusia, Allah menciptakan manusia menurut citra-keserupaan-Nya sendiri. Secara umum madah kasih, dapat kita temukan dalam 1Kor.13:4-7, juga dalam 1 Yoh 4:8 “Allah adalah kasih”. Madah kasih ini sebagai alat untuk mengevaluasi keluarga kristiani apakah kita sudah mewujudkannya dalam hidup keluarga? Wujud konkret panggilan kasih dalam keluarga (bdk. FC, 11). Pewahyuan kristiani mengenal dua bentuk khusus untuk mewujudkan panggilan: perkawinan atau hidup religius.
Dengan caranya masing-masing keduanya adalah perwujudan dari kebenaran manusia yang paling mendalam sebagai pribadi yang diciptakan secitra dengan Allah. Oleh karenanya seksualitas bagi laki-laki maupun perempuan merupakan upaya untuk saling menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan eksklusif bagi suami-istri tidak melulu bersifat biologis melainkan menyangkut pribadi manusia yang paling inti (bdk. FC, 11). Satu-satunya lingkungan yang memungkinkan penyerahan diri dalam arti yang sepenuhnya ialah pernikahan yakni perjanjian cinta kasih antara suami-istri yang dipilih secara bebas dan sadar.
Kehendak Allah bagi keluarga
Perkawinan sebagai sakramen berarti perkawinan seturut kehendak Allah. Sakramen berarti Allah bekerja untuk menyelamatkan manusia, Perkawinan itu sakramen berarti perkawinan itu adalah tanda dimana Allah berkarya untuk mewujudkan keselamatan. Sakramen adalah rencana Allah bagi manusia (Ef. 1:9). Persekutuan cinta kasih antara Allah dan umat-Nya, suatu unsur fundamental dalam Pewahyuan dan pengalaman iman bangsa Israel mendapat ungkapannya yang penuh makna dalam perjanjian perkawinan yang diadakan antara laki-laki dan perempuan (bdk. FC, 12).
Persekutuan antara Allah dan umat-nya mencapai pemenuhannya dalam Yesus Kristus Sang mempelai. Pewahyuan itu mencapai kepenuhannya yang definitif dalam kurnia kasih yang dianugerahkan oleh Sabda Allah kepada umat manusia dengan mengenakan kodrat manusiawi dan dalam korban diri-Nya. Dengan pembaptisan manusia secara definitif berada dalam perjanjian baru dan kekal, perjanjian pernikahan Kristus dengan Gereja. Berdasarkan integrasi yang tak terhapuskan itulah persekutuan mesra hidup suami-istri ditetapkan oleh Kristus menjadi sakramen (bdk. FC, 13).
Keluarga sebagai persekutuan pribadi-pribadi
Hidup berkeluarga bukanlah suatu keharusan sosial, bahkan jodoh dianggap sebagai rahasia Allah. Setiap orang tidak tahu siapa jodohnya, dan juga tidak tahu apakah perkawinannya langgeng harmonis, sejahtera, lembaga perkawinan bukanlah lembaga manusiawi melainkan juga ilahi. Perkawinan dan keluarga kristiani membangun Gereja sebab dalam keluarga manusia tidak hanya menerima kehidupan melainkan melalui kelahiran baptis dan pembinaan iman anak diajak memasuki keluarga Allah: Gereja (bdk. FC, 15). Markus 10:6-8, keluarga kristiani adalah lembaga manusiawi yang bercorak sakral.
Peran keluarga di dunia
Dalam rancangan Allah, keluarga bukan hanya menemukan jati dirinya melainkan juga perutusannya mewartakan kabar gembira (evangelisasi): yakni apa yang dapat dan harus dijalankannya di dunia. Maka dari itu keluarga harus kembali kepada awal mulanya karya ciptaan Allah. Keluarga mengemban misi dan evangelisasi untuk makin menepati jati dirinya yakni suatu persekutuan kehidupan dan cinta kasih melalui usaha seperti Allah sang pencipta kehendaki. Keluarga kristiani dipanggil untuk ambil bagian secara aktif dan bertanggungjawab dalam misi Gereja dengan cara yang asli dan khas dengan menjadi sebuah “kesatuan mesra hidup dan cinta” demi pelayanan Gereja dan Masyarakat.
Bertolak dari cinta kasih dan dengan selalu menunjuk kepadanya FC, 17 menekankan 4 tugas umum bagi keluarga:
- Membentuk persekutuan pribadi-pribadi,
- Mengabdi kepada kehidupan,
- Ikut serta dalam pengembangan masyarakat,
- Berperanserta dalam kehidupan dan misi Gereja.
Cinta kasih sebagai prinsip dan kekuatan persekutuan. Keluarga yang didasarkan pada cintakasih serta dihidupkan olehnya merupaan persekutuan pribadi-pribadi: suami-isteri, orang tua dan anak-anak, saudara-saudara. Tugasnya yang pertama yakni: dengan setia menghayati kenyataan persekutuan disertai usaha terus menerus untuk mengembangkan rukun hidup yang otentik. Tugas terdalam keluarga adalah cinta kasih, keluarga tidak dapat hidup berkembang atau menyempurnakan diri sebagai persekutuan pribadi-pribadi tanpa cinta kasih (bdk. RH,10).
Persekutuan yang pertama adalah yang dijalin dan berkembang antara suami dan istri berdasarkan perjanjian perkawinan. Mereka dipanggil untuk bertumbuh dalam persekutuan mereka melalui kesetiaan dari hari ke hari dalam janji perkawinan. Persekutuan itu berakar dalam sifat melengkapi secara alamiah yang terdapat antara laki-laki dan perempuan dan makin dikuatkan oleh kerelaan pribadi suami-istri untuk bersama-sama melaksanakan seluruh rencana hidup mereka. Persekutuan itu secara radikal ditantang oleh poligami. Poligami mengingkari kehendak Allah yang diwahyukan sejak mula.
Persekutuan tidak dapat dibatalkan
Persekutuan yang pertama adalah yang dijalin dan berkembang antara suami dan istri berdasarkan perjanjian perkawinan. Mereka dipanggil untuk bertumbuh dalam persekutuan mereka melalui kesetiaan dari hari ke hari dalam janji perkawinan. Persekutuan itu berakar dalam sifat melengkapi secara alamiah yang terdapat antara laki-laki dan perempuan dan makin dikuatkan oleh kerelaan pribadi suami-istri untuk bersama-sama melaksanakan seluruh rencana hidup mereka. Persekutuan itu secara radikal ditantang oleh poligami dan perpisahan suami-istri. Poligami mengingkari kehendak Allah yang diwahyukan sejak mula. Perpisahan dan pemutusan ikatan suami-istri yang sah merupakan duka yang mendalam bagi Gereja. Semoga pemikiran di atas menjadi landasan pastoral keluarga di Keuskupan-Keuskupan dalam menanggapi tantangan pastoral dalam konteks evangelisasi (bdk. Hasil Sinode Luar Biasa Roma, 5-19 Oktober 2014).
(Sebuah pencerahan dan pemikiran diambil dari Anjuran Apostolik PP. Joanes Paulus II, Familiaris Consortio guna menjawabi tantangan pastoral keluarga)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.