1. Sekitar empat (4) tahun yang lalu, koran-koran memuat tidak sedikit karangan, ulasan mengenai peranan agama dalam kehidupan bangsa Indonesia. Selah satu karangan dengan keras mengatakan bahwa “pendidikan agama di Indonesia telah gagal”. Dalam bahasa umat akar rumput, pendapat seperti ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan: Tempat-tempat ibadah bertambah banyak dan upacara-upacara keagamaan bertambah marak. Mengapa korupsi tidak berkurang, kekerasan semakin nyata, dan perusakan lingkungan semakin serakah?
2. Saya sebagai pemimpin Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang merasa terusik oleh pernyataan dan pertanyaan seperti itu dan bersama-sama mencoba mencari jawabannya. Salah satu jawaban yang muncul adalah ini: banyak yang tidak (mau) tahu bahwa Ajaran Sosial Gereja adalah bagian dari iman. Rupanya tidak sedikit yang berpendapat bahwa yang penting adalah ungkapan iman dalam bentuk upacara dan doa. Sementara perwujudan iman dilalaikan. Kalau demikian, ibadah, doa, upacara keagamaan dapat lepas sama sekali dari moralitas hidup pribadi maupun sosial.
3. Menyadari kesenjangan antara ungkapan iman dan perwujudan iman yang bisa semakin lebar, sejak beberapa tahun yang lalu Keuskupan Agung Semarang menjadikan bulan Agustus Bulan Ajaran Sosial Gereja. Bulan agustus dipilih karena pada bulan ini kita merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Harapannya, semoga umat Katolik KAS sebagai warga bangsa, berkembang dalam kesadaran akan tanggungjawabnya untuk membangun “kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”; sekaligus sebagai ajakan bagi sesama warga bangsa untuk berkembang bersama dalam kesadaran akan tanggung jawab itu.
4. Bagi warga Gereja Katolik, Ajaran Sosial Gereja amat penting, khususnya pada tahap sejarah bangsa Indonesia yang disebut Era Reformasi. Tanpa pedoman yang jelas, reformasi tidak akan berhasil dan kehilangan arah. Secara garis besar, kami melihat ada beberapa tugas penting yang sedang dihadapi pemerintah, antara lain:
a. Memantapkan mekanisme-mekanisme demokrasi (permintaan amandemen
UUD 1945; munculnya calon independent untuk dsb).
b. Menggerakkan kembali roda perekonomian agar dapat keluar dari kemiskinan (politik ekonomi apa yang dipilih? Negara sosial atau liberalisme?)
c. Memberantas budaya korupsi yang terstruktur.
d. Menyelesaikan berbagai konflik yang mengancam kesatuan bangsa.
5. Ajaran Sosial Gereja dapat diringkas dalam sepuluh prinsip berikut ini. Prinsip-prinsip ini kalau dimengerti, diyakini dan diinternalisasikan, akan mempengaruhi orang dalam bertindak dan menentukan pilihan-pilihan: a. Pengharapan terhadap martabat manusia; b. Hormat terhadap kehidupan manusia; c. Kemerdekaan berserikat; d. Hak untuk berpartisipasi; e. Perhatian yang lebih kepada yang lemah dan miskin; f. Solidaritas; g. Subsidiaritas; c. Kesetaraan martabat; i. Kebaikan umum; j. Prinsip stewardship.
6. Konferensi Waligereja Indonesia sudah berusaha untuk menyebarkan gagasan itu dalam tiga dokumen yang semua berjudul: KEADILAN SOSIAL BAGI SEMUA. Judul besar ini ditelaah dalam tiga pendekatan dalam terang Ajaran Sosial Gereja.
6.1. Pendekatan sosio-politik (2003). Disinyalir bahwa politik hanya dipahami sebagai sarana untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan atau menjadi ajang pertarungan kekuatan dan perjuangan memenangkan kepentingan kelompok. Kepentingan ekonomi atau keuntungan finansial bagi pribadi dan kelompok menjadi tujuan utama. Dalam keadaan seperti itu, prinsip-prinsip etika politiki mendesak untuk dilaksanakan.
6.2. Pendekatan sosio-budaya (2004). Maraknya korupsi, kekeran, dan penghancuran lingkungan hidup menunjukkan bahwa masyarakat semakin kehilangan keadaban. Dalam keadaan seperti itu, mutlak perlu diperjuangkan terciptanya keadaban publik untuk menuju habitus baru bangsa.
6.3. Pendekatan sosio-ekonomi (2006). Kata habitus baru ternyata diterima sebagai kata kunci yang penting. Dalam tata ekonomi pun diperlukan habitus baru, yaitu ekonomi yang berkeadilan. Prosentase orang miskin Indonesia sangat tinggi. Tanpa prinsip-prinsip perekonomian yang adil, jurang antara yang kaya dan miskin akan semakin lebar, dengan segala akibat dan resiko sosialnya.
7. Semoga Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke – 62 ini
menjadi momentum yang penting bagi kita semua warga bangsa untuk menyadari tanggungjawab sosial kita, sesuai dengan inspirasi agama kita masing-masing.
+ I. Suharyo
Uskup Keuskupan Agung Semarang
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.