MIRIFICA.NET – Gereja Katolik memiliki hak asli dan sendiri untuk menjatuhkan sanksi hukuman terhadap umat beriman kristiani yang melakukan tindak kejahatan atau pelanggaran berat (bdk. KHK, kan. 1311). Sesungguhnya sebagai institusi sosial yang independen, Gereja mempunyai hak nativum untuk menjatuhkan sanksi demi melindungi tatanan sosial yuridis Gereja itu sendiri. Sanksi ini dijatuhkan atas dasar kepastian faktual dan hukum bahwa telah terjadi pelanggaran lahiriah atas suatu undang-undang atau perintah (externa legis vel praecepti violatio) oleh orang yang dapat sungguh-sungguh bertanggungjawab atas maksud jahat atau kesalahannya (bdk. Kan. 1321, §1). Penekanan pada pelanggaran lahiriah atau eksternal penting untuk diperhatikan karena Gereja tidak dapat menjatuhkan sanksi terhadap seseorang yang secara internal memiliki pikiran jahat. Hanya ketika pikiran jahat itu diwujudkan dalam bentuk perbuatan jahat eksternal yang melanggar hukum, pada saat itulah Gereja bertindak atasnya. Prinsip ini sesesuai dengan adagium klasik yang mengatakan bahwa tidak seorang pun dapat dihukum karena pemikirannya sendiri (cogitationis poenam nemo patitur).
Sanksi dalam Gereja dapat berbentuk hukuman-hukuman medisinal (poenae medicinales) atau cencura (kan. 1312, §1,1°). Satu di antara hukuman tersebut adalah suspensi. Hukuman ini biasanya dikenakan kepada para klerikus, yang dalam konteks tulisan ini merujuk pada imam. Apa itu suspensi ? Bagaimana sejarahnya ? Bentuk suspensi dan tindak kejahatan atau pelanggaran berat seperti apakah yang dapat dijatuhi hukuman suspensi ? Bagaimana mekanisme proseduralnya ? Apa efeknya? Untuk berapa lama? Siapa otoritas yang berwenang menjatuhkan dan menghapus suspensi? Pertanyaan-pertanyaan ini coba dijawab dalam tulisan kecil ini sekalipun mungkin tidak memuaskan, selain karena keterbatasan penulis, juga karena tema ini termasuk dalam kategori ‘kelas berat’ yang membutuhkan waktu dan ruang yang cukup jika hendak membahasnya secara utuh dan komprehensif.
Sejarah Selayang Pandang
Pada abad-abad awal tidak terdapat referensi menyangkut suspensi dalam Gereja. Namun demikian, terdapat kata-kata dan konsep-konsep umum yang digunakan untuk sanksi hukuman terhadap imam berupa larangan untuk menjalankan fungsinya sebagai pelayan tertahbis. Pada masa itu kata ‘ekskomunikasi’ mencakup semua hukuman lain dan tidak ada perbedaan yang jelas antara hukuman suspensi, interdik dan ekskomunikasi (Wernz, Ius Decretalium, n. 144). Namun jika dicermati secara seksama, aspek-aspek kunci dari pemahaman masa kini tentang suspensi juga ada pada masa Gereja awal.
Para ahli hukum berpendapat bahwa sekalipun tidak ada istilah yang khusus, hukuman suspensi sudah ada pada abad ke-III dan ke-IV. Santo Siprianus menulis surat kepada Uskup Rogasian untuk memberikan suspensi kepada klerikus yang memberontak terhadap uskupnya (Migne, Patrologi Latina, IV, hlm. 347). Selanjutnya, Sinode Kartago ke-IV (398) mengeluarkan dekret pencabutan gaji/penghasilan sebagai hukuman terhadap klerikus yang melakukan pelanggaran berat (Rainer, Suspension of Clerics: An historical Synopsis, hlm. 10).
Suspensi sebagai hukuman medisinal dimulai pada abad ke-VI. Sebelumnya, semua hukuman berbentuk hukuman silih (expiatory) yang bertujuan untuk menegakkan kembali aturan Gereja, memperbaiki skandal, memulihkan kerugiaan termasuk juga menimbukan efek jera bagi klerikus yang lain. Dalam Novellae Justinian dikatakan bahwa untuk beberapa tindakan pelanggaran, klerikus tidak dapat menjalankan fungsinya selama satu tahun, dan dalam kasus-kasus yang lain mereka dapat dihukum untuk tiga tahun (Rainer, Suspension of Clerics: An historical Synopsis, hlm. 10). Gereja menetapkan hukuman medisinal yang berlaku sampai pelaku bertobat dan memberikan jaminan bahwa ia tidak akan mengulangi perbuatanya.
Konsili Epaon ke-IV (517) menetapkan bahwa jika seorang imam melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran berat ia tidak boleh menerima Ekaristi selama dua bulan (Rainer, Suspension of Clerics: An historical Synopsis, hlm. 6). Selain itu, jika ia mencuri sesuatu dari imam lain atau dari Gereja, maka ia harus disuspensi dari komunitas (Helefe, A History of the Councils from the Original Documents, Vol. 2, hlm. 277).
Kemudian dalam Konsili Narbonne (589) hak imam yang terkena suspensi mendapat perhatian yang khusus. Sekalipun ia mendapat hukuman, ia tidak kehilangan penghasilannya kecuali jika hukuman suspensi itu dikenakan untuk jangka waktu lebih dari setahun (Rainer, Suspension of Clerics: An historical Synopsis, hlm. 12). Konsili Lerida (524) selanjutnya menetapkan bahwa jika setelah diperingati dua kali imam tersebut tetap membangkang, maka ia harus dicopot dari jabatannya sampai ia bertobat.
Dalam perkembangan lebih lanjut, Konsili Trente tidak mengubah sifat hukuman suspensi dan menegaskan hukum sebelumnya, misalnya tentang suspensi terhadap klerikus yang konkubinat (Tanner, Decrees of the Ecumenical Councils, Vol. 2, hlm. 793). Konsili juga memberikan kewenangan kepada uskup untuk mencegah pelaku pelanggaran dipromisikan ke jenjang tahbisan yang lebih tinggi termasuk mencegah yang bersangkutan untuk menjalankan fungsinya sebagai klerikus.
Ketentuan menyangkut hukuman suspensi kemudian dituangkan dalam Kodeks 1917. Ada delapan kanon yang berbicara tentang suspensi (kan. 2278-2285). Dalam kanon 2278, suspensi dideskripsikan sebagai hukuman, entah medisinal maupun silih yang dengannya klerikus yang terbukti melakukan pelanggaran dilarang (prohibetur) untuk sementara, secara keseluruhan atau sebagian, menggunakan atau melaksanakan hak-hak yang dimilikinya, baik atas dasar tahbisan suci atau atas dasar jabatannya. Hukuman suspensi melarang klerikus melaksanakan setiap tindakan atas dasar kuasa tahbisan suci dan yurisdiksi, atau bahkan hanya semata-mata administratif, kecuali administrasi hal-hal yang berhubungan dengan penerima manfaatnya sendiri (bdk. KHK 1917, kan. 2279 §§ 1-2).
Setelah Konsili Vatikan II, Sinode Para Uskup se-dunia 1967 mengumumkan sepuluh prinsip revisi Kitab Hukum Kanonik 1917. Revisi ini juga berkaitan dengan sanksi hukum dalam Gereja. Jika dalam Kodeks 1917, suspensi dapat berbentuk hukuman medisinal maupun hukuman silih (expiatory penalty), yakni pencabutan beberapa harta spiritual atau temporal yang secara sah dikenakan pada imam (dalam bentuk kewajiban, larangan, diskualifikasi, pengusiran, dll.) menurut cara yang sesuai dengan tujuan supernatural Gereja, dalam Kodeks 1983 hukuman suspensi hanya berbentuk hukuman medisinal yang bertujuan untuk menyembuhkan pelaku.
Deskripsi Suspensi
Dalam Kodeks 1983 tidak terdapat definisi tentang suspensi. Namun jika merujuk pada kanon 1333, §1 dan kan. 1334 § 2 suspensi dapat dideskripsikan sebagai sanksi medisinal yang dikenakan kepada imam yang dengannya ia dilarang seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan perbuatan kuasa tahbisan, perbuatan kuasa pemerintahan, pelaksanaan hak atau tugas yang terkait pada jabatan ataupun secara simultan melarang seluruh perbuatan kuasa tahbisan, kuasa pemerintahan, dan pelaksanaan semua hak dan tugas yang terkait pada jabatan.
Bentuk Suspensi dan Kejahatan/Pelanggaran Beratnya
Ada dua bentuk hukuman suspensi, yakni suspensi otomatis (latae sententiae) dan suspensi yang masih harus dijatuhkan (ferendae sententiae). Suspensi otomatis (latae sententiae) diperlukan untuk memberikan hukuman langsung untuk kejahatan berat (De Paolis, De recognoscendo iure poenali canonico, hlm. 54-58). Hukuman ini ditetapkan secara eksplisit oleh undang-undang atau perintah dan langsung mengenai subjek yang melakukan tindak pidana (kan. 1314).
Dalam Kodeks 1983 terdapat beberapa kejahatan/pelanggaran berat yang dilakukan oleh imam yang dapat dikenai hukuman suspensi latae sententiae, yakni melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap Uskup (kan. 1370, §2); simulasi absolusi sakramen tobat/pengakuan dosa tanpa fakultas untuk mendengarkan pengakuan sakramental secara sah (kan. 1378, §2, 2°); secara palsu melaporkan rekan imam/bapa pengakuan mengenai tindak pidana melawan perintah keenam Dekalog (kan. 1390 §1; kan. 1387); mencoba menikah, juga secara sipil saja (kan. 1394, §1).
Suspensi yang masih harus dijatuhkan (ferendae sententiae) di lain pihak adalah hukuman yang masih harus diputuskan sedemikian sehingga tidak mengenai orang yang berbuat salah sebelum dijatuhkan padanya (kan. 1314). Kejahatan/pelanggaran berat yang dapat dijatuhi hukuman suspensi tipe ini adalah sebagai berikut, merayakan sakramen secara simonikal atau jual-beli/perdagangan sakramen (kan. 1380); melakukan crime of solicitation, yaknidalam melayani atau dalam kesempatan melayani maupun dalam berpura-pura melayani sakramen pengakuan, mengajak peniten untuk berdosa melawan perintah keenam Dekalog (kan. 1387); melakukan tindak pelanggaran seksual secara berkelanjutan, misalnya hubungan seksual yang bersifat stabil dengan wanita di luar ikatan perkawinan (konkubinat) atau tetap berada dalam dosa lahiriah lain melawan perintah keenam Dekalog dan memberikan sandungan terhadap umat beriman (kan. 1395, §1)).
Selain kasus-kasus yang ditetapkan dalam undang-undang Gereja sebagaimana disebutkan di atas, Ordinaris dapat juga memberikan suspensi terhadap imam atas tindak pelanggaran lain. Kanon 1399 memberikan syaratnya: “cum specialis violationis gravitas punitionem postulat, et necessitas urget scandala praeveniendi vel reparandi”, artinya jika keistimewaan beratnya pelanggaran menuntut penghukuman dan sungguh diperlukan untuk mencegah atau memperbaiki sandungan.
Pelanggaran-pelanggaran lain, misalnya, pelanggaran yang berulang-ulang atas ikatan-ikatan suci, ketidaktaatan yang membandel terhadap perintah-perintah yang legitim dari Pimpinan dalam perkara berat, sandungan berat yang timbul dari cara bertindak yang salah dari imam tersebut, secara membandel mendukung atau menyebarluaskan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan Magisterium Gereja, meninggalkan tempat tugas secara tidak sah, menolak untuk dipindahkan ke tempat tugas lain tanpa alasan yang wajar dan masuk akal, dan alasan-alasan lain yang mirip beratnya yang ditentukan oleh hukum partikular.
Efek Suspensi
Hukuman suspensi yang dijatuhkan terhadap seorang imam membawa beberapa efek yuridis, sebagai berikut:
Pertama, melarang semua atau sebagian perbuatan kuasa tahbisan, sebagai contoh merayakan Ekaristi, mengurapi orang sakit, mendengarkan pengakuan dosa. Jika imam yang terkena suspensi merayakan Ekaristi, perayaaan tersebut tetap valid namun tidak pantas (illicit).
Kedua, melarang semua atau sebagian perbuatan kuasa pemerintahan, misalnya melayani sakramen perkawinan. Jika suspensi otamatis atau ferendae sententiae dinyatakan, maka undang-undang menetapkan bahwa perbuatan-perbuatan kuasa kepemimpinan yang bertentangan dengan suspensi adalah invalid. Perkawinan yang dilayani oleh imam yang terkena suspensi selalu invalid (Bernal, Exegetical Commentary on the Code of Canon Law, Vol. IV/1, hlm. 337; kan. 1109). Dalam hubungan dengan hal ini, dekret suspensi biasanya juga menyebutkan penarikan fakultas untuk melayani sakramen perkawinan mengingat bahwa imam adalah saksi resmi (official witness) Gereja.
Ketiga, imam yang terkena suspensi juga dilarang untuk menerima penghasilan, gaji, atau sejenis dan berkewajiban untuk mengembalikan apapun yang diterima secara tidak legitim meskipun dengan itikat baik (kan. 1333 §4).
Dalam hubungan dengan efek suspensi, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, sebagai berikut:
Pertama, efek hukuman ini tidak pernah mengenai jabatan atau kuasa pemerintahan yang tidak berada dibawah kuasa pemimpin/otoritas yang menjatuhkan hukuman.
Kedua, jika suspensi bersifat otomatis, maka hukuman ini tidak mengenai hak untuk bertempat tinggal yang dimiliki berdasarkan jabatan oleh pelaku pelanggaran, termasuk hak mengelola harta-benda terkait jabatan orang yang terkena suspensi tersebut (kan. 1333 §3). §4), sebagai contoh administrasi harta benda paroki jika yang bersangkutan adalah pastor paroki.
Ketiga, suspensi tidak mencegah imam yang bersangkutan untuk menerima sakramen-sakramen.
Keempat, jika suspensi tidak dinyatakan, maka imam yang bersangkutan dapat merayakan sakramen, melayani urusan sakramen dan hal-hal yang berhubungan dengan kuasa pemerintahan sejauh ada alasan yang wajar dan masuk akal sekalipun pada saat itu ada imam lain yang hadir (yang tidak terkena suspensi). Alasan dibalik hal ini adalah demi kebaikan spiritual umat beriman. Oleh karena hukum tertinggi dalam Gereja adalah salus animarum (kan. 1752) maka umat beriman memiliki hak atas sakramen dan imam berkewajiban untuk merayakannya (Arias, Code of Canon Law Annotates, hlm. 835). Ketika ada umat yang berada dalam bahaya maut, imam yang terkena suspensi dapat dan harus merayakan sakramen (misalnya sakramen pengurapan orang sakit) entah suspensi itu otomatis atau ferendae sententiae (kan. 976). Dalam situasi darurat, imam yang terkena hukuman suspensi tersebut tidak perlu memberitahukan kepada umat bahwa ia sedang menjalani hukuman suspensi dan karena itu tidak dapat melayani saat ini, sebaliknya ia wajib memberikan pelayanan segera tanpa menunda-nunda waktu.
Prosedur Kanonik
Suspensi bukanlah sebuah hukuman yang biasa. Untuk dapat menjatuhkan hukuman seperti ini, langkah-langkah sebagaimana digariskan dalam hukum harus diperhatikan secara cermat demi menghindari kekeliruan prosedural (error in procedendo) yang dapat menganulir dekret suspensi. Beberapa langkah tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, penyelidikan awal (investigatio previa). Setiap kali Ordinaris mendapat apa yang dinamakan ‘notitia criminis’, yakni informasi yang sekurang-kurangnya mendekati kebenaran (veri similis) mengenai suatu tindakan pelanggaran yang dilakukan seorang imam, hendaknya ia melakukan penyelidikan secara hati-hati. Penyelidikan ini dapat dilakukan sendiri atau lewat orang yang cakap untuk itu. Kecakapan ini berhubungan dengan penilaian atas fakta, keadaan dan imputabilitas pelaku yang diduga melakukan pelanggaran tersebut (bdk. kan. 1717, §1). Dalam penyelidikan awal ini, Ordinaris harus menjamin agar nama baik imam yang bersangkutan tidak dibahayakan (kan. kan. 1717, §2).
Kedua, peringatan awal. Jika berdasarkan penyelidikan awal tersebut terdapat indikasi kuat adanya tindak kejahatan/pelanggaran berat, maka Ordinaris harus memberi peringatan kepada imam tersebut agar bertobat dari ketegarannya atau pembangkangannya. Peringatan ini harus dibuat sekurang-kurangnya satu kali (semel saltem monitus). Ordinaris harus memberi waktu yang wajar bagi yang bersangkutan untuk memperbaiki diri (kan. 1347). Peringatan atau teguran harus dicatat dalam dokumen yang disimpan dalam arsip rahasia (kan. 1339, §3). Peringatan tertulis harus dibuat untuk jenis hukuman ferendae sententiae mengingat bahwa sekalipun ada aturan/norma yang dilanggar, imam yang bersangkutan dapat saja tidak bersalah karena ternyata misalnya tanpa kesalahan sendiri tidak mengetahui bahwa ia melanggar undang-undang atau perintah atau bertindak karena paksaan fisik atau karena kebetulan yang tidak diperkirakan sebelumnya, atau diperkirakan akan tetapi tidak dapat dicegahnya.
Ketiga, jika Ordinaris menilai bahwa baik peringatan maupun teguran tidak mencukupi untuk memperbaiki sandungan, memulihkan keadilan dan memperbaiki pelaku pelanggaran, Ordinaris dapat mengusahakan prosedur peradilan atau administratif untuk menjatuhkan atau menyatakan hukuman (kan. 1341). Hukuman dapat dijatuhkan atau dinyatakan lewat suatu dekret di luar pengadilan jika ada alasan yang wajar untuk itu (kan. 1342, §3).
Keempat, dekret ekstra yudisial. Jika Ordinaris menilai bahwa harus ditempuh jalan melalui dekret di luar pengadilan, maka ia harus memperhatikan beberapa hal penting berikut, yakni: Pertama, kepada imam tersebut disampaikan dakwaan serta bukti-bukti, dengan diberi kesempatan untuk membela diri, kecuali jika ia lalai menghadap sekalipun telah dipanggil menurut aturan hukum; Kedua, bersama dengan dua asesor menimbang bukti-bukti dan semua alasan dengan seksama. Asesor harus memiliki kecakapan dan pengetahuan tentang hukum; Ketiga, jika nyata secara pasti adanya tindak pelanggaran yang dilakukan maka Ordinaris harus mengeluarkan dekret suspensi. Dalam dekret tersebut tidak dicantumkan lama waktu suspensi tetapi harus dinyatakan secara eksplisit bahwa hukuman itu berlaku sampai yang bersangkutan bertobat dan memperbaiki tingkah lakunya.
Otoritas Yang Menghapus Suspensi
Suspsensi bukanlah hukuman abadi. Ia dapat dihapus. Namun syaratnya adalah imam yang bersangkutan harus bertobat dan membaharui dirinya. Ketika yang bersangkutan bertobat, suspensi harus dihapus dan penghapusan tidak dapat ditolak (kan. 1358, , §1).
Dalam konteks suspensi yang tidak direservasi kepada Tahta Suci (kan. 1354, par. 3), otoritas berwenang untuk menghapus suspensi adalah Ordinaris yang telah menjatuhkan hukuman tersebut atau Ordinaris di mana imam tersebut berdomisili setelah berkonsultasi dengan Ordinaris imam yang bersangkutan (kan. 1355, §1, 1-2°). Penghapusan suspensi biasanya dilakukan secara tertulis, kecuali ada alasan berat yang menganjurkan lain. Selain itu, hendaknya dijaga agar hal tersebut tidak tersebar luas, kecuali sejauh berguna untuk melindungi nama baik pelaku atau perlu untuk meniadakan sandungan (kan. 1361).
Semua yang dapat memberikan dispensasi dari suatu undang-undang yang digantungi hukuman atau semua yang dapat membebaskan seseorang dari suatu perintah dengan hukuman, dapat juga menghapuskan hukuman tersebut (kan. 1353, §1). Hukuman otomatis yang ditetapkan undang-undang dan belum dinyatakan, jika tidak direservasi bagi Tahta Suci, dapat dihapus oleh Ordinaris terhadap bawahan-bawahannya, atau terhadap mereka yang berada di wilayahnya, atau yang berbuat kejahatan di situ. Juga dapat dihapus oleh setiap Uskup dalam rangka tindakan sakramen tobat (kan. 1355, §1).
Penutup
Hukuman suspensi bagi sebagian orang barangkali terkesan keras. Namun ‘dura lex, sed lex’, hukum itu keras, tetapi begitulah hukum. Hukuman ini tetap diperlukan dalam Gereja. Selain demi memelihara disiplin Gereja dan mencegah skandal juga demi kebaikan imam itu sendiri karena dari pengalaman hidup setiap hari, imam, dalam kerapuhan manusiawinya, seringkali lalai mengikuti nasehat Santo Paulus untuk menjalani hidup “sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu” (Ef. 4:1).
Ordinaris sebagai otoritas yang berwenang harus mengambil tindakan yang tegas dan terukur setiap kali terjadi pelanggaran berat yang dilakukan imam yang menjadi bawahannya. Tentu dengan memperhatikan mekanisme prosedural seturut norma hukum yang berlaku. Kelalaian atau kelambanan dalam menangani kasus akan membawa efek negatif bukan saja bagi imam yang bersangkutan tetapi juga bagi komunitas umat beriman dan Gereja secara keseluruhan.
Langkah tegas Ordinaris yang bertindak sebagaimana seharusnya tanpa kompromi patut diapresiasi, kendati mungkin sebagai manusia, tindakan tegas seperti ini dapat menimbulkan konflik batin tersendiri. Namun yang pasti bahwa hukuman ini tidak bermaksud untuk menyengsarakan imam atau membikinnya pelan-pelan mati lemas dan akhirnya mampus tanpa sisa. Sebaliknya, bertujuan mulia: menyadarkan imam yang terkena suspensi tersebut akan perbuatannya dan kemudian bertobat. Jika ia sungguh-sungguh bertobat maka Ordinaris harus menghapus hukuman tersebut. Pertobatan tersebut tentu harus dibuktikan. Jadi, kuncinya ada pada imam yang bersangkutan: tetap bertahan dengan sikap tegar tengkuk atau bertobat ?
Penulis: RD. Rikardus Jehaut
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.