Stop Baku Tipu
Istilah seperti judul diatas sangat lumrah dalam dialog keseharian orang-orang timur. Tipu menipu rupanya jadi bagian dari kehidupan manusia, bahkan sejak jaman dulu. Sekarang, baku tipu itu jauh lebih kompleks, baik dari pengertiannya, tujuannya sampai pada cara kerjanya. Sebenarnya Modus operandi tipu-tipu jenis modern ini cukup sederhana yakni cukup dengan menyebarkan berita bohong di media sosial, menshare sebanyak mungkin lalu mendapat keuntungan dari berita tersebut baik secara materil ataupun tidak.
Yang sedang tren akhir-akhir ini adalah kasus MCA (Muslim Cyber Army) dan juga Saracen. MCA merupakan organisasi siber yang bekerja untuk menyebarkan tipu-tipu pada masyarakat dengan target utama pengguna aktif media sosial. Uniknya, para pelaku ini tidak pernah tatap muka, tidak mengetahui latar belakang masing-masing, tetapi terorganisir dengan baik. Teknologi IP Address atau Internet Protokol untuk mengubah lokasi real time digunakan semata untuk menutupi identitas dan alamat pelaku. Dengan IP Adress yang terus berpindah-pindah, di lokasi berbeda dalam transisi waktu yang ditentukan pengguna membuat pelaku sangat sulit untuk dilacak oleh aparat. Ibarat pepatah, sepandai-pandainya Tupai melompat akhirnya akan jatuh juga. Begitu juga dengan kasus MCA, sepandai-pandainya mereka menutupi identitas dirinya akhirnya terkuak juga.
MCA sejauh ini merupakan salah satu organisasi siber yang dielu-elukan oleh beberapa komunitas hacker online. Beberapa komunitas siber, yang terdiri dari banyak anak-anak muda kemudian melihat MCA sebagai panutan. Sebagai contoh, dalam rubrik System Attack Indonesia (SAI), mereka membela mati-matian MCA. Kenapa? Karena mereka membenarkan langkah yang ditempuh oleh MCA karena membela agama dan ulama mereka, lepas dari berita hoax yang mereka kabarkan. Alasan lain karena mereka ingin berjihad dalam dunia Siber, dan menganggap bahwa umat Muslim sering di zolimi oleh masyarakat yang lain. Tidak jelas masyarakat yang lain itu siapa, karena ketika anggota yang mempertanyakan hal itu mereka enggan menjabab. Saya tergabung dalam beberapa komunitas hacker di website ataupun di WhatsApp, tetapi karena sering berdebat dengan anggota grub yang lain saya dikeluarkan beberapa kali. Meski tak pernah jera, saya bergabung lagi, diterima lagi, lalu berdebat lagi dan keluarkan. Beberapa kali hal itu saya lakukan demi mempengaruhi pandangan mereka. Bukan Cuma di SIA, komunitas hacker lain seperti Deep Web (Official), Hacktivist Indonesia, FCDI Squad, Termux atau Sistem Attack Indonesia. Uniknya, setiap anggota dalam komunitas tersebut belajar meretas sistem secara otodidak dan tidak boleh saling mengenal satu dengan yang lain mulai dari metode phising sederhana hingga metode yang rumit. Persahabatan siber macam ini ternyata sama rentannya terhadap berita-berita hoax. Buktinya, banyak dari mereka yang tidak mempercayai kanal-kanal berita yang disampaikan oleh media, justru mereka akan mempercayai apa yang mereka temukan sendiri, apalagi jika informasi temuka adalah informasi yang belum diuji kebenarannya.
Setiap hari, para pengguna aktif media sosial sarapan dengan berita hoax. Lamat-lamat, otak akan dilatih untuk ogah memverifikasi suatu berita. Mengapa? Karena dunia di ujung jari adalah dunia kemalasan. Faktanya juga, hoax tidak dapat dilawan hanya dengan verifikasi berita, peraturan, atau filter di media sosial. Satu-satunya cara melawan hoax akhirnya harus kembali ke ujung jari manusia. Seperti Facebook, setiap hari harus memfilter 6 juta konten yang bertolak belakang dengan kebijakannya, begitupula dengan afiliasinya seperti Instagram. Pengguna Twitter, LinkedIn dan beberapa media sosial lain masih belum sebanyak Facebook, namun sama rentanya dengan dalam penyebaran berita hoax.
Meski begitu, kita patut memberikan apresiasi kepada Facebook yang telah mengubah logartimanya lebih ketat. Pada dasarnya logaritma ini adalah pembaharuan dari logaritma sebelumnya. Bedanya hanya mengecilkan urutan peninjauan terhadap sebuah status dan dinding profil. Misalnya, dalam satu profil yang mempunya seratus teman, orang yang dapat melihat status atau pembaharuan dari profil tersebut hanya 17 orang saja. Artinya, hanya sekitar 17 persen saja yang dapat melihat pembaharuan dari status tersebut dari 100 teman. Walau begitu, pengubahan logaritma ini tetap sepenuhnya bergantung pada pengguna, karena penggunalah yang akan menentukan status di beranda mereka adalah hoax atau bukan.
Jadi, pada dasarnya jika kita ingin melawan hoax keputusan tidak sepenuhnya kita serahkan kepada penyedia layanan seperti Facebook. Keputusan itu ada pada kita. Tetapi, bagaimana kita akan melawan hoax sedangkan definisi saja kita tidak tahu? Ini dia masalahnya. Banyak juga yang kemudian menyamaratkan definisi hoax ini dengan predikisi. Misalnya, prediksi suatu parpol tertentu yang berada di urutan ke empat dalam suatu pemilihan, tapi ternyata bergeser jauh di urutan ke 7, lalu ada orang-orang tertentu yang menyebut itu hoax.
Kadang juga, pengertian hoax ini tidak mampu memenuhi konteks yang terjadi. Mengapa? Karena acuannya masih abu-abu, apalagi pengertian dan tindakan yang akan kita ambil. Alasan ini diambil karena kadang kala hoax juga bisa berupa komunikasi yang asertif. Tapi, marilah kita mengartikan hoax sebagai baku tipu, atau serupa judul diatas agar pembahasan ini tetap berlanjut.
Sehubungan dengan itu, adakah cara jitu untuk menangkal hoax, atau setidaknya ada satu alat yang mampu mengidentifikasi berita itu hoax tersebut? Search engine sekaliber Google belum bisa memfasilitasi hal ini. Google, sebagai wadah pencarian informasi banyak berkontribusi terhadap maraknya berita berita hoax di masyarakat. Hal ini juga diakui oleh Tony Keusgen, Direktur Menejer Google Indonesia dalam Acara Google Year In Search di The Gunawarman, Jakarta. Ia mengatakan kalau, “Google sebagai platform selama ini Cuma berperan sebagai penghimpun informasi sehingga tidak bisa mengontrol berbagai informasi yang diunggah netizen ke Internet. Ada pihak-pihak tertentu yang memasukan informasi palsu di internet. Kami belum bisa mengontrol itu,”. Begitu juga dengan mantan CEO Microsoft dan investor utama Twitter, Steve Ballmer dalam Cnet, 10 november 2017 lalu. Ia mengatakan, “ Jaringan sosial tak akan mampu mencegah berita palsu. Namun media sosial saat ini bisa membantu mengekangnya,” Dengan kata lain penggunalah yang paling menentukan apakah itu berita palsu atau bukan.
Disini kita semakin paham bahwa penyedia layanan pun tak bisa memberantas hoax dengan sungguh-sungguh. Dalam artian lain, para penyedia layanan itu membutuhkan kerja sama pengguna untuk memberantas hoax tersebut. Lantas,, bagaimana kita akan melawan hoax? Ada banyak cara, meskipun hal ini belum terbukti berhasil secara konkret, apalagi telah menyasar kesadaran kepada para pelaku, namun tidak ada salahnya untuk mencoba. Mulai dari menshare sebanyak mungkin status, berita, tulisan kritis, meme yang bernilai positif dan memegang prinsip No Hoax Will Win. Jadi saat ragu untuk menshare, berita hoax telah menang.
Salah satu alasan orang baik ragu menshare status positif adalah karena ingin menghindari cekcok dengan sejawat. Orang yang memusuhi karena status positif berarti ia bukan kawan kita. Jangan ragu unfried/block bila perlu, jika memang kita tidak suka berdebat untuk hal-hal yang tidak substansional dan tidak bermutu. Karena, banyak para pelaku penyebar hoax ini sendiri paham akan filosofi Der Fuhrer, Adolf Hitler yang berunyi, “Kebohongan bila dilakukan dengan massif, lama-kelamaan akan dianggap kebenaran”. Kasus Equil dan Sari Roti adalah bukti suksesnya penerapan filosofi ini. Orang dibuat percaya bahwa air mineral Equil adaah Miras. Massa pun mampu digerakan untuk boikot sari roti. Kini waktunya untuk orang baik melawan.
Banyak juga pelaku penyebar berita hoax akan berdebat mati-matian untuk mengkalim berita tersebut adalah benar. Bayangkan hoax yang sudah dishare puluhan ribu orang, pasti pengaruhnya akan sangat besar kepada puluhan ribu lainnya dan seterusnya. Jika ingin melawan hoax, pertama-tama yang harus kita lakukan adalah dengan menshare berita-berita positif dan melakukan verfikasi atas konten dan berita.
Media sosial kental dengan hastag atau taggar, sebab hal ini mampu menggerakan logartima media untuk menjadikan hastag atau tagar itu jadi headline. Jalan kedua adalah dengan mengajak teman, sahabat handai taulan dan pengguna aktif media sosial untuk melawan hoax dengan melakukan hastag dan tagar di media sosial untuk melawan hoax. Kemudian, saat kamu membaca tulisan yang bagus dari para pegiat media sosial seperti Denny Siregar, Kang Hasan, Prof. Sumanto, P. Sirait dan lain sebagainya tidak cukup hanya memberikan jempol. Copas dan lempar ke grub WA, BBM, Telegram dan lain sebagainya. Broadcast seperti ini terbukti bisa mempengaruhi massa.
Lalu, buatlah grub chat bersama teman-teman sepikiran dan pantau media topik yang sedang viral/trending di media sosial. Gerakan kawan-kawan untuk laporkan massal atas status inteloran, hoax dan radikal di facebook, twitter, instagram dan lain sebagainya. Jangan diam, sebab media sosial terbukti punya pengaruh yang sangat besar dalam bila disalah gunakan untuk menyebarkan berita bohong.
Melawan hoax memang dimulai dari diri sendiri, atau kebiasaan menggunakan sosial yang sering dilakukan. Kembali lagi pada dialog keseharian orang Timur, stop baku tipu kepada orang lain adalah gaya bicara yang dipegang untuk selalu berupaya melakukan kejujuran baik dalam dialog langsung ataupun tak langsung, bahkan ketika berkomentar atas suatu kejadian. Berita bohong atau hoax tidak memiliki tempat dalam kehidupan bangsa dan Negara, apalagi dalam kebudayaan kita sendiri. Tidak ada hoax yang akan menang jika kita mau melawannya.
Penulis: Wirno Bungkul, Universitas Negeri Manado
Kredit Foto: https://www.youtube.com/watch?v=MK7DHKqj_bA
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.