Ibunya menginginkannya untuk menikah, tetapi Laurensius bergabung dengan komunitas St. George. Tugas pertamanya adalah pergi ke kampung-kampung di kotanya untuk meminta derma bagi ordonya. Laurensius tidak malu pergi meminta-minta. Ia tahu bahwa derma uang ataupun barang akan berguna bagi karya Tuhan. Ia bahkan pergi ke depan rumahnya sendiri dan meminta derma. Ibunya berusaha mengisi kantongnya dengan banyak makanan agar Laurensius dapat segera pulang ke biaranya. Tetapi Laurensius hanya menerima dua potong roti dan pergi ke rumah sebelah untuk meminta derma lagi. Dengan demikian, ia belajar bagaimana mempraktekkan penyangkalan diri dan semakin bertumbuh dalam kasih kepada Tuhan.
Suatu hari seorang teman datang membujuk Laurensius untuk meninggalkan biaranya. Laurensius menjelaskan kepada temannya itu betapa singkatnya hidup dan betapa bijaksananya untuk melewatkan hidup demi surga. Temannya amat terkesan dan terdorong untuk menjadi seorang religius juga.
Di kemudian hari Laurensius diangkat menjadi Uskup, meskipun ia sendiri kurang senang akan hal itu. Umatnya segera mengetahui betapa lembut hati dan kudusnya Uskup mereka. Orang berbondong-bondong datang kepadanya setiap hari untuk memohon pertolongannya. Menjelang ajalnya, St. Laurensius menolak berbaring di tempat tidur yang nyaman. “Tidak boleh demikian!” serunya dengan rendah hati. “Tuhanku terentang di kayu yang keras serta menyakitkan.” St. Laurensius Giustiniani wafat pada tahun 1455.
Bagaimana kehidupan imanku mendorongku untuk menjadi seorang pemberani?
Teks: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
Kredit Foto: St. Laurensius Giustiniani, www.mirifica.net
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.