1. Pengantar
Secara eksistensial, manusia memiliki sifat sosial yang niscaya. Keberadaan bersama yang lain berdiri di atas pijakan ketertarikan dan keterarahan satu sama lain. Refleksi filosofis mengenai sosialitas manusia dibahasakan secara mantap oleh filsuf Perancis, Gabriel Marcel. Melalui adagium esse est co-esse, ia menegaskan keberadaan manusia yang secara niscaya membutuhkan partisipasi manusia lain. “Ada selalu berarti ada bersama yang lain” mengandung arti bahwa ‘aku’ hanya dapat berkembang sejauh aku mengadakan relasi ‘communio’ dengan yang lain (Miceli, Osservatore Romano 15 Nov, 1973, disadur Hartoko, BASIS XIII Maret 1974).
Dewasa ini, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menciptakan peluang bagi relasi antarmanusia yang lebih luas. Jejaring sosial yang mahaluas memungkinkan setiap orang dapat berelasi secara lebih baik, lebih luas, lebih mudah, dan lebih murah (terjangkau). Teknologi komunikasi yang berkembang dengan sangat cepat menjadi angin segar bagi manusia yang secara kodrati memiliki keterarahan kepada orang lain.
Dalam jalinan relasi sosial antarmanusia, perasaan-perasaan cinta, perhatian, dan solidaritas seringkali muncul ketika melihat sesamanya menderita. Perasaan-perasaan tersebut pada umumnya menjadi ukuran sosialitas manusia, sejauh mana seseorang benar-benar memiliki solidaritas terhadap kaum penderita. Kehadiran teknologi komunikasi dewasa ini menjadi salah satu medium ekspresi cinta, perhatian, kesetiaan dan solidaritas sosial kepada sesama yang sedang mengalami penderitaan, ketertindasan, dan kemiskinan.
2. Penderitaan dan solidaritas kemanusiaan
Berbagai pengalaman derita selalu menghampiri manusia tanpa terkecuali. Sepanjang tahun 2018 lalu, ada begitu banyak bencana besar yang menimpa bangsa kita. Salah satunya adalah gempa bumi yang disertai tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi tengah, pada 28 September mengakibatkan 2.101 orang tewas, 1.373 orang hilang, dan 206.219 orang harus mengungsi akibat bencana alam itu.
Rentetan bencana yang menimpa bangsa kita akhir-akhir ini menyebabkan banyak orang kehilangan anggota keluarganya, kehilangan tempat tinggal, kehilangan rasa aman dan dipenuhi perasaan traumatis yang amat mendalam. Pasca bencana, penyakit menular juga menjadi ancaman nyata bagi para korban yang tinggal di rumah sementara. Kondisi ini tentu saja menjadi pengalaman yang menyakitkan, pengalaman derita yang tidak mengenakkan, sebab beban fisik dan psikologis yang ditanggung korban tampak berlapis-lapis. Lebih dari itu, pertanyaan tentang keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan muncul dalam pikiran korban. Situasi seperti itu adalah situasi batas, di mana manusia mengalami keterbatasan dan ketidakmampuan, baik untuk memahami momen tersebut, maupun untuk memikirkan jalan keluar darinya.
Selain penderitaan yang disebabkan oleh bencana alam, realitas manusiawi kita juga seringkali dibayangi oleh kemiskinan, kelaparan, dan kemelaratan yang disebabkan oleh kondisi struktural dan politik tertentu. Kemiskinan struktural disebabkan oleh kelalaian sebuah rezim pemerintahan yang korup dan tidak menjamin pemenuhan hak-hak dasar warga negaranya. Silih bergantinya pengalaman penderitaan tentu saja menyebabkan krisis yang tidak dapat diatasi sendirian oleh korban. Dalam kondisi seperti itu, solidaritas sosial terhadap korban penderitaan merupakan panggilan bagi setiap orang atas nama kemanusiaan. Rasa kemanusiaan yang lahir dalam diri setiap manusia mendesak semua orang untuk menunjukkan solidaritasnya.
Peristiwa naas yang menimpa warga Palu dan Donggala secepat kilat menjadi viral di jagat maya dan memantik simpati dari begitu banyak orang, baik dalam maupun luar negeri. Berbagai ungkapan dan cuitan yang menunjukkan rasa solidaritas muncul di linimasa media-media sosial. Kenyataan ini mengonfirmasi peran penting media sosial yang menjadi penyebar informasi super cepat sekaligus mengumpulkan rasa soildaritas sosial dari begitu banyak orang. Melalui media sosial, solidaritas sosial antarpribadi dapat terfasilitasi secara lebih luas, menembus sekat-sekat pembatas wilayah, agama, ras, etnis, dan golongan. Bencana di Palu dan Donggala, misalnya, menuai simpati dari pemain legenda Manchester United, David Beckham dan pemain Timnas Prancis, Paul Pogba.
3. Emoji: ironi solidaritas maya
Kendatipun demikian, solidaritas sosial di media sosial tetap saja berwatak maya. Artinya, solidaritas yang terjadi dalam jejaring dunia maya tidak secara nyata menunjukkan makna dasar solidaritas itu sendiri. Makna solidaritas sebagai suatu upaya transformatif bagi keselamatan sesama yang menderita disederhanakan sekaligus dipeyorasi oleh kultur media sosial yang mementingkan penampilan emoji. Di media sosial, begitu banyak orang menyatakan rasa simpati ketika terjadi bencana di suatu tempat, tetapi sangat sedikit orang yang ingin membantu melalui kerja dan usaha yang nyata. Menurut survei Indonesia Millennial Report 2019 yang dilakukan William Putra Utomo dari IDN Research Institute terhadap 1.400 milenial (usia 20-35 tahun) di 12 kota besar di Indonesia, hanya 2,7 persen generasi milenial di Indonesia yang pernah terlibat dalam gerakan donasi online untuk membantu korban bencana. Makna solidaritas sosial disederhanakan oleh adanya fasilitas media sosial yang hanya menyediakan emoji-emoji menarik. Lebih dari itu, fasilitas media sosial tersebut tidak membuat pengguna (users) merasa terdesak untuk membantu secara nyata.
Sebaliknya, pengguna media sosial kerap merasa puas setelah memilih opsi emoji-emoji solidaritas, misalnya dengan memilih emoji like, terkejut, menangis, dan lain-lain yang mengekspresikan kesedihan. Emoji-emoji dalam media sosial memiliki pengaruh yang besar bagi psikologi penggunanya. Media sosial seringkali menjebak manusia untuk tetap tinggal dalam kenyamanannya ketika sesama yang lain mengalami pengalaman derita. Media sosial menyediakan fasilitas yang meninabobokan para penggunanya untuk hanya bergerak dalam batasan ruang maya. Akibatnya, orang seringkali merasa puas secara psikologis ketika sudah memencet pilihan emoji-emoji yang menunjukkan solidaritas kepada kaum menderita. Bahkan, secara ekstrem dapat dikatakan bahwa penderitaan yang tampak dalam media sosial menjadi semacam komoditas jualan agar postingan kita diberi tanggapan oleh orang lain, yang akhirnya memberi kepuasan tersendiri bagi kita.
Selain itu, realitas nyata penderitaan yang dilempar ke ruang maya menjadi bahan fantasi yang menyenangkan dan menjadi alasan orang untuk berlama-lama berselancar di media sosial. Selain ironi solidaritas yang tampak dalam emoji-emoji maya, ada beberapa tantangan lain solidaritas kemanusiaan yang dibangun di atas dasar medsos;
Pertama, di jagat medsos, orang seringkali berwatak eksklusif (tertutup) dan cenderung menegaskan identitasnya dengan cara mempertebal tembok pemisah (ciri-ciri yang berbeda) dengan kelompok lain. Hal ini disokong oleh teknologi algoritma yang menandai kecenderungan dan tendensi pengguna medsos sehingga ia akan difasilitasi untuk hanya berjumpa dengan pengguna yang sealiran, seagama, seasal, atau sesuku dengannya.
Kedua, Menurut Paus Fransiskus, sejauh ini internet telah terbukti menjadi arena yang banyak terpapar informasi sesat, penyimpangan fakta, dan distorsi relasi antarpribadi yang dilakukan secara sengaja untuk mendiskreditkan orang atau pihak tertentu. Solidaritas di ruang maya memiliki potensi untuk jatuh ke dalam narsisme yang pada akhirnya berujung pada politisasi penderitaan sesama demi keuntungan pribadi atau golongan kita. Data-data korban bencana, misalnya didistorsi sedemikian rupa sehingga kita mendapat sesuatu dari penderitaan mereka.
Ketiga, fenomena medsos yang oleh Paus Fransiskus disebut ‘pertapa sosial’ mengandung arti bahwa di jagat maya, individualitas pengguna cenderung tinggi. Solidaritas yang berdiri di atas fenomena ‘pertapa sosial’ menghasilkan efek domino pada pemanfaatan konten penderitaan sesama demi mencapai kepuasan individual, misalnya untuk meningkatkan kemampuan menganalisis masalah sosial kebencanaan. Dalam hal ini, penderitaan sesama menjadi bahan intellectual exercise.
4. Dari solidaritas medsos menuju solidaritas nyata
Solidaritas sosial yang terbangun dalam jejaring media sosial dalam kenyataan tidak memiliki daya transformatif yang signifikan bagi korban penderitaan. Pada titik ini, kita tentu membutuhkan orientasi baru dari solidaritas yang bermakna dan berdaya guna bagi kaum penderita. Solidaritas di media sosial mestinya mendesak para pengguna untuk turun dari menara gading kenyamanannya dan berjumpa langsung dengan wajah kaum penderita.
Paus Fransiskus, dalam Pesan Hari Komunikasi Sedunia ke-53 yang bertajuk “Kita adalah sesama anggota (Ef 4:25): Berawal dari Komunitas Jejaring Sosial Menuju Komunitas Insani”, menulis sebagai berikut: “Jika internet digunakan sebagai perpanjangan atau pengharapan serta kerinduan tentang perjumpaan semacam itu (perjumpaan fisik, tubuh, hati, mata, tatapan, napas), maka gagasan asli tentang jearing sosial daring tidak dikhianati dan tetap menjadi sumber daya bagi persekutuan. … Jika internet menjadi wahana untuk berbagi aneka kisah dan pengalaman tentang keindahan atau penderitaan dari pribadi-pribadi yang secara fisik jauh dari kita, untuk berdoa bersama, dan bersama-sama mencari kebaikan untuk menemukan kembali apa yang menyatukan kita, maka internet menjadi sebuah sumber daya.”
Paus Fransiskus mengapresiasi kehadiran internet (media sosial) sebagai wahana yang mampu mempererat relasi antarpribadi manusia. Namun demikian, ia juga melihat gejala yang kurang baik dari penggunaan media sosial yang hanya ditujukan untuk memperkuat relasi ke dalam kelompok sambil mempertebal garis batas dengan kelompok lain. Menurut Paus, relasi sosial yang ideal mestinya berkarakter produktif, yaitu bahwa keterlibatan dalam media sosial tidak terbatas pada relasi dengan kelompok kita sendiri. Lebih jauh, Paus juga menegaskan media sosial sebagai sumber daya bagi persekutuan sejauh ia diterjemahkan ke dalam praksis solidaritas nyata, langsung, dan transformatif.
Sebagai sumber daya kemanusiaan, media sosial sudah menyediakan peluang bagi kita untuk menggalang persekutuan dan relasi yang intens sebagai komunitas insani. Peluang persekutuan dan relasi yang intens tersebut pada saatnya mesti diterjemahkan dalam bentuk tanggung jawab yang riil terhadap sesama yang menderita. Penderitaan sesama seharusnya mendesak kita untuk tidak hanya memencet emoji-emoji di media sosial, atau memanfaatkan penderitaan di medsos untuk kepentingan pribadi, tetapi lebih dari pada itu menjadi panggilan bagi tanggung jawab yang nyata dalam aksi nyata perjumpaan dengan penderitaan. Dalam bahasa Émanuel Lévinas (1906-1995), pengalaman dasariah manusia adalah pertemuan dengan orang lain. Dalam pertemuan tersebut, kita sadar bahwa kita langsung bertanggungjawab total atas keselamatannya. Lévinas selanjutnya menunjukkan bahwa dalam pengalaman dasariah (tanggung jawab etis) tersebut, sinar kesucian Yang Ilahi ikut terlihat (Suseno, 2006:184). Wajah sesama yang menderita adalah pijar cahaya ilahi yang mendesak sensus kemanusiaan kita untuk bertanggung jawab atas keselamatannya.
Ada dua jalan keterlibatan terhadap penderitaan dengan menggunakan sumber daya medsos; Pertama, dalam hal karitatif (penggalangan dana) bagi korban penderitaan (bencana alam, orang miskin, anak terlantar di panti asuhan). Pada tataran medsos, penggalangan dana dapat dilakukan secara online dengan mengikutsertakan banyak orang. Dari segi efektivitas, penggalangan dana secara online jauh lebih mudah, murah dan produktif ketimbang penggalangan dana di jalan-jalan umum. Lebih jauh, solidaritas medsos ini akan teruji produktivitasnya ketika dibarengi oleh perjumpaan wajah dengan korban bencana, orang miskin, dan penghuni panti asuhan. Donasi finansial akan jauh lebih bermakna ketika korban berjumpa dengan donatur secara face to face sebagai gambaran nyata epifani wajah Ilahi. Dalam konteks ini, St. Theresa dari Kalkuta yang membaktikan dirinya bagi pelayanan kepada orang-orang sakit, miskin, terlantar, dan terlupakan, pantas menjadi teladan bagi perjuangan kita yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat SARA.
Kedua, dalam hal advokasi kebijakan publik bagi korban penderitaan. Pada tataran medsos, pelbagai petisi daring seringkali dapat memengaruhi kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan nasib kaum miskin. Namun demikian, advokasi melalui medsos hanya akan lebih bermakna ketika kita berada bersama (co-esse) dengan korban yang merasakan penderitaan, merasakan penderitaan mereka, lalu bersama-sama menggagas pembebasan (eksodus) dari jerat ketidakadilan struktural. Contoh yang mantap bagi upaya ini adalah Romo Y.B. Mangunwijaya yang membaktikan dirinya bagi orang-orang miskin di pinggiran Kali Code.
5. Penutup
Panggilan hidup kaum beriman tidak lain adalah untuk menunjukkan solidaritas Allah secara nyata kepada sesama. Spiritualitas inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus seharusnya menjadi sumber inspirasi bagi semua komunitas umat beriman untuk berpartisipasi secara aktif dalam membantu sesama yang mengalami penderitaan, bencana, kemiskinan, kemalangan, dan pengalaman negatif lainnya. Solidaritas di media sosial seharusnya mampu diterjemahkan oleh kaum beriman menjadi solidaritas nyata dalam bentuk perjumpaan wajah dengan kaum penderita. Sebab, kita adalah sesama anggota (Ef. 4:25), dan sebagai sesama anggota tubuh mistik Kristus, kita mesti membangun persekutuan iman yang militan, yang ditunjukkan dalam aksi nyata bertanggung jawab terhadap sesama yang menderita.
Daftar Bacaan
Magnis-Suseno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Miceli, Vincent P. “Gabriel Marcel, philosopher of Communion” dalam Osservatore Romano, weekly edition, 15 November 1973, disadur oleh Hartoko, Dick. “Communion Menurut Gabriel Marcel” dalam BASIS edisi XXIII, Maret 1974.
Utomo, William Putra. 2019. Indonesia Millenial Report 2019. PDF. IDN Research Institute.
Paus Fransiskus. <“Kita adalah sesama anggota” (Ef 4:25), Berawal dari Komunitas Jejaring Sosial Menuju Komunitas Insani>. Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-53. PDF. Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia.
Ilustrasi: Nicholas Pudjanegara
Penulis: Antonius Octaviano Susabun
Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.