Zaman terus berubah seiring waktu menyuarakan pemikiran-pemikiran besar dan revolusioner dalam dunia teknologi dan ilmu pengetahuan. Dinamika perubahan ini tak jarang harus dibayar mahal dengan aneka pengorbanan dan berbagai kesulitan. Berbeda dengan era sebelum mengenal teknologi, kini segala informasi dan kebutuhan dapat dipenuhi hanya dengan duduk manis di meja kerja. Namun sangat disayangkan ketika munculnya polemik atas penyalahgunaan teknologi tersebut. Konflik malah semakin merajalela di sudut-sudut kota bahkan menyisir ke pelosok bumi sehingga rentan menimbulkan konflik dan peperangan. Panggunaan media sosial dalam penyampaian berita palsu terlihat signifikan mengepakkan sayap, hingga mampu menguasai berbagai sektor vital yang hampir lepas kendali.
“ Tempora mutantur et nos mutamur in illis”, waktu berubah dan kita berubah di dalamnya. Pepatah ini mengingatkan kita untuk mengenang masa lalu, dimana hanya ada cerita rakyat dari mulut ke mulut. Sistem penyebaran berita waktu itu tidak jauh berbeda dengan metode teknologi sekarang, barangkali sebuah reinkarnasi dari cerita rakyat. Dahulu juga banyak berita yang simpang siur, karena hampir setiap orang menambah dan mengurangi pesan berita yang disampaikan, apalagi jika orang terebut adalah orang yang berseberangan paham. Sadar atau tidak, dampak yang muncul akibat pemalsuan berita dapat mengancam ketertiban dunia. Konon, Perang Dunia II pada tahun 1939, juga dipicu oleh pemberitaan palsu oleh Adolf Hitler. Kampanye hitam oleh Kementerian Pertahanan Amerika Serikat yang mengabarkan bahwa kapal perang USS Maddox ditembaki kapal Vietnam Utara pada 2 dan 4 Agustus 1964 sehingga mendorong Kongres Amerika Serikat menerbitkan resolusi yang menjadi landasan hukum bagi Presiden Lyndon B. Johnson untuk menyerang Vietnam.
Menilik situasi akan kehadiran kemajuan sistem informasi instan saat ini, tidak menutup kemungkinan munculnya babak baru menyerupai konflik raksasa di masa lalu. Hal ini merupakan ancama serius bagi negara-negara di dunia, sebagaimana pernah dicatat dalam riset “Freedom House”, bahwa berita palsu telah menyebar di 30 dari 65 negara selama periode Juni 2016 hingga Mei 2017. Pada umumnya, motivasi penyebar berita palsu mendominasi arena politik, mengubah opini publik dengan berbagai propaganda. Hampir setiap flatform dimasuki dengan akun-akun palsu. Media sosial diadopsi sebagai motor yang berlaku sebagai sarana efektif untuk memerangi lawan dan memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.
Di Indonesia sendiri, sirkulasi berita palsu di berbagai media sosial menjadi sebuah fenomenal. Mulainya propaganda politik dengan media sosial ketika Pemilihan Gubernur (Pilgub) tahun 2012 hingga saat ini masih terlihat semakin masif. Sasaran penyebaran berita palsu ini dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dari berbagai sektor untuk menyerang “lawan”, khusunya politik. Hampir seluruh flatform media sosial dipenuhi tentang aroma politik. Media sosial menjadi sarana perebutan kekuasaan dengan cara yang tidak sehat. Berbagai artikel, memes, slogan dan video dilancarkan sebagai alat untuk mempengaruhi opini publik. Tata cara kompetisi politik selalu menyerang pribadi dan kelompok tertentu, hingga Pemerintah kerap menjadi sasaran oknum tersebut.
Meski baru berkembang, media sosial mampu mengguncang panggung politik dengan penyebaran berita propaganda. Hampir seluruh elemen masyarakat dapat dipengaruhi dan akibatnya terlihat signifikan melahirkan differensiasi sosial. Keharmonisan dalam struktur relasi masyarakat mulai hilang dengan membentuk kubu-kubu berdasarkan status sosial, agama dan ras tertentu. Konten yang termuat dalam berita palsu cenderung provokatif untuk mendoktrin pola pikir pembaca. Akhirnya konflik dan peperangan dapat terjadi dimana-mana, seperti perang Poso di Sulawesi dan berbagai daerah lainnya. SARA diangkat sebagai subjek pemantik konflik oleh para oknum politisi.
Secara mendadak munculnya domain-domain baru menyerupai sarana pemberitaan nasional menjadi teknik baru untuk mengelabui pembaca. Penetapan judul yang familiar menghipnotis para pembaca untuk membuka konten yang disajikan dan mengundang warganet lain untuk ikut membaca. Berita palsu muncul untuk mengubah kebenaran menjadi sebuah ketidakbenaran demikian juga sebaliknya. Negara terancam bahaya apabila media sosial dan elektronik tidak disyaratkan melakukan filterisasi dalam memproduksi berita. Bentuk penjajahan baru ini akan merusak sendi-sendi negara jika tidak diperangi secara intensif. Kekurangtegasan hukum yang mengatur masalah tersebut akan memperluas jaringannya hingga mengikis rasa nasionalisme dan demokrasi negeri ini.
Upaya pemerintah untuk menahan gerak oknum selalu dimaksimalkan dengan mengadakan literasi media di kalangan kelompok dan organisasi kemasyarakatan. Meskipun telah ditetapkan dalam Undang-undang, akan tetapi pada pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE tidak dijelaskan secara detail dan masih rancu. “Setiap orang” yang dimaksud dalam pasal tersebut tidak dijelaskan apakah produsen konten atau pengguna media sosial lainnya. Jika keduanya, maka hukum tidak melaksanakan fungsinya dengan baik. Pada pasal ini juga makna rancu terdapat dalam kalimat “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan”. Berdasarkan apa orang dapat menyebarkan berita bohong sehingga harus ditulis dengan “tanpa hak”?
Ambiguitas makna dalam hukum sebagai regulator di negara ini kerap mengundang masalah baru dan selalu menempuh tahap uji materi. Sosialisasi dampak dan sanksi hukum kurang intensif dilakukan bagi masyarakat secara menyeluruh, sehingga kerap dianggap sebagai “hiasan“ Mahkamah Konstitusi. Hukum selalu menyoroti pelaku secara teknis, namun melupakan bahwa penyebaran terjadi adalah karena adanya metode praktis masyarakat membagikan konten melalui berbagai media sosial yang dijadikan flatform para actor intelectual. Pemerintah lebih memaksimalkan untuk memerangi sisi luar sementara abai pada bagian domain product dan flatform penyebar. Ada dua strategi untuk memerangi penyebaran berita palsu harus dijalankan secara seimbang, yakni dengan menetapkan ketentuan yang lebih selektif pada proses pendaftaran akun media dan meminimalisir penyebaran konten yang terindikasi palsu dengan metode penyebaran jurnalisme damai.
Upaya pemerintah meminimalisir penyebaran berita palsu berhenti hanya pada penutupan/ pemblokiran akun-akun media sosial dan elektronik yang terindikasi penyebar berita palsu tersebut, tanpa mengidentifikasi lebih lanjut status pemilik dengan mengenakan sanksi berdasarkan Undang-undang yang sudah ditetapkan. Hal ini mengasumsikan bahwa aturan hukum yang dibuat terkesan lemah dan tidak tegas. Padahal sebenarnya jika dipahami permasalahannya berakar dari hal-hal seperti ini. Besar-kecilnya kesalahan harus diganjar sesuai dengan kapasitasnya untuk menimbulkan efek jera bagi masyarakat lain.
Seiring penerapan metode tersebut di atas, berita palsu juga harus diimbangi dengan jurnalistik perdamaian yang disusun berdasarkan kode etik jurnalistik, dengan maksud mempertegas aplikasi data, struktur dan tendensi pemberiataan yang dimaksud. Prioritas jurnalisme damai bermaksud untuk menetralisir hingga mengubur penyebaran berita palsu tersebut. Stimulasi ini diharapkan mampu mendominasi flatform media sosial sebagai komparasi eksplisit untuk membendung kekuatan doktrin dan provokasi dengan mencari tahu kebenaran berita tersebut. Ibarat membeli barang yang sama dengan harga berbeda, maka masyarakat akan terlebih dahulu melihat komposisi dari kedua barang tersebut. Demikian juga jurnalisme damai secara tidak langsung mengajarkan sikap kritis terhadap berita yang tersaji, menjadikan masyarakat untuk lebih jeli dan teliti. Konten yang dimuat dalam berita jurnalisme damai harus menghindari ambiguitas yang dapat memicu potensi konflik baru. Penempatan diksi lebih dioptimalkan sesuai maksud dan tujuan berita dengan mencantumkan fakta berdasarkan akurasi objektif. Konten jurnalisme damai bersifat netral, objektif dan tidak mengandung unsur provokasi. Tujuannya murni untuk menawarkan informasi positif seputar peristiwa yang terjadi di lingkungan masyarakat, menghindari konten negatif serta menampilkan berita secara umum dan bersifat edukatif.
Pemantapan strategi dalam memerangi penularan berita palsu, selain cara tersebut di atas, masyarakat (audiens) sebagai titik tolak dan destinasi merupakan pemegang peran terpenting. Kesadaran atau ketidaksadaran masyarakat dalam bermedia sosial kembali diarahkan dengan menampilkan realita konflik yang dapat ditimbulkan oleh berita palsu. Menggiring masyarakat untuk mengalamatkan fungsi media sosial pada porsinya. Setidaknya sebagai sarana komunikasi dan informasi yang wajar agar tidak dengan mudah menjadi tunggangan para oknum untuk memecah keserasian dan persatuan bangsa. Keterlibatan masyarakat secara langsung dalam dunia daring disyaratkan untuk membuka wawasan mengenali makna positif dari kemajuan teknologi. Informasi-informasi palsu harus diperangi sebagai wujud konkrit menjaga persatuan dan kesatuan negara.
Berita palsu merupakan metode penjajahan baru yang menjelma dalam bentuk teknologi informasi dan elektronik. Maka jika tidak diperangi sejak dini, negara rentan mengalami penindasan yang lebih dahsyat hingga akhirnya menggulir ke generasi-generasi selanjutnya. Mengutip pesan Bapa Suci Fransiskus untuk hari komunikasi sedunia, “Kebenaran Akan Memerdekakan Kamu” mengandung makna reflektif yang cukup mendalam. Kebaikan yang anda tanamkan akan menghasilkan buah yang baik, demikian sebaliknya akan merugikan bukan hanya diri sendiri dan keluarga, akan tetapi juga bagi seluruh lapisan masyarakat dan negara. Menjaga keutuhan negara adalah salah jika tergantung sepenuhnya kepada pemerintah, akan tetapi diawali dari ruang lingkup keluarga, dengan demikian akan kita peroleh kemerdekaan dan kesejahteraan bersama.
Penulis: Tison Sihotang, Universitas Pamulang, Tangerang Selatan
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.