“To dissimulate is to pretend not to have what one has. To simulate is to feign to have what one doesn’t have.One implies presence, the other an absence.”
(Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation. Ann Arbor: The University of Michican Press, 1994, p. 3).
Wacana politik di Indonesia sejak jaman Orba penuh dengan disimulasi dan simulasi. Yang ada diingkari atau disembunyikan. Sebaliknya, yang tidak ada dibuat-buat seakan-akan ada. Namun, masalahnya lebih kompleks, karena simulasi bukan pura-pura bagi si pelakunya. Dalam perkembangannya, apa yang disimulasikan itu bisa betul-betul direifikasi sebagai benar-benar semakin ada. Kita mengenalnya sebagai momok. Ibarat seorang ibu yang menakuti-takuti anaknya dengan setan agar tidak ke luar rumah. Kemudian sang ibu jadi tidak berani ke luar rumah ketakutan pada “setan” yang diciptakannya sendiri.
Pada jaya-jayanya Orba, kerap terdengar istilah OTB (Organisai Tanpa Bentuk). Penanda (signifier) O-T-B mengacu pada objek maknawi yang ditandai dengannya (signified), yakni gerakan subversip di bawah tanah yang dituduh jadi otak intelektual atau dalang segala malaise dalam masyarakat. Setiap diperlukan, momok OTB ini dipanggil. Entah untuk mengalihkan perhatian pada masalah yang sebenarnya. Entah membuat masyarakat takut dan waswas hingga membutuhkan perlindungan keamanan. Pelakunya sendiri meringis gembira, karena simulasinya berfungsi. Namun pembuat simulasi bisa jadi psikotik sendiri, jangan-jangan roh-roh banyak orang kecil yang di bantai tanpa dosa tahun 1965 gentayangan menghantui mereka.
Setelah Orba tumbang, rakyat semakin sadar dan tidak mudah dikelabui. Sukar OTB dipanggil tampil ke panggung begitu saja. Rakyat semakin tahu bahwa OTB berarti Omong Tanpa Bukti. Namun di sana sini trik ini masih dicoba. Karena memang, kata pepatah, anjing tua sukar belajar trik baru.
Toh di era Reformasi ini, orang juga belum berani mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Berkembanglah wacana disimulasi, penutup-tutupan fakta dan pelaku. Di lingkungan terbatas, orang berani bicara, namun secara publik masih lihat kanan kiri. Aman atau tidak. Menguntungkan secara politis atau tidak.
Krisis Ambon yang berkepanjangan membuat sengsara banyak orang Ambon, baik Muslim maupun Kristen. Malino II telah menunjukkan tekad rakyat Ambon sendiri untuk berhenti bertikai. Tidak ada keuntungan apa pun dari pertikaian itu. Pertikaian horisontal memang terjadi, namun bukti-bukti di lapangan semakin menunjukkan bahwa ada akar yang lebih dalam. Namun akar yang lebih dalam ini sukar dicerabut, enggan diungkapkan, ditulis, atau diselidiki secara tuntas. Orang yang berani mencoba mengungkapnya diteror, diancam kalau perlu dihabisi. Tapi kalau Indonesia dikritik sebagai sarang atau pelatihan gembong terorisme, banyak politisi kebakaran jenggot, tersinggung per patriotismenya. Ingatan bangsa kita ini amat pendek. Seakan-akan teror Banyuwangi, teror malam Natal tidak pernah ada. Padahal setiap teror menciptakan gembongnya sendiri.
Mungkin banyak orang gembira mendengar berita ditangkapknya pemimpin RMS atau PKM dari pihak kristen, dan pemimpin Laskar Jihad dari pihak Islam. Namun siapa yang sebenarnya di balik kedua gerakan ini tidak pernah diungkap. Bahkan bisa dikesankan bahwa pertikaian di Ambon pertama-tama dan terutama masalah antar agama. Simulasi klasik Orba. Kalau ini terjadi, disimulasi kebenaran akan terus berlangsung. Dan kita akan tetap menghirup udara simulasi, disimulasi, serta simulacra.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.