MARILAH kita belajar untuk percaya bahwa Allah sungguh membimbing dan menemani proses perjalanan Sidang Koptari kita ini. Melalui pengalaman-pengalaman yang biasa, bertukar pikiran dan pengalaman, mendengarkan dan memberikan masukan dan sumbangan pikiran, berdoa bersama, mendengarkan khotbah dan merayakan Ekaristi, Allah menyertai kita. (Baca juga: Catatan Konferensi KOPTARI di Malino: Kesaksian Hidup sebagai Mistikus dan Nabi pada Zaman ini)
Dengan cara itulah dan memang hanya dengan cara-cara itulah Tuhan bisa membimbing kita. Bukan karena Tuhan tidak mampu menggunakan cara-cara lain, melainkan cara-cara biasa dan manusiawi itulah yang mampu kita tangkap. Tuhan rela untuk menyesuaikan diri dengan daya tangkap kita yang terbatas.
Pada hari pertama, kita sudah merenungkan bahwa Gereja lokal yang telah terbentuk sebagai umat Allah di keuskupan-keuskupan tempat kita berkarya adalah tanda nyata dan kelihatan dari karya Allah yang menyelamatkan umat-Nya. Jemaat-jemaat baru terbentuk karena ada pewartaan Injil dan tanggapan dari roh manusia yang menimbulkan iman.
Iman adalah kerja sama penuh misteri antara tawaran keselamatan dari Allah dan jawaban bebas manusia. Ketika Petrus menyatakan imannya dengan berkata, “Engkau adalah Mesias, Putera Allah yang hidup.” Kemudian Yesus menyatakan, “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus, sebab bukan manusia yang menyatakan hal itu kepadamu melainkan Bapa-Ku yang di surga. Injil Yohanes juga menyatakan, “Tidak seorangpun dapat datang kepada Yesus, kalau tidak ditarik oleh Bapa di surga.”
Sama seperti dinamika iman kristiani tumbuh dalam hati manusia karena rahmat Allah dan jawaban bebas seorang manusia, demikian pula halnya dengan panggilan-panggilan religius.
Romo Emanuel Sembiring, OFM Cap menyatakan bahwa panggilan itu adalah karya Allah. Jangan kita banyak cemas. Tuhan sendirilah yang akan memberikan panggilan-panggilan itu. Kita tidak usah membahasnya berlama-lama. Bagian kita adalah memberi kesaksian hidup religius yang penuh kegembiraan dan melayani orang-orang miskin dengan sungguh-sungguh.
Yesus menghendaki bahwa jawaban atas panggilan untuk menjadi orang kristiani (orang katolik) maupun panggilan religius dilaksanakan dengan bebas. Waktu para murid di Galilea mengundurkan diri, Yesus justru menantang para murid yang masih mau tinggal bersama-Nya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?”
Tantangan Yesus itu merujuk pada dua hal:
- Pertama bahwa mengikuti Dia tidak boleh dengan terpaksa.
- Kedua, sebagai Putera Allah, Yesus tidak membutuhkan para murid.
Para muridlah yang membutuhkan Yesus. Dalam bahasa anak muda Jakarta, Yesus bisa mengatakan, “Kalau kamu semua pergi, emangnya Gue pikirin?”.
Syukurlah Petrus menjawab dengan kebebasan iman: Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi, Engkaulah Sabda Kehidupan kekal.
Panggilan itu rahmat
Ajaran Yesus bahwa iman dan panggilan religius adalah rahmat Allah dan jawaban bebas manusia mempunyai implikasi atau efek yang luas dalam Gereja.
Konsili Vatikan II akhirnya berani membuat pernyataan tentang kebebasan beragama. Berabad-abad lamanya Gereja Katolik berpegang pada keyakinan bahwa dalam hal kebenaran iman, kita tidak mempunyai kebebasan. Manusia terikat kewajiban untuk hanya mengakui ajaran yang benar. Error atau ajaran yang tidak benar tidak punya hak untuk dipercaya.
Melalui refleksi yang panjang dan sumbangan pikiran dari Teolog dari Amerika John Courney Murry SJ yang intinya: mengakui kebebasan beragama adalah sesuai dengan ajaran Guru Ilahi sendiri yang menghargai kebebasan manusia dalam hal beriman. Kedua, mengakui kebebasan beragama adalah mengakui hak asasi seseorang, bukan mengakui kebenaran dari agamanya.
Dalam hal misteri panggilan religius, Yesus menuntut suatu jawaban yang bebas, tanpa ada keterpaksaan. Kita dipanggil untuk menjadi sahabat-sahabat-Nya. Sahabat adalah orang-orang dekat atau lingkaran dalam yang dengan bebas sehati dan seperasaan dengan Yesus. Kesaksian hidup religius terletak dalam hal persahabatan pribadi dengan Yesus. Yang kedua, kebebasan menimbulkan sukacita dan hati yang riang gembira. Allah berkenan dengan orang yang memberi dengan suka hati. Memberi kesaksian hidup religius dengan kegembiraan dalam kebebasan batin.
Pada zaman kita dan pada beberapa waktu sebelumnya, panggilan-panggilan hidup bakti sudah dimulai sejak usia yang sangat dini: ada seminari kecil dan menengah; ada aspiran dan postulan suster yang baru lulus SMA, lalu menempuh pembinaan. Memang pembinaan calon-calon religius muda itu dimaksudkan untuk pendidikan, untuk seleksi, dan untuk mencapai taraf kedewasaan supaya dengan bebas menjawab dan memutuskan untuk profesi religius. (Baca juga: Kabar dari Malino, Sulsel: Laporan tentang KOPTARI dan 64 Pemimpin Religius se-Indonesia Sidang Tahunan di Sulsel).
Usia dewasa
Kalau kita melihat sejarah Gereja, maka banyak panggilan sudah dimulai pada usia dewasa: St. Gregorius Agung, Paus dan Pujangga Gereja, semula adalah seorang bangsawan awam dan prefek atau walikota Roma. Baru dalam usia 33 tahun ia masuk hidup membiara. Demikian pula dengan St. Agustinus yang sudah dewasa baru dibaptis dan kemudian menjadi Uskup
Yang membaptis Agustinus adalah St. Ambrosius, Uskup Milano, yang sebelumnya juga adalah walikota Milano dan umat memilihnya dengan teriakan Ambosius Uskup… Ambrosius Uskup…; lalu Ia menjadi Uskup berdasarkan pemilihan dari umat. Dari peristiwa itu muncul istilah: vox populi, vox dei.
St. Fransiskus dari Asisi dan St. Ignatius dari Loyola juga dipanggil Tuhan menjadi religius dalam usia yang sudah dewasa dan matang. Kalau kita mundur ke belakang pada zaman para rasul, semua rasul yang dipilih oleh Yesus itu adalah orang-orang dewasa dan orang yang sudah tua, bahkan Petrus mempunyai ibu mertua.
Relevansinya bagi kita adalah: mungkin kongregasi dan tarekat kita perlu mencari panggilan dalam diri orang-orang dewasa yang sudah matang bahkan mandiri secara ekonomi dan sedang mencari makna hidup.
Kredit foto: Bersama moderator sidang Sr. dr. Luisa JMJ (bertugas di RS Palopo, Sulsel), penulis tengah memberi pemaparan tema Kesaksian Hidup sebagai Mistikus dan Nabi pada Zaman ini.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.