Sharing Romo Prier, SJ:
Teman-teman yang baik,
Hampir 2 minggu sudah lewat sejak saya hampir menjadi arwah. Namun nampaknya ada malaikat pelindung yang ikut campur tangan.
Betul, saya sebenarnya bisa lari keluar gereja seperti kebanyakan orang yang mengikuti misa tgl 11 Februari di gereja stasi St. Lidwina Bedog. Namun suara hati saya berkata: Jangan pergi. “Gembala yang baik tidak boleh lari bila serigala datang” (hm). Saya tetap berdiri di altar untuk membelokkan perhatian si pelaku dari umat kepada saya. Sesudah memukul domba “serigala” memang datang untuk memukul gembala. Melalui gang tengah gereja dengan pedang panjang yang diangkat tinggi dia berteriak “Allahu akbar”. Namun di muka altar ia berhenti sebentar, seakan-akan masih berpikir kok orang ini tidak takut? Bagaimana saya bisa membuat dia takut? Pada saat itu saya merasa seperti Daud yang menghadap Goliat (hm). Anehnya tanpa takut sama sekali. Kemudian si Goliat datang ke belakang altar dimana saya berdiri, 2 kali aku dipukul di punggung, pukulan ketiga di kepala. Saya hanya perputar ke kanan, tetap berdiri di situ, tidak jatuh. Banyak darah mengalir dari kepala saya, maka saya pergi tanpa diikuti oleh dia. Ketua stasi Bedog mendekati saya dan berkata: kita pergi ke rumah sakit.
Sesudah itu si Goliat memenggal kepala patung Bunda Maria dan Hati Kudus Yesus, merusak mimbar dll. Beberapa orang dari umat berusaha untuk melawan dia dengan tongkat, dengan melempar kursi dll. namun tidak berhasil juga. Polisi yang segera tiba juga dilawan dan dilukai denga pedang, sampai akhirnya suatu peluru dalam kaki menghentikan aksi babi-buta itu.
Di UGD Panti Rapih saya dan tiga bapak lain yang berluka berat segera berbalut dan discan kepala. Dr. Wiryawan, ahli bedah berkata pada saya: ini harus dioperasi; tetapi untung selaput otak dan otak sendiri masih utuh. Operasi langsung terjadi juga tanpa kesulitan. Sebagai oleh-oleh / relikui saya mendapat pecahan tengkorak yang diambil dokter dari dalam kepala saya.
Ada tiga hal menarik yang terjadi sesudah itu:
Pertama, kunjungan Sri Sultan hari Minggu tgl 11.2. di ICU Panti Rapih. “Saya minta maaf pada Romo”. Baru kemarin saya diberi tahu oleh teman saya serumah, Rm. InNugroho SJ, bahwa kalimat ini tidak pernah terdengar sebelumnya dari mulut Sang Raja Yogya.
Kedua, hari Senin tgl 12.2. di Bedog umat Katolik mulai membersihkan gereja; namun anehnya segera didampingi oleh umat Islam sebagai tanda solidaritas. Bersama-sama gereja dicat baru hingga sekarang nampak lebih segar. Bahkan seorang haji pada hari Senin langsung menyumbangkan patung Bunda Maria dan Hati Kudus Yesus baru. Seorang lain lagi menyumbangkan CCTV / alat alarm yang juga langsung dipasang di gereja. Semuanya ini terjadi tanpa panitia dan rencana RAB dsb. Hebat. Suatu tanda kuat, bahwa masyarakat Yogyakarta berusaha keras untuk memperbaiki image sebagai kota nyaman yang akhir-akhir ini agak luntur.
Ketiga, hari Senin tgl 19.2. di gereja Bedog dirayakan ibadat syukur: gereja diberkati kembali oleh Bp. Uskup Semarang Mgr. Robertus Rubiyatmoko. Para kurban pun hadir, masih dengan balut-balut, namun dengan rasa syukur di hati. Yang hadir bukan saja umat Bedog, tetapi dari seluruh kota Yogyakarta, katanya 1400 orang. Tentu kompleks gereja dijaga ketat juga oleh polisi. Dalam homili saya dipersilahkan untuk sharing. Saya tegaskan dua hal: Pertama, “Jangan takut! Kita mengalami bantuan luarbiasa pada saat dimana diperlukan”. Kedua, “Saya maafkan Sulyono dengan ikhlas. Karena saya juga tiap hari berdoa dalam Bapa Kami …seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami.”
Sekarang saya menikmati masa pemulihan. Rasanya tidak sakit tetapi masih lemas, karena Hb (darah) masih rendah. Balutnya sudah dilepas, tinggal menunggu rambutnya tumbuh kembali. – Terima kasih atas segala doa dan perhatian yang sangat saya hargai. Maaf bahwa komunikasi sejak tgl 11 Februari agak macet, melalui surat umum ini saya ingin membalas segala email, SMS, WA yang saya terima dari Anda.
Salam dalam Kristus
Karl-Edmund Prier sj
Copas dari email Mgr Sunarko di serayu.net
Imam diosesan (praja) Keuskupan Weetebula (Pulau Sumba, NTT); misiolog, lulusan Universitas Urbaniana Roma; berkarya sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) KWI, Juli 2013-Juli 2019