WASHINGTON (CNS) – Suatu hari di awal bulan September, seorang warga kota Washington, Yayo Grassi dikagetkan oleh panggilan dari penelpon misterius ketika sedang bekerja di halaman belakang rumahnya.
“Saya sedang menyiram tanaman dan tiba-tiba telpon saya berdering, tetapi penelponnya tidak ada dalam kontak saya,” ujar Grassi .
“Saya mengangkat telpon dan saya mengatakan ‘halo’, dan suara dari seberang mengatakan, ‘halo, apakah ada Obdulio?,” lanjutnya.
Satu-satunya orang yang pernah menyebutnya dengan julukan itu adalah gurunya di SMA sekitar 50 tahun yang lalu di Argentina – Jorge Mario Bergoglio, sekarang Paus Fransiskus.
Grassi mengatakan, ia pernah menerima email dari mantan gurunya – Paus Fransiskus – sebelum berkunjung ke Amerika . Namun, ia tidak pernah berpikir akan mendapat panggilan. Melalui email, Grassi mengatakan, ia sangat ingin bertemu dengan Paus tapi ia tahu hal itu tidak mungkin karena padatnya jadwal kegiatan Paus selama berada di Amerika Serikat.
Ketika mendengar suara di telepon , “aku jadi sadar … dia memanggil saya dari Italia,” ungkap Grassi (67).
Grassi berbincang-bincang dengan Paus dan menghabiskan waktu percakapan mereka melalui telpon selama 15 menit, mendiskusikan soal Kuba, politik dan agama.
“Hal pertama yang disampaikan Paus Fransiskus adalah “jika anda mempunyai waktu saya akan menemuimu dan berpelukan hangat denganmu di Washington,” kata Grassi saat diwawancarai CNS (6/10).
Tiga minggu setelah ditelpon dari Roma, Grassi, yang seorang gay, menjadi berita utama di media-media internasional dan lokal. Ia dan beberapa temannya termasuk seorang temannya yang muslim mendapat kesempatan untuk bertemu Paus Fransiskus di Washington.
Pertemuan tersebut merupakan salah satu dari beberapa pertemuan yang telah terjadi selama ini antara Grassi dan pria yang kini Paus, termasuk di Vatikan, tegas Grassi.
“Saya tidak ingin berbesar hati,” kata Grassi diakhir sesi wawancara sambil menegaskan bahwa pertemuan itu sama sekali tidak menyiratkan dukungan Paus terhadap penikahan sesama jenis, sebagaimana ditentang Gereja.
Grassi, yang bermigrasi dari Argentina ke Washington pada tahun 1978, memandang pertemuannya dengan Paus Fransiskus sebagai sebuah konsekuensi alami dari “kebaikan dan keunggulan cara berpikir” Paus Fransiskus.
“Ia adalah orang yang akan saya temui jika saya mempunyai masalah, saya mendengarkan perkatannya dan ia selalu mengingatkan, anda harus “mengenakan pakaian yang sesuai dengan warna kulit sesama apabila anda ingin merasakan penderitaan mereka”, kenang Grassi ketika bertemu dengan Kardinal Bergogilo.
Kardinal Bergogilio juga menantang Grassi dan rekan-rekan kelasnya untuk berpikir luas dengan memperkenalkan kepada mereka para penulis kontemporer Argentina, bukan hanya penulis klasik, “karena mereka selalu berhubungan dengan anda sekalian dalam cara pandang berbeda,” ungkap Grassi mengutip pernyataan Kardinal Bergoglio.
Grassi, yang menyebut dirinya seorang ateis, mengatakan ia kehilangan kontak dengan mantan gurunya ketika masuk Perguruan Tinggi sampai tahun 2008, ketika akhirnya bertemu lagi di Buenos Aires. Pada waktu itu, Grassi bertanya kepada Kardinal Bergoglio tentang upaya apa yang dia pikirkan untuk melegalkan pernikahan sesama jenis di Argentina.
“Ia mengatakan, saya ini seorang gembala umat dan karena itu saya harus taat pada ajaran gereja, tetapi pada saat bersamaan saya juga manusia, maka pemisahan seperti ini sering menimbulkan pertentangan,” kata Grassi mengulang pernyataan Kardinal Bergoglio.
Selanjutnya, pada tahun 2010, Grassi mengatakan ia mengontak Kardinal Bergoglio sekali lagi, pada waktu itu melalui email dan berbicara secara khusus tentang reaksi penolakan Kardinal Bergoglio terhadap penikahan sesama jenis sebagaimana diberitakan pers Argentina.
“Saya mengatakan, anda telah membentuk pemikiran yang paling progresif dan paling terbuka bagi hidup saya, anda telah memberi kepada saya pandangan yang berbeda namun lengkap tentang dunia. Namun saya sangat kecewa dengan sikap anda tentang pernikahan gay,” tulis Grassi kepada Kardinal Bergoglio.
Kardinal membalas, mengatakan kalau pernyataannya telah ditempatkan di luar konteks dan meyakinkannya bahwa dalam karya pastoral tidak ada tempat untuk homophobia,”
“Untuk membuktikan pernyataan itu, Paus Fransiskus mengundang Grassi dan pasangannya ikut ambil bagian dalam audiensi umum di Lapangan St. Petrus tahun 2013, sehingga Paus dapat bertemu dengan mereka di tengah ribuan pengunjung lainnya, “ujar Grassi.
“Saya ingat ketika saya berjalan masuk ke lapangan St. Petrus, saya berkata kepada pacar saya, “apakah anda menyadari bahwa ini menjadi pertama kalinya dalam sejarah Gereja Katolik seorang Paus menyambut pasangan gay yang ateis-muslim,” kata Grassi sambil tertawa.
Sumber: American Catholic.org
Penterjemah: John Laba Wujon
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.