Beranda GEREJA KITA Sekolah Annai Paadasaalai “Mimpi Yang Masih Bersemayam Di Lubuk Anak Pengungsi”

Sekolah Annai Paadasaalai “Mimpi Yang Masih Bersemayam Di Lubuk Anak Pengungsi”

RP. James Bharataputra bersama siswa sekolah Annai Paadaasalai/Foto: Ananta Bangun

Mulanya Jeffry Siallagan, Voluntir Di Graha Maria Annai Velangkanni, Mengisahkan Sebuah Lembaga Pendidikan Bagi Anak-Anak Pengungsi Dari Sri Lanka. Dia Lalu Mengajak Untuk Mebuatkan Sebuah Liputan Tentang Semangat Belajar Di Sekolah Ini. Aku Menyambut Ajakan Tersebut.

Pendidikan Adalah Hak Setiap Orang. Demikian Kami Menemukan Inti Dari Liputan Ini, Dan Memang Mantra Itu Bagai Memantul-Mantul Di Setiap Sesi Wawancara Dan Rekaman Video Ini. Oleh Karena Itu, Aku Dan Jeff Sepakat Fokus Pada Nilai Ini. Beberapa Info Yang Kami Pandang Sensitif Sengaja Kami Hilangkan, Agar Tidak Memancing Reaksi Negatif Yang Berdampak Pada Keberlangsungan Sekolah Ini.

Aku Dan Jeff Juga Sepakat Menerbitkan Artikel Ini Pada Tanggal 2 Mei. Hari Sakral Dalam Peringatan Hari Pendidikan. Semoga Ilham Dalam Tulisan Ini Turut Merasuki Setiap Pembaca. Amin

Jasmita (kiri) dan Sudarjana (kanan) diabadikan di depan Graha Maria Annai Velangkanni/Foto: Ananta Bangun

***

Aku bersua kedua anak gadis tersebut, Sadurjana (13) dan Jasmita (15), di kantin Kanna – Graha Maria Annai Velangkanni. Aku memuji mereka cantik, dibalas dengan derai tawa dan senyuman manis. Sepintas lalu, mereka terlihat bagai remaja umumnya.

Aku berniat mewawancara mereka sebagai siswi di Sekolah Annai Paadasaalai. Yakni, lembaga pendidikan (sementara ini) dari tingkat playgroup hingga sekolah dasar bagi anak-anak pengungsi Sri Lanka yang mengungsi di Sumatera Utara, Indonesia.

Seumpama pengalaman hidup mereka ditulis pada satu buku harian. Tentu lah hampir setiap halamannya akan tercabik-cabik oleh amarah, luka, dendam dan luapan emosi lainnya. Tapi, kini di hadapanku keduanya mengaku bahagia dan punya mimpi yang hendak dikejar. Dan sama dengan teman sejawatnya di tempat penampungan pengungsi, mereka tengah berjalan, berlari dan akhirnya akan terbang bersama iman. Keyakinan.

I

Sadurjana dan Jasmita mengaku mulai suka masakan Indonesia. “Saya suka nasi goreng, karena bumbunya enak,” kata Sadurjana. “Kalau saya suka mie Aceh, sebab rasanya enak dan pedas,” timpal Jasmita. Keduanya menikmati obrolan pagi itu dengan riang, serta senyuman di wajah khas Tamil mereka

Keduanya bercita-cita, dan sungguh yakin, hendak menjadi seorang dokter kelak. “Bila menjadi dokter kelak, saya ingin membantu anak-anak yang menderita sakit,” ujar Jasmita. Aku berkelakar, seandainya diriku menjadi pasien, apakah dia mau memberi perawatan dengan harga diskon. “Hehehe. Iya, tentu saja untuk pak Ananta, saya akan beri perawatan dengan harga gratis.”

Saat menanyakan tentang nama keluarganya masing-masing, Sadurjana melafalkan sebuah nama yang agak samar bagiku. “Itu adalah nama ayah saya. Dia masih di Sri Lanka. Di sini (Medan), aku hanya bersama Ibu.” Suasana menjadi agak mendung. Aku coba bertanya sedikit, apakah dia ada mendapat kabar terbaru tentang ayahnya. “Belum. Sampai sekarang, kami belum mendapat kabar tentang Ayah.”

Sadurjana dan Jasmita, adalah salah dua dari sekira 70 siswa di Sekolah Annai Paadaasalai. Lembaga pendidikan ini dibangun khusus bagi anak-anak pengungsi Sri Lanka yang mencari perlindungan dan penampungan sementara di Sumatera Utara, Indonesia.

Rajeevan, inisiator sekolah Annai Paadasaalai/Foto: Ananta Bangun

Adalah Rajeevan, salah satu pengungsi Sri Lanka, memulai inisiatif pengadaan lembaga pendidikan bagi anak-anak tersebut. “Kami mengungsi sebab gejolak di negara asal kami. Kemudian, entah bagaimana, mungkin karena kehendak Tuhan, kami pun sampai di negara ini. Di pulau ini,” kenang pria nan murah senyum.

Dia menyampaikan, dua lembaga imigrasi hingga kini mengurus nasib kami para pengungsi. “Selain dari Sri Lanka, ada juga (pengungsi) dari Afganistan, Iran dan Irak, di negara ini. Kedua lembaga imigrasi telah mengurus agar kami bisa tinggal di tempat yang lebih aman dan baik bagi kami.”

Rajeevan mengatakan, kedua lembaga imigrasi tersebut memberi uang untuk kebutuhan hidup para pengungsi. Living cost tersebut diberikan setiap bulan. “Namun, sesuai peraturan imigrasi, kami dilarang mengambil pekerjaan di sini,” kata dia. “Masalahnya adalah, kami tidak memiliki uang yang cukup untuk memasukkan anak-anak kami di sekolah internasional. Seandainya, kami diizinkan mencari nafkah sementara di sini, kami bisa memperoleh uang yang cukup untuk membayar biaya sekolah anak-anak kami.”

Meskipun kondisi mereka tengah terlunta-lunta, Rajeevan tidak ingin mengabaikan pendidikan bagi anak-anak pengungsi Sri Lanka. “Tidak ada yang tahu, kapan kami akan mendapat suaka ke negara lain. Namun, saya tidak ingin ketika harapan (suaka) terwujud, hendaknya mereka jangan sampai kesulitan mendapat kesempatan bersekolah hanya karena lama tak mengikuti proses akademik selama pengungsian.”

Dia memulai upaya tersebut di komunitas penampungannnya di Binjai. “Kami membentuk tempat belajar bagi anak-anak pengungsi Sri Lanka di Binjai. Pada awalnya, hanya ada 25 siswa,” tutur pemegang gelar MBA tersebut. “Saya mengajar matematika, bahasa Tamil dan juga bahasa Inggris. Namun kelas ini hanya ada Binjai, sungguh sayang sekali.”

Rajeevan menjelaskan, ada enam pusat pengungsian Sri Lanka di Sumut. “Yakni di Binjai, Pasar II, Pasar III, Padang Bulan, Elisabeth, Sandi Putra.”

“Maka, saya fikir sungguh baik membuat sebuah pusat pendidikan bagi seluruh anak-anak pengungsi Sri Lanka tersebut. Saya kemudian menyampaikan niat tersebut kepada Pastor James. Tepatnya, sekira bulan Juni 2017 lalu,” kata dia.

Rajeevan menceritakan situasi dan harapan mereka kepada Rektor Graha Maria Annai Velangkanni, RP James Bharataputra SJ. “Di tengah persiapan membangun sekolah ini, kami mendapat kabar buruk bahwa lembaga terkait menghentikan proses suaka para pengungsi Sri Lanka. Mereka tidak tahu kapan proses ini akan dilanjutkan kembali,” katanya. “Saya bilang tidak tahu pada siapa lagi bisa mengadukan hal ini. Terlebih saya tahu bahwa Pastor James juga seorang Tamil.”

“Saya bertanya, apakah Pastor berkenan memberi izin agar anak-anak kami bisa sekolah di sini (Velangkanni),” katanya, seraya menambahkan bahwa dirinya telah mengurus berkas-berkas terkait izin menjalankan pusat pendidikan ini.

Pastor James menyatakan kesediaan. Dia juga sempat mendoakan apakah ini kehendak Tuhan? “Lalu, saya tersirat, bahwa pendidikan adalah hak dari anak-anak,” katanya.

“Saya bilang, saya ingat ada sebuah rumah yang kosong. Saya tanya adalah ada berapa anak yang hendak dimasukkan dalam program pendidikan ini. Mulanya ada sekitar 40 anak siswa. Dan kini, sudah ada sekitar 70 siswa. Mulai dari Play Group sampai SD,” ujar Pastor James.

Pastor James turut membiayai renovasi gedung sekolah tersebut. Untuk kebutuhan pembelajaran, Rajeevan coba mengontak saudara-saudara pengungsi Sri Lanka yang telah mendapat izin menetap di Australia, Jerman.

“Mereka pun mengirim sejumlah uang. Kami menggunakan uang tersebut, untuk membeli seragam, buku bagi siswa kami,” katanya.

Perhatian atas sekolah ini terus mengalir. Pastor James mengenang, pihak sekolah sempat terkendala masalah transportasi menjemput dan mengantar pulang para siswa di enam komunitas penampungan tersebut. “Mula-mula kami menyewa mobil sebesar Rp3 juta per bulan. Selama tiga bulan hal ini berlangsung, saya pikir ini rugi jika dalam jangka waktu lama. Maka, baik saya pikir jika kami memiliki mobil yang agak besar.”

Melalui komunikasi dengan saudara pengungsi Sri Lanka di Swiss, dan sumbangsih dari beberapa umat setempat, terkumpul setengah dana untuk pembelian mobil tersebut. “Setelah memperoleh separuh dari harga mobil. Maka saya pikir, Graha Maria bisa sumbang separuh lagi. Dengan demikian kami berhentikan sewa satu taksi.”

“Kemudian, saya ingat sekolah yang pernah saya bangun di Takengon. Saya ingat ada 2 bus. Saya mohon izin pada Vikjen dan juga dengan pihak sekolah. Puji Tuhan, mereka mengabulkan. Dan kami rehab mobil tersebut, dan sekarang kami tak perlu lagi sewa mobil,” kata Imam asal India tersebut.

Dia menimpali, seorang donatur, bernama Dokter Lie juga menyumbang AC dan genset untuk sekolah ini.“Jadi, saya melihat dalam hal ini campur tangan Tuhan ada. Tidak ada kesulitan. Namun, kami tidak mau ini diberikan gratis. Orangtua siswa juga kami minta partisipasinya melalui kutipan uang yang digunakan untuk bahan bakar transportasi.”

II

Sr. Elpiana Barus SOSFX kerap menyipitkan mata sebagai tanda dia tengah menegaskan ucapannya. Meski memiliki wajah terkesan serius, biarawati yang fasih berbahasa Inggris, Italia, Tagalog (Filipina), Indonesia dan (bahasa daerah) Karo ini rupanya senang humor. Tanpa sungkan, dia akan terbahak-bahak bila mendengar lelucon nan menggelitik.

Pastor James meminta bantuan Suster Elpi sebagai pengajar di sekolah Annai Paadasaalai. “Di sekolah ini, saya mengajar bahasa Indonesia bagi siswa,” kata Suster Elpi.

Saat Pastor James mendapati kabar bahwa lembaga imigrasi tidak akan mencari negara suaka bagi pengungsi, dia berdoa memohon Tuhan memberi belas kasih-Nya kepada mereka. “Sebab, mereka tidak mau kembali ke negaranya.”

“Maka, saya pikir, apa salahnya jika mereka belajar bahasa Indonesia. Seandainya jika akan tinggal lama di sini, atau menjadi resident permanen. Maka kita minta suster SOSFX untuk mengajarkan bahasa Indonesia,” ungkap Pastor James.

Suster Elpi mengaku senang bisa mengajar para siswa sekolah tersebut. “Saya mengajar alfabet dengan nyanyian A-B-C-D. Kemudian saya ajarkan bahasa Indonesia dengan kombinasi dua huruf: ba-bi-bu. Pada umumnya anak-anak cepat menangkap apa yang saya ajarkan.”

Menurut Suster Elpi, anak-anak mengaku semangat dan senang belajar bahasa Indonesia. “Dengan semangat dan ungkapan kata-kata mereka, saya merenungkan betapa mereka sangat menyadari pentingnya pendidikan dalam hidup mereka,” katanya. “Kini, setiap kali masuk ke kelas, mereka akan menyapa: “Suster, Suster. Apa kabar?” Ini menunjukkan semangat mereka. Bisa saya lihat, mereka pintar. Mereka hanya butuh ada orang  yang mengajari mereka.”

Dia mengatakan, Pastor James juga sering mendorong anak-anak agar lebih sering berbahasa Indonesia dengan Suster. “Kesulitan dalam mengajar tidak begitu besar. Sebab sudah fasih berbahasa Inggris. Ini juga membuat saya lebih semangat, sebab bisa mengasah kemampuan bahasa Inggris.”

Saya sangat terharu saat mengajari mereka. Setiap kali masuk kelas, mereka langsung mendatangi saya dan berkata: “Suster, Suster. Ajari kami.”

“Saya merasakan dalam diri anak-anak itu begitu girang untuk belajar. Saya merasakan dalam diri mereka hadir Yesus. Mereka butuh dan perhatian dari kita.”

Kesan senada juga dialami Sr. Jeanne Panul, KSSY. Biarawati yang kerap disapa Suster Sean mengaku senang dan berarti karena bisa melihat langsung keadaan mereka sebagai pengungsi. “Dan juga mendengar cerita mereka. Jadi, latar belakang mereka, sebelum hidup seperti ini.”

Dalam interaksi bersama saat mengajarkan musik, dia mendapati mereka sangat membutuhkan orang-orang yang peduli pada mereka. “Hampir setiap hari, saya bersentuhan dengan mereka. Baik sebagai pengajar maupun orangtua di Velangkanni ini.”

Rasa haru dirinya kerap hadir setiap sesi break atau istirahat. “Mereka akan membuka bekal makanannya masing-masing. Meskipun seadanya, mereka makan dengan sukacita dan mau saling berbagi. Beberapa siswa juga ingin berbagi bekalnya dengan saya juga. Mereka bilang:”Suster, you can try my food,” ujar Suster Sean dengan mata berlinang.

III

Tantangan bagi siswa Sekolah Annai Paadasaalai adalah menerbitkan pengakuan bahwa mereka telah berhasil menyelesaikan proses akademik. Selain juga, pengakuan tingkat global, jika diandaikan mereka akan memperoleh suaka ke negara lain.

“Sejak memulai kegiatan belajar mengajar pada 3 Oktober 2017 lalu. Tiga bulan kemudian, kami mengadakan ujian umum bagi para siswa,” kata Rajeevan.

Dia pun menelusuri Internet untuk mencari kurikulum pendidikan standar internasional. “Saya telah menemukan, sepertinya silabus pendidikan internasional dari Cambridge, baik bagi siswa kami. Sebenarnya, ini bukan lah perkara yang mudah. Tetapi, kami harus melakukan langkah ini. Harapannya adalah para siswa mendapat sertifikat pendidikan Internasional yang bisa digunakan kapan dan dimana pun siswa kami dipindahkan ke negara lain.”

Siswa Sekolah Annai dijemput dan diantar kembali ke tempat penampungan mereka/Foto: Ananta Bangun

Pastor James juga menandaskan bahwa dirinya tidak pernah khawatir dana untuk sekolah ini. “Sebab Tuhan pasti kawal pelayanan ini. Tuhan lah yang menjadi gembala mereka. Saya mau mengobarkan semangat mereka dengan doa.”

Imam Jesuit tersebut juga  ingin jadikan sekolah ini sebagai tanda bukti karya Graha Maria Annai Velangkanni. Meskipun ini bukan sebuah tujuan utamanya.

“Paling menggembirakan, pada tahun lewat, mereka merayakan Natal bersama di Catholic Center KAM. Saya minta pada Pastor Redemptus OFM Cap, kiranya siswa Annai Paadasalai diizinkan mengisi acara. Puji Tuhan, dia memberi izin,” katanya. “Salah satu lagu yang membuat kagum hadirin adalah lagu “I have a dream”. Orang-orang Sri Lanka yang ada di negara lain, sungguh gembira karena anak-anak tidak dilupakan.”

Jeffry Siallagan, salah seorang relawan di Graha Maria Annai Velangkanni, menceritakan pengalaman tersebut sungguh menggugah dirinya. “Mulanya Suster Sean mengontak saya, memohon bantuan untuk mempersiapkan penampilan lagu anak-anak Sri Lanka untuk perayaan Natal, bersama PS Magnificat di Catholic Center KAM. Ada dua lagu yang kami persiapkan saat itu: Silent Night dan O Holy Night,” ujar pria yang gemar fotografi ini.

“Selama persiapan satu bulan. Saya bantu mengiringi dengan piano. Saya merasa tersentuh dengan semangat dan kebahagiaan untuk bernyanyi. Saya merasakan bahwa mereka sesungguhnya juga punya mimpi sebagaimana kita lainnya. Maka saya terbersit agar anak-anak ini juga belajar menyanyikan lagu “I Have a Dream”. Saya mengutarakan ide ini pada Suster Sean, dan dia menyetujui,” aku Jeffry.

Pada awalnya, Jeffry ingin agar beberapa anak yang menyanyikan lagu tersebut diiringi teman-temannya dengan pianika. “Namun, masalahnya mereka belum bisa harmonisasi suara dan alat musik. “

“Kemudian kami putuskan mereka semua menggunakan alat musik saja. Dan kami cari notasi dari Google, dan mereka berlatih. Seminggu kemudian, saya terlibat dalam latihan ini.”

Jerih payah persiapan latihan memainkan pianica tersebut akhirnya ‘berbuah’. “Sebagaimana dituturkan Father James, para hadirin sungguh tersentuh dengan semangat anak-anak ini. Meskipun saat ini mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dalam hidup nya. Saat ini mereka bisa berada di sini, namun tidak tahu bagaimana dan kemana esok harinya.”

“Namun, mereka tetap meyakini ada harapan terselip dalam hidup mereka. Sebuah mimpi yang pantas untuk mereka perjuangkan. Setelah penampilan tersebut, mereka pun kerap menyanyikan lagu ini,” katanya.

“Sebenarnya mustahil, seorang anak pengungsi bermimpi menjadi dokter. Namun, mereka meyakini mimpinya akan tercapai. Meyakini anugerah Tuhan. Sederhananya: berbagi dan bersyukur. Seperti juga ada dalam lagu “Hidup ini Adalah Kesempatan”.

IV

Pada tahun 1960, seorang biarawan muda Jesuit berdoa agar dirinya bisa diizinkan Tuhan turut misionaris bagi Tamil di Sri Lanka. Harapan tersebut kandas, sebab dia malah diutus sebagai misionaris ke Malaysia. Di negeri jiran, dia juga tidak lama menetap karena terbitnya aturan imigrasi. Dari situ, dia pun sempat belajar teologi di Yogyakarta. Sebuah pertemuan dengan seorang Tamil di kota Gudeg, menginspirasi misionarisnya ke Medan (walau sempat juga ditugaskan ke Papua) hingga kini.

Siswa sekolah Annai Paadaasalai diabadikan bersama suster dan Jeffry Siallagan seusai pentas dalam natal di CC KAM/Foto: Ananta Bangun

“Sebenarnya saya lah yang lebih gembira daripada mereka. Karena Tuhan yang memenuhi doa yang saya panjatkan pada tahun 1960 lalu. Bayangkan, doa yang saya panjatkan pada tahun 1960 ternyata dikabulkan oleh-Nya. Saya sendiri sudah lupa. Tapi Tuhan tidak lupa pada doa saya. Dan kini, bukan saya yang datang melayani Tamil di Sri Lanka, justru mereka lah yang mendatangi saya. Pada usia tua seperti ini. Ini adalah misteri Ilahi,” sahut Pastor James dengan seulas senyuman.

“Saya merasa bahwa Tuhan punya rencana dengan mengutus ke Indonesia. Saya bahagia karena mereka seperti mengurus seorang bapak. Segala yang saya butuhkan mereka kerjakan,” katanya. “Jangan pernah khawatir doa kita sia-sia. Kapan Dia mau kabulkan, Dia akan kabulkan.” (Ananta Bangun)