MIRIFICA NEWS, WEETEBULA – 10 tahun sudah umur Radio Vox Mundi 101.0 FM Keuskupan Weetebula. Meski dikelola secara komersial, radio keuskupan ini menjalani proses yang panjang dan tidak mudah. Perjalanan Vox Mundi sejak lahir pun tidak terlepas dari figur seorang awam bernama Agustina Maryana Kale.
SEBELUM VOX MUNDI
Lulus dari keperawatan, Agustina pindah bekerja di bidang perhotelan di Bali selama 15 tahun. Pada tahun 2005, ia hijrah bekerja di Amerika. Ketika kembali ke Indonesia tahun 2008 untuk memperpanjang visa, Agustina sempat bertemu dengan Mgr. Edmund Woga, CSsR, Uskup Weetebula. “Kami dipertemukan RD Yustinus Guru Kedi karena ada ajakan untuk membantu pembangunan radio keuskupan. Begitu banyak hal yang menjadi pertimbangan saya, sehingga saya minta untuk berdiskusi dengan Bapa uskup,” kata Agustina kepada Mirifica News.
Obrolan Mgr. Edmund dan Agustina tiba pada pertanyaan, “Apakah bersedia untuk membantu di radio?”. “Saya kaget dan segera saya bahas dengan suami. Rencana saya pulang ke Indonesia hanya untuk perpanjang visa, bukan yang lain,” tutur Agustina. Setelah diskusi dan pertimbangan panjang, Agustina merasa ada harapan dan keyakinan dari Bapa Uskup bahwa Agustina bisa ambil andil mengembangkan Vox Mundi. “Saya merasa perlu menjaga kepercayaan itu dan berbakti untuk karya pewartaan kristiani melalui Radio ini,” tambahnya. Dari situ, Agustina diangkat menjadi koordinator Vox Mundi ketika dibangun pada 2009 oleh RD Yustinus Guru Kedi, yang menjabat Ketua Komisi Komsos Weetebula.
DUKUNGAN DANA
Bertumpuk tugas dan visi dari Bapa Uskup menanti untuk dikerjakan. Agustina segera menyusun strategi ‘pelan tapi pasti’ untuk menumbuhkan radio keuskupan ini. Tahap pertama, mengurus izin komersial. “Saya melihat radio ini waktu itu sangat terbatas, dari segi bangunan, finansial; hanya ada dana Rp 20 juta untuk dana operasional. Waktu itu, kami ada 12 orang yang bekerja di radio. Kalau diurus perizinannya untuk jadi PT (Perseroan Terbatas), kita bisa menjadi besar, mendapat pemasukan iklan,” tukas Agustina. Dari situ, ia mengurus perizinan sambil menyusun proposal pencarian dana.
Didukung Bapa Uskup, Agustina diberi kepercayaan untuk pergi mencari dana di Bali. Dari sekian donatur, ada yang sampai inspeksi ke Sumba untuk memastikan apakah sumbangan itu digunakan dengan semestinya. “Setelah diyakinkan, ia malah membantu mencarikan bantuan untuk Vox Mundi, misalnya menggalang dana di gereja-gereja di Bali,” kenang Agustina. Dana dari seluruh donasi itu segera dipakai untuk membangun studio, membeli peralatan siaran, dan menggaji karyawan.
“Ada pula beberapa lembaga referensi Bapa Uskup di Jerman, Italia, dan Belanda. Mereka meminta Vox Mundi membuat forecast lima tahun ke depan, radio ini akan sampai di titik perkembangan mana. Setelah kami matangkan dan kirim, semua proposal itu tembus,” kata Agustina. Tidak sampai situ, donatur asing ini juga menyempatkan diri untuk mengunjungi Vox Mundi, tanpa memberitahu pihak radio. “Ia baru menghubungi saya satu jam sebelum datang ke radio. Tapi kami sudah siap untuk mempertanggungjawabkan donasinya, kami laporkan, kami tunjukkan bukti-bukti. Bahkan empat bulan setelahnya, donatur itu mengirimkan sumbangan lagi,” lanjut Agustina.
JATUH BANGUN
Berbekal company profile 100 halaman, Agustina mempresentasikan Radio Vox Mundi selama 2,5 jam ke KPI Kupang. “Mereka menerbitkan surat izin sementara.. Kami harus mengikuti 11 tahap: perizinan frekuensi, pembuatan program siaran, dll,” jelas Agustina. Sayangnya, pada tahun ketiga, antena siaran tumbang karena angin, membuat konslet sirkuit pemancar. “Kami terpaksa vakum tiga tahun, kami kehilangan para penyiar, izin kami jadi sulit dilanjutkan. Itu titik duka Vox Mundi,” kenang Agustina.
Seolah memulai dari awal kembali, semua proses harus diulang: renovasi gedung, pengajuan proposal, pengurusan izin. Namun seluruh proses membuahkan hasil. Pada tahun 2017 -umur delapan Radio Vox Mundi- diterbitkanlah Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) tetap untuk lima tahun ke depan. “KPI salut karena mereka juga mengikuti jatuh bangun Vox Mundi yang begitu panjang,” kata Agustina. Dengan nama PT. Radio Humba Perdana Jaya, Radio Vox Mundi kembali bangkit, menggaungkan -sesuai dengan namanya- “suara alam semesta, suara global, suara kita” di tanah Sumba.
ANGAN UNTUK DICAPAI
Sebelum musibah antena tumbang, Vox Mundi bisa menerima 1.000 SMS setiap harinya dari pendengar. “Masyarakat antusias mendengar Vox Mundi. Waktu debat kandidat pilkada, banyak sekali yang mendengar Vox Mundi bersama di pinggir jalan,” cerita Agustina. “Kalau tidak ada Vox Mundi, kami sulit dapat informasi cepat dan hiburan. Kami juga dengar doa pagi, malam, doa Angelus, dan renungan,” begitu kata salah satu pendengar yang pernah menghubungi Vox Mundi.
“Saya bermimpi Vox Mundi bisa menjangkau seluruh Sumba Barat Daya, bahkan seluruh Sumba. Meski harus menambah relay, kami juga ingin supaya ada hal konkret yang terjadi karena orang mendengar Vox Mundi. Kantor kami juga masih perlu dibenahi supaya lebih representatif. Menurut KPI, studio siaran Vox Mundi yang terbaik se-NTT. Kami ingin sekali memiliki karyawan yang kapabel sebagai penyiar, teknisi, sampai delapan orang. Sekarang masih enam orang. Sulit untuk mencari mereka yang mencintai pekerjaan di radio,” tutur Agustina.
Rintangan yang mudah dan sulit sudah banyak terlewati selama 10 tahun ini. Pun, kerjasama antara Agustina selaku GM dan RD Yustinus Guru Kedi selaku Ketua Komsos Weetebula tidak berhenti di sini. “10 tahun ini saya bersyukur bisa bekerjasama dengan sangat baik dengan Romo Yus,” kata Agustina.
“Selamat melayani lewat udara, Radio Vox Mundi. Tetaplah bersuara!”
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.