ISTILAH pranata adicara mungkin sudah terasa asing di telinga kita sekarang. Profesi yang berkaitan dengan perhelatan ritus kehidupan ini semakin jarang dimanfaatkan seiring dengan kecilnya frekuensi pengadaan perhelatan seturut tradisi Jawa masyarakat zaman sekarang.
Menyadari pentingnya peran pranata adicara dan perias dalam membantu menata perilaku manusia agar berbudaya dan bermasyarakat, Balai Budaya Rejosari (BBR), Senin 8 September 2014 yang lalu mengundang beberapa pegiat kebuayaan di Kudus ini untuk mengisahkan profesi mereka itu.
Memaknai simbol
Pranata adicara seringkali dimaknai sebagai penata acara. Mereka menjadi penata dan pembawa acara dalam acara hajatan manten, sunatan, atau acara lainnya. Namun lebih dalam dari sekedar menata acara, seturut pengakuan Danang Hasita, pranata adicara sebetulnya berperan menata perilaku kehidupan orang dalam masyarakat. Dengan menjelaskan makna upacara serta simbol-simbol dalam acara, pranatara membantu orang untuk memasuki kedalaman kebudayaan dan kebijaksanaan hidup.
Ia mencontohkan janur yang bisa diartikan jan-jane nur (sebetulnya cahaya). Lebih dari sekedar penampilan fisik, janur merupakan simbol dari cahaya ilahi. Ini merupakan suatu doa hening kepada Yang Ilahi agar manusia senantiasa menyembah dan memfokuskan hati padaNYA, agar cahaya ilahi menerangi segenap keluarga.
Mengingat simbol itu juga bermakna sosial, dengan menyampaikan makna dari simbol, pranata adiacara juga mendeklarasikan makna sosial kemasyarakatan dari setiap acara.
Acara tetesan misalnya.
Menurut dia, acara ini suatu deklarasi keluarga kepada masyarakat. Anak telah memasuki masa remaja, masa penuh gejolak dan “bahaya” juga. Acara ini merupakan cara khas untuk menitipkan si anak yang menginjak dewasa ini kepada masyarakat. Anak tidak hanya dijaga oleh keluarga namun juga oleh masyarakat sekitarnya. Inilah aspek sosial kehidupan. Dari pengalaman Danang, hal ini begitu penting sekarang mengingat anak seringkali ditinggalkan sendiri oleh orang tua yang bekerja pagi hingga malam.
Kekuatan doa
Seorang perias manten yang hadir ME Sulistyawati juga mengkisahkan kekuatan doa sebagai dasar hidup profesionalnya. Perias yang telah lebih dari sembilan kali puasa setiap Malam Suro ini melihat lebih dalam pentingnya doa dalam profesinya. Ia hendak menegaskan bahwa apa yang baik, cantik dan indah yang diberikan kepada sesama itu dasarnya adalah doa, yakni relasi dekat dengan Yang Ilahi.
Pertemuan pertama yang difasilitasi Balai Budaya Rejosari (BBR) ini ditanggapi positif oleh para peserta dari daerah Kudus ini. Mereka mengharapkan ada perjumpaan yang lebih intens dengan pegiat kebudayaan dari kabupaten sekitar Kudus juga.
Kredit foto: Dok. Romo YB Haryono MSF/ BBR Kudus, Jawa Tengah
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.