KEBUDAYAAN itu mempersatukan” demikian kata Romo Banu Kurnianto dari Karitas Indonesia KAS (KARINA KAS) bersama Anang saat acara sarasehan budaya dengan gelaran lesehan bersama beberapa orang dari Tim Pengelola Balai Budaya Rejosari, Selasa 9 September 2014.
Kata-kata ini seolah klise, namun dalam konteks Pantai Utara Jawa (Pantura) hal ini menjadi begitu relevan. Dari sejarahnya, kawasan Pantura merupakan sebuah melting pot dari kebudayaan.
Sebagai daerah pesisir, Pantura sangat kental dengan sikap kultural seperti inklusif, hibrid, cair dan terbuka. Kini hal ini mengalami perubahan seiringnya penguatan identitas agama dan munculnya globalisasi. Masyarakat menjadi rentan akan pengkotak-kotakan. Nilai gotong royong misalnya menjadi sangat mahal rasanya. “Pengkotak-kotakan dalam masyarakat mematahkan gotong royong” ungkap Romo Banu.
Manusia ketemu manusia
“Melalui kebudayaan, orang bisa masuk dalam cara berfikir, cara bertindak. Manusia ketemu dengan manusia, membicarakan kemanusiaan. Bahkan bisa terjadi, pakaian keagamaan tidak lagi penting lagi”, tegas Rm. Banu.
Saat perjumpaan seperti setiap orang bisa membicarakan persoalan kehidupan. Termasuk bencana alam. Kebencanaan memang tidak soal bencana alam, namun soal yang dihadapi setiap hari. Cuaca yang panas sekarang ini bisa saja dipandang sebagai bencana yang merangsang orang berfikir untuk bertindak secara baru.
Pembicaran soal kebudayaan dan kebencanaan malam di joglo Balai Budaya Rejosari itu semakin menarik karena ditemani sinar rembulan yang merekah dari ufuk timur.
Tempat pengikat kesadaran
Mengutip visi misi BBR untuk ndhudhug, ndhudhah lan ndandani kabudayan, Romo Banu juga mengingatkan perlunya Balai Budaya Rejosari ini sebagai wadah perjumpaan manusia-manusia itu. Tempat ini menjadi sarana penyadaran dan pengikat kesadaran yang ingin dibangun bersama. mengingat kebudayaan itu sesuatu yang luas dan kontekstual, dari tempat ini diharapkan menjadi tempat ngangsu kawruh tetanen, belajar tentang budaya pertanian dan sebagainya.
Bahkan Rm Banu dan Anang dari KARINA mengusulkan metode teater rakyat sebagaimana berkembang di Filipina sebagai sarana penyadaran. Orang belajar tidak selalu dari pakar namun dari realitas sendiri yang diangkat dan direfleksikan bersama. Teater menjadi sarana penyadaran dan pengikat kesadaran itu. Metode teater bukanlah pentas skenario melainkan duduk bersama, mengupas masalah bersama dan ditampilkan dalam bentuk seni. Setelah pentas, dialog pementas dengan penonton dihidupkan kembali untuk membangun kesadaran baru.
Kredit foto: Dok. Balai Budaya Rejosari
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.