Menemukan Keindahan Menjadi Orang Kristiani
1. Pada hari Minggu ini, saat Gereja merayakan Pesta Kristus Raja Alam Semesta, Paus Fransiskus berada di lapangan Santo Petrus untuk menutup Tahun Iman, yang telah sungguh-sungguh menjadi tahun rahmat bagi seluruh Gereja. Tahun ini kita tandai dengan hari ulang tahun kelima puluh pembukaan Konsili Vatikan Kedua, suatu peristiwa yang adalah bagaikan suatu Pentakosta baru bagi Gereja Katolik, suatu nafas penuh daya kekuatan dari Roh Kudus. Selama tahun ini kita membaharui pernyataan iman kita akan Allah – dalam Bapa, Putra Yesus Kristus dan Roh Kudus. Sejumlah besar perayaan dan inisiatif-inisiatif pastoral berlangsung di keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki seluruh dunia. Tahun ini telah menghasilkan buah-buah kehidupan dan iman. Dan hal yang sama ini tentu saja telah juga terjadi di sini di Indonesia. Kita dapat bertanya diri: Apakah yang menjadi buah atau hasil terbesar yang dapat dipetik pada tahun khusus ini? Saya pikir bahwa hasil yang paling penting adalah bahwa begitu banyak orang beriman menemukan kembali keindahan iman Katolik, keindahan menjadi orang-orang kristiani, yakni murid-murid Kristus. Dewasa ini sudah sangat lumrah, bahkan di kalangan orang-orang terbaptis, mempunyai pikiran negatif tentang iman. Mereka melihatnya sebagai rangkaian larangan-larangan dan sebagai suatu halangan terhadap keinginan akan kebebasan dan kebahagiaan yang ada di dalam setiap hati manusia. Hal ini sangat keliru dan merupakan pandangan iman yang salah. Iman kristiani sesungguhnya adalah suatu program yang sangat positif dan memesonakan bagi kehidupan kita. Iman menghantar kita ke kebebasan dan kebahagiaan sejati yang lengkap dan tidak memperdaya kita. Oleh karena itu, kita tidak boleh merasa rendah diri (kompleks inferioritas) ketika kita berada di antara orang-orang yang punya kepercayaan lain. Sebaliknya. Kita seharusnya bangga akan kenyataan bahwa kita adalah orang-orang kristiani. Saya pikir bahwa hal ini penting di sini di Indonesia di mana orang-orang Katolik merupakan suatu minoritas kecil dari keseluruhan penduduk.
Dunia membutuhkan orang-orang kristiani, walaupun hal ini tidak dikatakan dengan jelas ataupun tidak disangkal.Dunia membutuhkan orang-orang kristiani karena dunia membutuhkan Kristus dan Injil keselamatan-Nya. Oleh karena itu, panggilan dan tugas perutusan anda sekalian sebagai kaum awam beriman begitu penting, yakni membawa Kristus ke hati dunia di mana anda hidup. Kesadaran yang terbarukan ini dari panggilan kaum awam di dalam Gereja dan dunia merupakan salah satu buah yang sangat berharga dari Konsili Vatikan II. Konsili itu melahirkan “masa kaum awam” bagi Gereja. Gereja bukan hanya terdiri dari para imam dan biarawan-biarawati, meskipun sayangnya masih ada orang-orang yang berpikir demikian. Gereja adalah seluruh umat Allah. Ini berarti bahwa Gereja terdiri dari sebagian besar umat awam, yakni pria dan wanita, orang-orang muda, orang-orang dewasa dan orang-orang tua. Kita semua adalah Gereja. Kita semua mengambil bagian dalam tugas perutusan Gereja di dunia ini. Inilah keindahan Gereja kita yang mempersatukan keanekaragaman status hidup dan panggilan-panggilan.
2. Marilah kita bertanya: “Apakah artinya menjadi orang-orang awam kristiani di dalam Gereja dan dunia? Pertanyaan ini penting, khususnya di negara-negara di mana orang-orang kristiani hidup tersebar, di mana mereka adalah minoritas dan di mana mereka hidup dalam budaya-budaya kuno yang bukan kristiani. Dalam situasi-situasi seperti ini mudahlah untuk menjadi bingung dan bahkan kehilangan identitas Katolik kita. Di belahan-belahan dunia yang lain juga, khususnya di Eropa, terdapat tantangan utama bagi identitas kristen yang semakin dirasakan atas banyak cara.
Identitas orang-orang yang dibaptis merupakan suatu pokok yang dekat di hati para Bapak Gereja. Paus Santo Leo Agung berkata kepada kaum beriman: “Hai orang Kristiani, kenalilah martabatmu!” Martir Santo Ignasius dari Antiokia sering menulis dalam surat-suratnya: “Kita tidak hanya harus disebut orang-orang kristiani, tetapi orang-orang yang hendak menjadi kristiani.” Kita sebagai orang-orang kristiani membawa suatu nama yang sangat menuntut dan yang secara menetap menantang kita untuk sungguh-sungguh menjadi orang-orang kristiani. Paus Fransiskus sering mengingatkan kita akan hal ini dan ia mengingatkan kita akan risiko menjadi orang-orang kristiani, hanya dalam nama dan bukan dalam perbuatan, atau orang-orang kristiani nominal….
Identitas kristiani kita, saudara-saudari yang terkasih, terutama didasarkan pada relasi pribadi kita dengan Yesus Kristus. Paus emeritus Benediktus XVI menulis: “Menjadi orang kristiani bukanlah hasil dari suatu pilihan etis atau gagasan mulia, tetapi perjumpaan dengan suatu peristiwa, dengan seseorang, yang memberikan suatu horison baru dan arah yang menentukan pada kehidupan”. Kita dapat bertanya diri: “Manakah tempat Yesus di dalam kehidupan saya dan dalam pilihan-pilihan yang saya buat setiap hari? Apa saya turut memperhitungkan Yesus atau tidak?
Menjadi orang-orang kristiani sungguh-sugguh merupakan suatu panggilan. Kristus, Guru kita, memanggil kita masing-masing dengan nama dan berkata “Ikutilah Aku”. Sebagaimana suatu cabang dilekatkan pada pokok anggur, demikianlah kita digabungkan kepada Kristus melaui sakramen pembaptisan. Kita menerima anugerah “hidup baru” dan menjadi “ciptaan-ciptaan baru” dan “anak-anak angkat Allah”. Kita menjadi murid-murid Kristus yang sejati. Suatu perobahan luar biasa terjadi. Dengan kelahiran baru ini kita dapat berkata bersama dengan rasul Paulus: “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Galatia 2:20). Bagaimana gerangan kita tidak akan terpesona dengan martabat mulia yang secara cuma-cuma dianugerahkan oleh Allah kepada kita atas cara ini! Inilah alasannya mengapa kaum awam beriman dipanggil untuk terus menerus menemukan dan memberi kesaksian tentang “hidup baru” ini yang mereka terima di dalam pembaptisan. Sebagaimana kalian lihat, pembaptisan adalah sakramen yang sangat penting, yang seharusnya kita semakin hargai dalam menjalani kehidupan kita.
Dunia dewasa ini membutuhkan orang-orang kristiani, tetapi mereka harus menjadi orang-orang kristiani sejati. Hal ini berarti bahwa dunia membutuhkan orang-orang kudus. Salah satu ajaran besar dari Konsili Vatikan II persisnya adalah panggilan semua orang kepada kekudusan: “Semua orang beriman dari Kristus, apapun juga tingkat dan statusnya, dipanggil kepada kepenuhan hidup kristiani dan kepada kesempurnaan cintakasih”. Beato Yohanes Paulus II mengatakan kepada kita bahwa kesucian kristiani tidak lain adalah standard tinggi dari kehidupan kristiani yang biasa”. Ia menulis: “Menanyakan kepada para katekumen: ‘Apakah anda ingin menerima pembaptisan?’ berarti pada waktu yang sama bertanya kepada mereka: “Apakah anda ingin menjadi kudus?” Itu berarti menetapkan di depan mereka hakekat radikal dari Khotbah di Bukit: “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). Demi mempertebal identitas kristiani kita perlu menyalakan kembali api kerinduan kita akan kekudusan. Saudara-saudari terkasih, kita masing-masing harus berani setiap hari mengukur diri kita terhadap tantangan penting ini: kekudusan. Kita diciptakan oleh Allah untuk hal-hal besar. Janganlah kita melupakan hal itu.
3. Seorang kristiani tidak pernah sendirian atau terisolasikan. Kita lahir dan hidup dalam keluarga besar anak-anak Allah, yakni Gereja. Keluarga itu Katolik, yang berarti universal/merangkul semua orang. Pada ranah spiritual Gereja adalah bagaikan seorang ibu sebab ia melahirkan kita dalam iman. Iman kita bukanlah suatu soal pribadi. Iman kita pertama-tama adalah iman Gereja. Tentu saja, memiliki iman berarti membuat suatu pilihan pribadi, tetapi iman pertama-tama datang kepada kita sebagai suatu anugerah. Tahun Iman berulang kali mengingatkan kita akan hal ini. Kita harus sungguh-sungguh mencintai Gereja kita yang melahirkan kita dalam iman. Kita harus sungguh-sungguh berterima kasih kepada Gereja karena dengan murah hati ia telah memberikan kepada kita semua anugerah ini bagaikan dari tangan seorang ibu.
Gereja juga merupakan suatu persekutuan organik di mana panggilan-panggilan, pelayanan-pelayanan, karisma-karisma dan tanggungjawab-tanggungjawab berdampingan dan terintegasi. Sama seperti dalam tubuh yang hidup setiap anggota mempunyai fungsinya yang unik dan hakiki, hal yang sama terjadi di dalam Gereja. Setiap anggota – khususnya setiap orang awam – mempunyai tugasnya. Tidak ada seorang pun dari antara kita yang harus tinggal pasif, tidak terlibat dan tidak aktif. Kristus telah memberikan kepada kita masing-masing suatu penugasan, suatu tugas perutusan untuk dipenuhi. Konsili Vatikan II menyampaikan kepada kita: “Kerasulan kaum awam berasal dari panggilan kristiani dan Gereja tidak pernah dapat ada tanpanya.” Gereja membutuhkan partisipasi aktif dan bertanggungjawab dari kaum awam beriman di dalam komunitas-komunitas gerejawi, paroki-paroki dan keuskupan-keuskupan. Kaum awam beriman – pria dan wanita, orang-orang muda dan orang-orang dewasa – harus tahu bagaimana mengemban tanggungjawab-tanggungjawab khusus di dalam komunitas gerejawi. Mereka memberi sumbangan untuk menjaganya dan secara teratur mengambil bagian dalam liturgi paroki, khususnya Misa Hari Minggu, karena ini merupakan sumber dan puncak kehidupan kristiani. Mereka juga dipanggil untuk terlibat dalam karya-karya amal bagi mereka yang berkekurangan, membantu katekese paroki bagi anak-anak dan orang-orang muda, mewariskan iman kepada anak-anak mereka, dsb. Sebagaimana kita dapat saksikan, kegiatan dalam komunitas gerejawi sebagai seorang awam melibatkan sejumlah tugas. Namun, saya mengulangi, setiap orang awam merupakan bagian yang hidup dari Gereja dan harus merasa terpanggil oleh Kristus untuk bekerja di kebun anggur-Nya. “Tidaklah diizinkan bahwa seseorang bermalas-malas.”
4. Kita harus menekankan suatu segi lain yang sangat penting. Apakah yang membedakan kaum awam beriman dari umat Allah yang lain – yakni para imam dan biarawan/biarawati – adalah “sifat sekuler/duniawi”, yakni relasi mereka dengan dunia di mana mereka hidup. Ini berarti apa? Konsili Vatikan II menerangkan hal ini dengan jelas: “Karena panggilan mereka, kaum awam mencari kerajaan Allah dengan melibatkan diri dalam perkara-perkara duniawi dan mengaturnya sesuai dengan rencana Allah. Mereka hidup di dalam dunia, yakni dalam setiap dan semua profesi dan pekerjaan sekuler. Mereka hidup dalam lingkungan keluarga dan kehidupan sosial, dari mana jaringan keberadaan mereka terjalin. Mereka dipanggil di sana oleh Allah agar dengan menjalankan fungsi mereka selayaknya dan dibimbing oleh semangat Injil mereka dapat bekerja untuk pengudusan dunia dari dalam sebagai suatu ragi.” Kita dapat melihat dengan sungguh-sungguh hidup sebagai orang-orang awam beriman di jantung dunia maka suatu meterai khsus ditorehkan pada kerasulan sehari-hari di rumah, lingkungan kerja, sekolah, bersama dengan teman-teman, dsb., dan juga di jalan menuju kekudusan. Oleh karenanya, kaum awam beriman dipanggil untuk menjadi kudus dengan hidup di dalam dunia dan dalam kehidupan biasa. Hal itu tidak dibuat dengan memisahkan diri dari dunia seakan-akan mereka adalah rahib-rahib di dalam suatu biara. Orang-orang kristiani awam tidak lari dari dunia. Mereka tahu bahwa Kristus telah memanggil mereka ke dalam dunia untuk menjadi saksi-saksi-Nya dan untuk membangun suatu dunia yang lebih manusiawi di mana terdapat hormat terhadap martabat manusia dan hak-hak mereka, suatu dunia yang lebih adil dan lebih damai, bersolidaritas dengan kaum miskin, suatu budaya kehidupan dan cinta. Inilah arti kata-kata yang Allah terus menerus sampaikan kepada para murid-Nya sepanjang abad dan yang Ia katakan kepada kita di sini sekarang ini: “Kamu adalah garam dunia … Kamu adalah terang dunia… hendaklah terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapa-mu di sorga” (Mat 5:13-16). Seorang penulis awal sekali waktu menulis: “Orang-orang kristiani ada bagi dunia bagaikan jiwa bagi tubuh…” Oleh karenanya, komunitas-komunitas kristiani kita dan khususnya paroki-paroki kita tidak boleh tertutup bagi dirinya sendiri. Secara berani mereka harus terbuka kepada dunia, khususnya – sebagaimana Paus Fransiskus sering katakan – kepada pinggiran-pinggiran geografis dan eksistensial… Pesan yang kita, orang-orang kristiani, bawa adalah sederhana, namun sangat besar. Itu adalah kabar gembira, sumber sukacita dan pembawa pengharapan. Beato Paus Yohanes Paulus II menulis: “Setiap kata dan kehidupan kristiani harus menjadikan pemakluman ini bergema: Allah mengasihi kita, Kristus datang bagi kita, Kristus adalah bagi kalian ‘Jalan, Kebenaran dan Kehidupan!” (Yoh 14:6). Ini meringkaskan pesan yang kita harus sampaikan kepada dunia.
Saudara-saudari terkasih, saya akan berhenti di sini. Saya berterima kasih kepada anda sekalian atas pertemuan ini. Dengan senang hati saya memberikan kepada anda sekalian berkat saya, dan melalui anda sekalian, saya memberkati semua kaum awam beriman di Indonesia: Semoga Allah yang mahakuasa memberkati anda sekalian, dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus.
Cardinal Stanisław Ryłko
President Pontifical Council for the Laity Vatican City
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.